Presiden Susilo Bambang Yudhoyono nampaknya mulai gusar dengan serangan kritik yang dialamatkan padanya. Ketika Mantan Presiden Megawati Soekarno Putri melakukan kritik terhadap pemerintahan SBY- Boediono di Sentul, (4/8) dalam acara Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), dimana Megawati menyebutkan beberapa pernyataan. Diantaranya pemerintahan SBY kacau balau, dengan indikator tidak jelasnya penyelesaian masalah ledakan kompor gas, dan harga sembako yang terus melambung. Walau pun pernyataan tersebut disampaikan untuk komsumsi kader PDI-P ternyata membuat Presiden SBY gusar bukan kepalang.
Tahan Kritik
Kritik tersebut langsung dibalas Presiden dengan memberikan keterangan beberapa saat setelah itu. Dimana dalam pidatonya, Presiden menanggapi kenaikan harga sembako disebabkan oleh sejumlah faktor. Diantaranya, cuaca buruk dan distribusi yang kurang lancar. Namun, sayangnya Presiden tidak menjelaskan apa langkah-langkah dan upaya yang dilakukan untuk mengatasi kenaikan harga sembako dan ledakan tabung gas (Hendri Saparini, Economic Chalangges, Metro TV, (9/8). Publik mulai curiga, tidak jelas yang dilakukan oleh pemerintah pilihan rakyat secara langsung tersebut.
Program konversi minyak tanah ke gas elpiji ternyata membawa masalah, ledakan tabung gas terjadi dimana-mana dan telah banyak menimbulkan korban jiwa.
Sejauh ini belum ada upaya konkrit yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi persoalan tersebut. Pemerintah hanya sibuk "berbalas pantun" dengan Pertamina, Menteri Perdagangan, Menteri Perindustrian, Menteri Energi Sumber Daya Mineral.
Berbalas pantun jelas tidak menyelesaikan permasalahan, hanya akan memperlambat penanganan masalah ledakan tabung gas tersebut.
Pertamina selaku Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang melakukan tender tabung ternyata tidak mampu melakukan kontrol terhadap terhadap segala penyimpangan yang dilakukan di lapangan.
Setelah kebijakan dibuat, kemudian dilepaskan begitu saja tanpa ada pemantauan secara berkala, dan kontinue. Akibatnya, berdasarkan penyidikan yang dilakukan oleh aparat kepolisian, di lapangan banyak tabung gas yang dioplos dari 3 Kg hingga 12 Kg, inilah yang dianggap sebagai pemicu terjadinya ledakan.
Lambannya pengananan kasus ledakan gas ini, mengakibatkan korban terus bertambah setiap hari. Beberapa korban belum mendapatkan santunan dari pihak Pertamina yang bertanggung jawab dalam penerapan kebijakan ini.
Adanya upaya yang dilakukan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) untuk menggugat pemerintah dengan class action adalah upaya maju untuk menuntut pertanggungjawaban pemerintah dalam penyelesaian masalah ini.
Pemerintahan SBY- Boediono semestinya harus tahan kritik, bukan membalas segala kritik tersebut dengan retorika untuk mengelak dari kondisi faktual yang ada. Membalas kritik dengan mengkritik lagi bukan menyelesaikan persoalan bangsa yang sudah kompleks ini.
Aneka persoalan yang melilit bangsa ini tidak akan bisa selesai bila pemerintahnya sibuk menangkis serangan dari lawan politiknya.
Kritik seharusnya dibalas dengan kerja. Pemerintahan SBY- Boediono harus menunjukkan bahwa mereka bekerja untuk rakyat, dengan melakukan beberapa program penyelesaian masalah yang mengena pada sasaran. Bukan dengan mengkritik lagi, yang malahan akan menambah runyam persoalan bangsa ini.
Masyarakat akan bertambah bingung karena Presiden pilihannya ternyata tidak becus menyelesaikan persoalan bangsa ini.
Pemerintah dalam setiap kata-katanya harus seiring antara perkataan dan perbuatan. Artinya, dalam setiap ucapannya harus berisi solusi terhadap persoalan, bukan dengan memperburuk keadaan dengan memberikan komentar tanpa ada solusi konkrit.
Pemerintah harus lebih kebal kritik. Pemerintahan demokratis bukan anti terhadap kritik. Dukungan yang diberikan oleh rakyat pada Presidennya bukan dukungan mati, tapi merupakan dukungan yang aktif untuk memberikan masukan dan kritik pada pemimpinnya untuk kembali ke pangkal agar tidak larut dalam kesalahan yang terlalu lama.
Apa yang dilakukan Pong Hardjatmo dengan menaiki kubah utama gedung DPR dengan menuliskan tiga kata yakni, Jujur, Adil dan Tegas merupakan bentuk dari dukungan yang aktif tersebut. Pong Hardjatmo mengatakan, tindakan tersebut merupakan Ultimum Remedium (tindakan terakhir) ketika menulis tidak lagi didengar, dan berkata tidak lagi didengar.
Priyo Budi Santoso selaku anggota DPRD justru menanggapinya secara sinis dengan berucap bahwa tindakan Pong Hardjatmo untuk mencari sensasi, menurut penulis tidak benar. Ini adalah tindakan yang dilakukan oleh warga negara yang peduli dengan kondisi bangsa ini, dengan melampiaskan kekecewaan karena pemerintah dinilai lamban menyelesaikan persoalan bangsa yang kian masif. Pong Hardjatmo mutung akibat situasi dan kondisi politik yang dirasakannya. Ikrar Nusa Bhakti, (Kompas, 4/8/10).
Di sisi lain, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun ikut-ikutan mutung. Ia merasa diancam dengan aksi terror yang terjadi saat ini. Tempo hari, ia merasa ada sekelompok orang yang menjelek-jelekkan pemerintah.
Presiden SBY makin mutung karena kampanye negatif itu disiarkan secara langsung selama dua jam tanpa henti oleh sebuah stasiun televise milik tokoh yang diduga mengkritiknya. Patut di duga orang yang mengkritik tersebut adalah Surya Paloh yang merupakan pemilik Metro TV.
Ini lagi-lagi menandakan pemerintahan SBY tidak tahan terhadap kritik. Dikritik kemudian meminta pembelaan pada rakyat agar diberi simpati. Jika ini yang terjadi kepada siapa lagi masyarakat akan menyampaikan keluhannya, pada saat yang sama pemimpinnya juga mengeluh pada rakyatnya.
Ramainya Koalisi
Banyak masyarakat yang menduga lambannya penyelesaian berbagai persoalan bangsa akhir-akhir ini, disebabkan oleh sistem politik yang menganut koalisi partai. Pemerintahan SBY tidak bebas untuk memgambil tindakan-tindakan karena dihalang oleh pertimbangan-pertimbangan politik yang saling bertabrakan. Artinya, tindakan tegas dihadang oleh tembok koalisi partai yang berada di sekeliling Presiden SBY.
Pemerintah sulit melangkah karena telah terlanjur mengakomodasi partai-partai pragmatis penghamba kekuasaan dan jabatan, tanpa mau bekerja keras untuk mengejar target pemerintahan yang tertuang dalam visi-misi Presiden SBY ketika kampanye silam. Dukungan yang diberikan rakyat sebesar 60 persen lebih ternyata belum juga membuat pemerintah bebas dari godaan partai koalisi yang integritas kebangsaannya diragukan banyak kalangan.
Adanya wacana penyederhanaan partai dengan memperkuat Parlimentary Threshold dari 2,5 persen menjadi 5 persen merupakan langka maju untuk menyederhanakan partai. Namun, apakah DPR serius untuk membahas ini sehingga lahir dalam bentuk kebijakan DPR, atau hanya sebagai akal- akalan DPR saja untuk mengelabui rakyat kembali, setelah tidak hadir dalam berbagai rapat di DPR.
Penyederhanaan partai dinilai sangat penting karena pemerintah lebih bebas dari intervensi partai-partai koalisi, dan akan cepat menyelesaikan persoalan yang melilit bangsa ini, jika tidak maka pemerintah hanya sibuk berbalas pantun dengan kawan sendiri tanpa ujung pangkal yang jelas.
** Penulis adalah, Wartawan LKBN Antara-sumbar, dan Mahasiswa Program Pascasarjana Program Ilmu Hukum Universitas Andalas Padang.