Letak Asia Pasifik yang berada diantara jalur pertemuan lempeng benua Euroasia dan lempeng samudra Indo-Australia dan Pasifik membuat kawasan ini sering dilanda bencana alam seperti tsunami, gempa bumi, banjir hingga tanah longsor.

         Ketika bencana alam terjadi, terutama yang berskala besar dan memakan korban banyak, media lokal maupun internasional berbondong-bondong memberitakan kejadian tersebut.

        Berita yang disuguhkan umumnya tentang kejadian bencana itu sendiri dan seberapa banyak korbannya. Tak jarang daalam pemberitaan disuguhkan gambar para korban sedang panik, menangis atau kejadian dramatis lainnya paska bencana.

         Kritik dilontarkan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring dalam Pertemuan Media Untuk Perubahan Iklim dan Pengurangan Risiko Bencana yang diadakan di Jakarta baru-baru ini. Menurut Menkominfo, media jangan hanya menampilkan sisi dramatis paskabencana untuk menarik penonton.

         "Persaingan untuk menarik penonton saat ini membuat beberapa media memilih menampilkan sisi traumatis dan dramatis dari bencana. Media seharusnya tidak mengorbankan kepentingan publik untuk mendapat informasi menyeluruh mengenai bencana," kata Tifatul di Jakarta, Kamis.

         Menurut Menkominfo,  peran media sangat penting tidak hanya dalam menyebarkan informasi mengenai bencana ke masyarakat tapi juga menjadi bagian dari solusi misalnya dengan mengumpulkan dana dari masyarakat untuk membantu korban bencana.

<b>Luput</b>

    Sementara itu pengajar Studi Lingkungan Global dari Universitas Kyoto Rajib Shaw mengatakan masih banyak bencana alam yang luput dari perhatian media.

         "Satu bencana alam kadang dilaporkan secara besar-besaran oleh media sedangkan bencana alam lainnya luput dari perhatian," kata Rajib.

         Dia mencontohkan bencana topan yang melanda Filipina tahun 2013 banyak disorot oleh media lokal maupun asing sedangkan bencana kekeringan di negara lain tidak mendapat perhatian yang sama dari media.

         Rajib juga mengkritisi media yang hanya melaporkan kejadian bencana alam tanpa memberikan informasi yang dibutuhkan masyarakat di lokasi bencana seperti kapan sekolah akan dibuka atau stasiun pengisian bahan bakar mana yang sudah bisa beroperasi.

         Hal yang sama juga dinyatakan Direktur Divisi Teknologi Informasi dan Pengurangan Risiko Bencana dari Kantor PBB Untuk Urusan Sosial dan Ekonomi Wilayah Asia Pasifik Shamika Sirimanne. Menurut dia, bencana seperti kekeringan luput dari perhatian media.

         "Padahal diperkirakan kekeringan akan lebih banyak terjadi di masa yang akan datang dan bencana ini biasanya mempengaruhi kaum miskin seperti petani," katanya.

<b>Apa yang Bisa Dilakukan?</b>

     Koordinator Program dari People's Television Netwok Filipina, Susan Tagle, mengusulkan agar peringatan bencana yang diumumkan di media televisi, radio atau online menggunakan bahasa daerah supaya lebih efektif menjangkau masyarakat lokal yang berada di wilayah bencana.

         "Berdasarkan pengalaman kami sebagai awak media di Filipina, ketika badai Yolanda terjadi tahun lalu ada masyarakat yang tidak mengungsi karena tidak mengerti dengan bahasa peringatan yang diberikan," kata Susan.

         Menurut Susan, perbedaan bahasa atau dialek mengakibatkan masyarakat di daerah terdampak bencana kurang waspada dengan peringatan yang diberikan pemerintah. Susan juga mengusulkan agar media membuat sendiri program acara yang memberikan informasi pada masyarakat tentang potensi bencana di daerahnya dan bagaimana mengurangi dampak bencana tersebut.

         "Persiapan maksimal akan mengurangi dampak bencana jika memang terjadi di suatu daerah. Disinilah media berperan sebagai alat kampanye untuk mengurangi dampak bencana," kata Susan.

         Sementara itu Direktur Institut Media Publik dari Thai Public Broadcasting Service Anothai Udomsilp mengatakan media harus ikut memberikan pendidikan ke masyarakat tentang potensi bencana dan dampaknya.

             "Media bisa membuat iklan layanan masyarakat soal bahaya bencana. Tapi sebaiknya iklan tersebut dibuat dalam bahasa yang mudah dimengerti dan kalau perlu disediakan juga iklan dalam format animasi atau bergambar," kata Anothai.

         Mengingat besarnya perhatian masyarakat terhadap informasi bencana yang disuguhkan media, Anothai mengatakan media tidak hanya bisa berperan dalam menyebarkan informasi saat terjaadi bencana tapi juga bisa membantu masyarakat memahami bencana apa saja yang mungkin terjadi di daerahnya dan bagaimana cara mengatasi situasi saat bencana terjadi.

         "Masyarakat harus tahu cara mengatasi tiga keadaan yakni sebelum bencana terjadi, saat bencana daan paska bencana. Disinilah media berperan untuk menyampaikan informasi tersebut ke masyarakat," kata Anothai.

<b>Media Tingkatkan Kualitas</b> 

    Asosiasi Lembaga Penyiaran se-Asia Pasifik dalam Pertemuan Media Untuk Perubahan Iklim dan Pengurangan Risiko Bencana yang diadakan di Jakarta baru-baru ini mengimbau jurnalis dan pemilik media untuk meningkatkan kualitas penyiaran berita bencana alam dan perubahan iklim.

         Imbauan itu tertulis dalam pernyataan organisasi tersebut dalam Pertemuan Media untuk Perubahan Iklim dan Pengurangan Risiko Bencana yang diadakan di hotel Borobudur, Jakart.

         "Kami mengimbau jurnalis, terutama dari lembaga penyiaran televisi dan radio, untuk melaporkan bencana alam secara menyeluruh dan memberikan informasi yang membantu proses evakuasi pascabencana," kata Direktur Divisi Teknologi Asosiasi Lembaga Penyiaran se-Asia Pasifik (ABU) Amal Punchihewa dalam pertemuan di Jakarta tersebut.

         ABU menyoroti perlunya pemilik media meningkatkan kualitas jurnalis yang meliput bencana alam atau isu lingkungan lainnya, salah satu cara adalah dengan mengadakan pelatihan jurnalistik. ABU juga mengimbau media di Asia Pasifik untuk mengembangkan program audio visual yang bisa menggugah masyarakat untuk lebih waspada terhadap dampak perubahan iklim dan bencana alam. (*)


Pewarta : Amie Fenia Arimbi
Editor :
Copyright © ANTARA 2024