Selain dari Minangkabau Village yang kini lagi dipenghujung bersolek dan belakangan ini lebih dikenal dengan sebutan Minang Fantasi Island atau Mifant, sebagai sebuh objek wisata. Untuk wisata religius, beruntunglah Padang Panjang Kota Serambi Mekah memiliki Masjid Asasi sehingga kesan Padang Panjang sebagai kota yang memiliki objek wisata yang lengkap makin menguat. Seperti diketahui, di kota ini ada wisata budaya, kampus, alam, boga, agama, dan Masjid Asasi merupakan perpaduan antara wisata budaya dan agama atau lebih tren disebut dengan ‘Wisata Religius’. Kelebihan Masjid Asasi terletak pada sejarah pendirian dan corak bangunannya. Mesjid yang telah berusia 400 tahun ini menurut sejarahnya didirikan oleh seorang Syeh yang berasal dari Pasaman. Pembangunan mesjid ini erat kaitannya dengan proses penyebaran agama Islam di Ranah Minang. Walaupun sudah berusia ratusan tahun, mesjid yang terletak di Kelurahan Sigando, Kecamatan Padang Panjang Timur ini masih dalam kondisi baik dan terawat. Sampai saat ini masyarakat setempat masih memanfaatkan masjid tua ini sebagai tempat untuk beribadah sehari-hari, termasuk sholat Jum’at.Untuk mengisi bulan suci Ramadhan 1429 H ini, Masjid Asasi sebagai tempat pembelajaran Pesantren Ramadan bagi relajar. Struktur bangunan Masjid Asasi ini mempunyai corak bangunan yang unik. Bangunan dengan luas ± 300 meter persegi ini berupa bangunan kayu berpanggung berukirkan khas Minangkabau. Masjid ini memiliki 4 tiang utama dan berlantai kayu dengan bentuk atap bertingkat tiga mengerucup ke atas, khas berpenampilan Surau Minangkabau tempo dulu. Saat ini Pemko Padang Panjang menempatkan keberadaan masjid tua ini sebagai salah satu objek wisata religius andalan di Padang Panjang. Namun untuk menjadikannya benar-benar punya nilai jual bagi pengunjung, masih banyak yang harus dibenahi dari masjid ini baik dari segi fisik maupin non fisik. Seperti yang diungkapkan Walikota Padang Panjang dr. H. Syuir Syam. M.Kes.MMR, untuk menjadikan objek wisata religius tentunya juga tak lepas dari peranan masyarakat Kota Serambi Mekah.” Jika telah menjadi tempat tujuan wisata benilai religius tentu perekonomian masyarakat setempat akan terjadi peningkatan karena masayarakat Padang Panjang banyak ditemui home industri,” jelas dr. Suir Syam yang peduli dan giat memasyarakatkan home industri demi untuk meningkatkan perekonomian warganya.. Secara fisik mungkin di bagian tertentu telah dilakukan renovasi tapi tidak lari dari corak aslinya, misalnya mengganti bagian-bagian yang telah lapuk atau bentuk ukiran yang telah memudar. Kemudian komplek mesjid ini dalam radius tertentu benar-benar dijadikan kawasan wisata dengan nuansa Surau Minangkabau tempo dulu. Mendorong partisipasi masyarakat di sekitar mesjid untuk menata tempat tinggalnya senada dengan nuansa yang meliputi mesjid ini, sehingga suatu hari nanti komplek Masjid Asasi menjadi Desa Wisata di Padang Panjang dengan nuansa Surau tempo dulu. Dari segi non fisik, sisi historis mesjid harus lebih digali seditail mungkin, barangkali mengenai asal usul pendiriannya, orang-orang yang terlibat, dan peranan mesjid ini dimasa pengembangan agama Islam di daerah tersebut. Sehingga nantinya akan dapat diungkap sisi historis masjid ini secara utuh. Historis, bamulo banamo Surau Gadang Sebelum tahun 1930 sebagian besar Masyarakat Nagari Gunung menyebut tempat ini Surau Gadang, hanya sebagian kecil masyarakat Nagari Gunung yang menyebutnya Mesjid, terutama masyarakat yang sudah menguasai pengetahuan Agama Islam. Besar kemungkinan dengan sebutan ‘Surau Gadang’ (Surau Besar), kalimat adat atau kedaerahan yang mempegaruahi pemberian namanya sebut Taufik Idris Dt. Mangkuto Rajo, sesepuh, Ninik Mamak Nagari Gunung dan salah seorang penggiat menggali warisan adat dan budaya Minangkabau, khususnya di Padang Panjang. Kata Engku Dt. Mangkuto Rajo, sejarah mencatat bahwa Surau Gadang ini didirikan di areal surau milik Kaum Dt. Kayo Suku Koto Nan Baranam yang kemudian direnofasi menjadi Surau Gadang oleh masyarakat Ampek Koto, yaitu : Nagari Gunung, Nagari Paninjauan, Nagari Jaho, Nagari Tambangan pada tahun 1770. Surau Gadang ini dikerjakan secara bersama-sama oleh masyarakat Ampek Koto. Sebagai Tonggak Tuo kayunya diambil dari Rimbo Gunung Merapi, tetapi karena kayu tersebut ada ulatnya menurut pendapat tukanngya dari pandai sikek, maka kayu itu ditukar dengan Kayu (disebut Tonggak Tuo) yang diambil dari Rimbo Air Putih yaitu berlokasi di ujung Nagari Gunung sebelah matahari terbenam atau sébelah Barat Surau Gadang merupakan tempat sholat Jum’at bagi masyarakat Anak Nagari Ampek Koto. Tukangnya adalah dari daerah Pandai Sikek. Tukang dari Pandai Sikek dikenal lihai dan cekatan dalam hal bertukang kayu. Hingga sekarang Pandai sikek dikenal sebagai cikal bakal dari seni ukiran dari kayu dan begiti juga tenunan di Sumaterabarat. Surau Gadang ini selesai pada tahun 1775. Pada tahun 1912 atap Surau Gadang adalah hijuk yang kemudian diganti dengan atap seng. Tahun 1917 sebagian besar masyarakat Nagari telah melaksanakan shalat Jum’at di Surau Ngalau yang terletak di atas tanah milik Dt. Kupiah dari Suku Koto Nan Baranam dan begitu juga di Surau Koto Katiak. Tahun 1919 menyusul shalat Jum’at diselenggarakan juga di Gantiang yang tereletak di atas tanah Dt. Rajo Ameh, Suku Pisang. Kemudian tahun 1920 menyusul sholat Jum’at di Surau Lubuak berlokasi di Padang Marapulai yang terletak diantara Mato Air (Lubuak) kepunyaan Dt Basa Suku Koto Duo Buah Paruik sabalah kamudiak dan Mato Air (Lubuak) kepunyaan Dt.Rajo. Api, suku Sikumbang Hilia Balai sébelah ke Hilia. Pelaksanaan sholat Jumat di tempat-tempat tersebut hádala akibat perkembangan dan pertumbuhan masyarakat Anak nagari dan telah memenuhi berdasarkan ketentuan dan petunjuk agama. Pada tahun 1930 hingga 1950 sebutan Surau Madang mulai beranjak dengan debutan debutan Mesjid Sigando Nagari Gunung. Pada tahun 1950 sampai Semarang disebut Mesjid Azazi Nagari Sigando Nagari Gunung. “Demi mengenang historis, rasanya wajar kalau diberi nama Suarau Madang Mesjid Azazi Sigando Nagari Gunung,” usul Engku Dt. Mangkuto Rajo Menurut Engku Dt. Mangkuto Rajo, riwayat mesjid ini disampaikan oleh Marzuki Labai Mangkudun, salah seorang ulama yang pernah menjabat Tuangku Ampek Jurai Nagari Gunung. Beliau lahir tahun 1902 dan wafat 1986. Riwayat ini beliau tarima pula dari ayahnya H. Abdullah, Suku Jambak, lahir tahun 1817 dan meninggal tahun 1932. H. Abdullah adalah seorang ulama besar yang berumur panjang dan pernah menjabat Tuangku Ampek Jurai Nagari Gunung. H. Abdullah pun menerima riwayat ini dari ayahnya Dt. Rangkai nan Basa. Disayangkan Engku Dt. Mangkuto Rajo, bahwa masih rendahnya pemahaman budaza adat Minangkabau berdasarkan nilai adat dan budaya luhur yang Islami yang tumbuh dan berkembangnya di daerah sendiri. “Pemerintah Kota Padangpanjang juga bertanggungjawab untuk mengembangkan kurikulum budaya dan adat Minangkabau secara umum dan khususnya yang bermuatan lokal sendiri agar mereka tidak lupa dengan sejarah,” harapnya. (*) *Kasubag Media Penerangan Humas Setdako Padang Panjang

Pewarta : Menda Dt. Pamuntjak Alam. S.I.Kom. M.Si
Editor :
Copyright © ANTARA 2024