Sirine yang dibunyikan tepat pukul 17.15 WIB pada Jumat, 30 September 2011 di Monumen Gempa Sumatera Barat di Jalan Diponegoro Padang kembali mengingatkan masyarakat akan dahsyatnya musibah yang pernah meluluhlantakkan sebagian besar daerah itu tepat dua tahun silam.

         Monumen gempa yang diresmikan tahun 2010 itu juga seakan menegaskan bahwa masih ada "pekerjaan rumah" pemerintah setempat yang hingga kini belum tuntas.

         Gempa berkekuatan 7,9 skala richter (SR) yang terjadi pada 30 September 2009 dan melanda 12 dari 19 kabupaten/kota di Sumbar itu setidaknya menelan 1.195 korban jiwa, 619 luka berat dan 1.179 lainnya luka ringan.

         Bendera setengah tiang pun turut menandai peringatan dua tahun gempa Sumbar. Masyarakat kembali larut dalam duka, mengenang pelajaran berharga dari Tuhan untuk manusia tentang kekuatanNya.

         Meski telah dua tahun berlalu, keluarga korban yang kembali hadir untuk kedua kalinya di monumen gempa masih saja tidak dapat membendung kesedihan mendalam mengenang kejadiaan yang telah merenggut orang-orang yang mereka cintai.

         Isak tangis dan derai air mata terus menggiringi peringatan dua tahun gempa itu. Para undangan yang menghadiri peringatan tidak kuasa menahan kesedihan.  
    Suharyati termasuk salah seorang undangan yang belum dapat menghentikan tangisnya. Ia mengaku teringat lagi akan anaknya, Fitri Erlina yang menjadi korban runtuhan bangunan gedung salah satu lembaga bimbingan belajar yang berlokasi di Jalan Proklamasi Padang.

         "Fitri meninggal akibat tertimpa reruntuhan gedung Gamma. Saat itu dia tengah mengikuti les bersama beberapa temannya," kata ibu berusia 38 tahun itu dengan terbata.

         Gempa 30 September 2009 telah merenggut nyawa anak tercintanya, disamping juga meluluhlantakkan rumahnya.

         Peringatan musibah gempa itu setidaknya dapat mengobati kesedihan Suharyati, meski kini ia kembali harus menangis karena kembali teringat akan anak yang dicintainya.

         "Masih banyak para orang tua yang juga kehilangan anak tercinta mereka, namun tak ada waktu hanya untuk bersedih saja. Semuanya harus bangkit dan optimistis menatap masa depan," ujar guru SMA Negeri 3 Padang itu.

         Bukan saja di Kota Padang, ratusan warga di Padangpariaman juga memperingati gempa dan longsor 30 September 2009 yang dipusatkan di Desa Lubuk Laweh Jajaran, Nagari Tandikek Utara, Kecamatan Patamuan, Kabupaten Padangpariaman.

         Kegiatan peringatan dua tahun gempa tersebut didominasi para pelajar di Padangpariaman yang datang menggunakan truk dan kendaraan bak terbuka.

         Desa Lubuk Laweh Jajaran merupakan daerah pemekaran yang sebelumnya merupakan Dusun Jajaran, bersama Dusun Lubuk Laweh dan Dusun Kampung Apar.

         Karena Dusun Lubuk Laweh merupakan dusun yang tertimbun longsor, maka nama Lubuk Laweh tetap dipakai masyarakat sebagai nama dua desa hasil pemekaran, yakni Desa Lubuk Laweh Jajaran dan Lubuk Laweh Kampung Apar.

         Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Padangpariaman menunjukkan, akibat gempa 30 September 2009 sebanyak 467 orang meninggal dunia di daerah itu, 543 orang luka berat, 512 orang luka ringan, dan 199 orang lainnya dinyatakan hilang.

         Gema dzikir dan tabligh menambah khidmatnya peringatan di kawasan itu. Semua yang hadir khusuk bertafakur sambil melafazkan Surat Al Fatihah sebagai refleksi dan renungan, memetik hikmah pembelajaran dari peristiwa dua tahun lalu itu.

Monumen Gempa
    Seperti yang telah dilakukan Pemkot Padang, Pemerintah Kabupaten Padangpariaman juga berinisiatif membangun monumen gempa dan longsor 30 September berupa tugu untuk mengingatkan peristiwa yang menewaskan ratusan orang di daerah itu.

         Rencana tersebut, kata Wakil Bupati Padangpariaman Damsuar, akan direalisasikan pada 2012 dengan alokasi dana sekitar Rp400 juta.

         "Kami akan membangun tugu itu di daerah Lubuk Laweh Jajaran, Nagari Tandikek Utara, Kecamatan Patamuan pada 2012 guna mengenang para korban gempa dan longsor di Kabupaten Padangpariaman," katanya.

         Rencana pembangunan monumen kemanusiaan tersebut, katanya, sudah ada sejak beberapa bulan pascagempa, namun baru bisa direalisasikan tahun depan.

         Pemkab Padangpariaman tidak hanya membangun tugu, namun juga sebuah kawasan tertentu yang dapat dimanfaatkan pengunjung untuk beristirahat sekaligus melihat bukti-bukti gempa dan longsor dua tahun lalu.

         "Dengan begitu, peristiwa besar itu akan selalu dikenang tidak hanya oleh warga Sumbar, tapi juga pengunjung dari luar daerah dan bahkan dari mancanegara," katanya.

         Ia menyebutkan, Lubuk Laweh pada tahun depan rencananya akan ditetapkan sebagai lokasi peringatan gempa 30 September 2009 tingkat Provinsi Sumbar.

         Padangpariaman merupakan daerah terparah di Sumbar yang terkena dampak gempa 7,9 SR diikuti tanah longsor.

         Longsor menimbun sejumlah desa dan dusun dengan korban terbanyak di Dusun Lubuk Laweh, Dusun Paraman Cumanak, dan Desa Pulau Air.    
    Tiga titik kawasan ditetapkan sebagai kuburan massal karena banyak korban longsor belum ditemukan.

         Di samping itu, sebanyak 277.430 jiwa atau sekitar 60 persen dari penduduk Padangpariaman tidak lagi memiliki tempat tinggal karena rumahnya rusak akibat gempa.

         Sekitar 70 persen infrastruktur, fasilitas umum, dan sarana prasarana juga rusak, dengan total kerugian ditaksir sebesar Rp8,7 triliun.  (*)


Pewarta : Rudrik Syaputra
Editor :
Copyright © ANTARA 2024