Jakarta, (ANTARA) - Berbagai satwa yang seharusnya hidup bebas, terpenjara dibalik sangkar, ratusan mata memandang dan memperhatikan, tidak sedikit orang yang berhenti untuk sekedar melihat lebih jelas.

     Pemandangan yang biasa terlihat di Pasar Burung Pramuka, Jakarta, dan di berbagai lokasi jual-beli satwa di Indonesia. Beberapa dari satwa itu, tidak seharusnya diperjualbelikan, namun itulah gambaran nyata atas nasib satwa-satwa tersebut.

     Satwa-satwa liar yang seharusnya dilindungi oleh Undang-undang, telah diperjualbelikan secara bebas untuk berbagai kebutuhan. Beberapa di antaranya dipelihara untuk dijadikan hobi, akan tetapi, tidak sedikit yang dijual per bagian-bagian dan dipergunakan untuk campuran bahan obat.

         Diperkirakan  17 persen satwa yang ada di dunia berada di Indonesia atau lebih kurang 300 ribu jenis satwa, meskipun luas Indonesia hanya 1,3 persen dari luas daratan dunia. Indonesia memiliki 515 jenis mamalia dan menjadi habitat dari 1.539 jenis burung, dan 45 persen ikan di dunia, berada di Indonesia.

         Satwa liar Indonesia yang terancam punah adalah 147 jenis mamalia, 114 jenis burung, 28 jenis reptil, 91 jenis ikan dan 28 jenis invertebrata, berdasarkan data International Union for Conservation Nature/IUCN, 2003. Perdagangan satwa liar menjadi ancaman serius bagi kelestarian satwa liar Indonesia.

    Lebih dari 95 persen satwa yang dijual di pasar adalah hasil tangkapan dari alam, bukan hasil penangkaran. Bukan hanya itu, lebih dari 20 persen satwa yang dijual di pasar itu mati akibat pengangkutan yang tidak layak.

        Lebih dari 100 ribu burung paruh bengkok (nuri dan kakatua) setiap tahunnya ditangkap dari alam Papua dan Maluku, satwa tersebut ditangkap dari alam dengan cara menyiksa dan menyakitkan, bulunya dicabuti agar tidak bisa terbang.

         Berdasarkan data tahun 2009 dari Lembaga Swadaya Masyarakat ProFauna, tercatat ada 70 tempat yang menjual satwa peliharaan dan mendapati 25 jenis satwa dilindungi yang diperjualbelikan di pasar yang ada di pulau Jawa itu.

         Belum cukup dengan hal itu, setiap tahunnya ada sekitar 1000 ekor orangutan Kalimantan (Pongo Pygmaeus) yang diselundupkan ke Jawa dan juga luar negeri, untuk diperdagangkan khususnya yang  masih bayi. Bahkan tengkorak orangutan pun laku untuk diperjualbelikan.

         Pada bulan Agustus 2011, berdasarkan temuan Centre for Orangutan Protection terdapat empat tengkorak orangutan di kawasan perkebunan kelapa sawit di Danau Sembuluh, Kalimantan Tengah, yang ditengarai akan diperjualbelikan.

         Beberapa daerah yang marak menjual tengkorak orangutan sebagai suvenir adalah Pontianak, Kalimantan Barat, Palangkaraya, Kalimantan Tengah, dan Balikpapan, Kalimantan Timur.    

Hidup atau Mati

    Baik dalam keadaan hidup atau mati, satwa-satwa yang seharusnya dilindungi itu  terus diburu dan dijadikan alat pencetak uang bagi segelintir orang dan semakin langka satwa tersebut maka akan semakin tinggi nilai jualnya.

         Koordinator Unit Kejahatan Satwa Liar Wildlife Conservation Society (WCS) Indonesia Program, Dwi Nugroho Adhiasto pada Sabtu (29/10), mengatakan bahwa dalam keadaan hidup atau mati, satwa-satwa liar itu banyak diminati baik untuk sekedar hobi maupun bahan campuran obat.

         Berdasarkan data dari WCS Indonesia Program, pada peringkat 10  teratas satwa liar yang diperjualbelikan secara illegal dalam keadaan hidup di dalam dan luar negeri adalah berbagai macam kura-kura atau labi-labi (Trionychoidea) air tawar pada peringkat pertama, menyusul di urutan kedua Kukang (Nycticebus coucang) Jawa dan Sumatera.

         Menyusul dalam urutan selanjutnya adalah berbagai jenis burung elang dan alap-alap (Accipitridae), berbagai jenis kakatua (Cacatua) dan nuri (Lorius domicellus), lutung (Presbitys), owa (Hylobates moloch), landak (Hystrix brachyuran), Wallaby (kanguru Papua), siamang (Symphalangus syndactylus), dan ular piton.

         Berbeda dengan satwa hidup yang diburu untuk dipelihara, bagian-bagian dari satwa mati yang banyak diburu untuk berbagai keperluan hiasan dalam 10 peringkat teratas adalah awetan kering harimau sumatera, awetan kering beruang, trenggiling beku untuk ekspor, tanduk rusa, gading gajah, gigi gajah, awetan kering cenderawasih, awetan penyu, awetan rusa atau kepala rusa, dan gigi taring harimau serta beruang.

         Kemudian, lanjut Dwi salah satu contoh satwa yang diburu baik dalam keadaan hidup atau mati adalah harimau, bahkan kumis harimau juga menjadi barang buruan yang dipercaya bisa meningkatkan "kewibawaan" pemiliknya.

         "Tahun 2009 ada dua kasus terkait dengan kepemilikan harimau, dimana kami temukan empat harimau Sumatera dan lima harimau Siberia dipelihara di dalam kandang. Itu merupakan bukti binatang buas seperti harimau juga diminati oleh sekelompok orang," kata Dwi.

         "Bagian-bagian dari satwa banyak yang dipergunakan untuk bahan campuran obat, bukan hanya harimau, seperti trenggiling, badak Jawa, dan satwa lain," kata Dwi.

         Dia juga menjelaskan, penjualan skala besar dilakukan melalui penyelundupan keluar negeri dan untuk tingkat nasional dilakukan di pasar-pasar burung di Jakarta dan provinsi atau kabupaten. Sedangkan pasar luar negeri yang paling berminat atas bagian-bagian satwa yang diperuntukkan sebagai bahan campuran obat adalah China, Taiwan dan Hong Kong.

         Beberapa satwa yang diburu untuk campuran bahan obat antara lain harimau sumatera, trenggiling (Manis javanica), kura-kura air tawar, badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), beruang madu (Helarctos malayanus), ular kobra (Naja sputatrix), kelelawar (Chiroptera), tokek (Gekko smithii), dan penyu (Chelonia mydas).

         Dalam urutan terakhir bagian-bagian satwa yang diburu untuk dipergunakan sebagai bahan campuran obat adalah monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), tambah Dwi, namun satwa ini bukan hanya diburu bagian-bagiannya saja namun satwa ini juga biasa dipakai untuk keperluan uji coba medis.

         Tidak hanya sampai di situ, tambah Dwi, apabila tidak dikendalikan perburuan satwa liar akan mencapai titik di mana satwa liar tersebut akan punah dan tidak bisa diselamatkan lagi.    

Tidak Ada Efek Jera

    Maraknya perburuan dan perdagangan satwa liar baik yang masih hidup maupun yang sudah mati tidak lepas dari ancaman hukuman kurang maksimal sehingga para pelaku-pelaku tersebut tidak merasa jera dan terus menjalankan aksinya itu.

         Salah satu kasus yang baru saja diputus oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Payakumbuh, Sumatera Barat, pada Kamis (20/10) lalu adalah dijatuhkannya vonis dua tahun empat bulan kurungan serta denda Rp3 juta kepada terdakwa penadah kulit harimau.

         Dalam keadaan tidak bernyawa, kulit harimau merupakan barang mewah yang sangat digemari oleh golongan kelas atas. Satu kulit harimau diambil oleh penadah seharga Rp25 juta, angka tersebut akan naik enam kali lipat apabila dijual kembali.

         Staf Senior Hukum dan Kebijakan World Wildlife Fund (WWF) Indonesia, Retno Setiyaningrum, pada Jumat (28/10), mengatakan bahwa denda yang hanya Rp3 juta tidak akan memberikan efek jera kepada pelaku penadah kulit harimau. Meskipun, hukuman dua tahun empat bulan tersebut lebih tinggi daripada hukuman-hukuman yang pernah dijatuhkan sebelumnya.

         Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, hukuman maksimal yang dapat dijatuhkan adalah berupa kurungan lima tahun dan denda Rp100 juta.

         Bukan hanya kulitnya, tambah Retno, tulang dan taring harimau juga diperjualbelikan dan dalam beberapa kasus dipergunakan sebagai bahan campuran obat tradisional seperti di Hong Kong, Singapura, Taiwan, dan lainnya.    

Perhatian Pemerintah dan Internasional

    Nasib serupa juga dialami Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus), culanya terus diburu untuk dijadikan bahan campuran obat-obatan yang dipercaya bisa menyembuhkan penyakit kanker dan penyakit mematikan lainnya dengan kisaran harga 30 ribu dolar AS per kilogram di pasar gelap.

         Bahkan baru-baru ini, spesies yang sudah terancam punah itu terus diburu di Taman Nasional Cat Tien, Vietnam. Habitat badak Jawa hanya ada di Indonesia yang menyisakan kurang lebih 35 sampai 45 ekor dan di Vietnam.

         Satwa yang memiliki panjang 3,1 hingga 3,2 meter itu berstatus sangat kritis dengan sangat sedikitnya populasi yang ditemukan dan merupakan mamalia yang paling langka di bumi ini.

       Dengan kondisi yang makin mengkhawatirkan, LSM asing seperti IUCN telah bertekad untuk membantu Indonesia untuk melestarikan keberadaan satwa liar yang hampir punah, dalam hal ini lebih difokuskan untuk pelestarian dan penyelamatan Badak Jawa.

         Perwakilan IUCN sendiri, dalam hal ini Sekretaris Jenderal IUCN, Simon N. Stuart, telah bertemu langsung dengan Wakil Presiden Boediono, pada Rabu pekan lalu (26/10), untuk menyelamatkan satwa liar khususnya Badak Jawa.

         Dalam pertemuan tersebut , telah ia menyampaikan janji akan memberikan dana bantuan sebesar 1,9 juta dolar AS per tahun untuk melestarikan Badak Jawa. Ini ditanggapi dengan positif oleh Boediono dan menginstruksikan langsung kepada Menteri Lingkungan Hidup, Berth Kambuaya, untuk meresponnya.

         Melalui keterangan yang diberikan Juru Bicara Wakil Presiden, Yopie Hidayat, Wapres Boediono menegaskan bahwa masalah punahnya satwa yang dilindungi itu merupakan masalah yang serius. (*)


Pewarta : Vicki Febrianto
Editor :
Copyright © ANTARA 2024