Isu politik pembiayaan perikanan kini makin mengemuka seiring rencana pemerintah untuk mendongkrak produksi sektor ini sebesar 353 persen pada tahun 2015. Rencana pemerintah ini membutuhkan dana yang besar, yang dapat bersumber dari APBN maupun non-APBN.
Selama ini pembiayaan non-APBN bertumpu pada lembaga perbankan. Tentu pembiayaan ini bukan tanpa masalah. Apa saja masalah pokok dan strategi untuk menciptakan iklim pembiayaan dari perbankan yang kondusif? Saat ini dana perbankan yang disalurkan ke sektor perikanan masih sangat kecil, baik untuk skala mikro, kecil menengah, maupun besar.
Pada 2005, alokasi kredit untuk perikanan hanya 0,22 persen. Ternyata berdasarkan data Bank Indonesia hingga tahun 2009, alokasi itu tidak berubah nyata, yakni sekitar 0,23 persen. Sumbangan terbesar dalam alokasi kredit tersebut bersumber dari Bank BRI.
Mengapa intermediasi untuk mendukung sektor perikanan tersebut kecil? Pihak perbankan dan pihak pelaku usaha perikanan memiliki pandangan berbeda.
Perbankan melihat sektor ini berisiko tinggi yang terlihat dari NPL (Non-Performing Loan) sebesar 11,76 persen, sebuah angka yang melebihi ambang batas NPL.
Dalam sebuah seminar di Bank Indonesia, salah seorang direktur BRI menyatakan, sektor ini juga belum punya pasar yang tertata, dan mobilitas nelayan yang tinggi. Ada juga yang mengatakan bahwa masyarakat nelayan sulit dipercaya.
Namun perspektif non-bank lain lagi. Mereka melihat perbankan terlalu melihat risiko tanpa mempertimbangkan peluang. Peluang pasar cukup besar karena Ikan sebagai produk pangan akan selamanya dibutuhkan. Begitu pula permintaan pasar internasional masih tinggi.
Namun Bunga kredit dinilai masih terlalu tinggi, prosedur yang rumit, apalagi aturan perbankan selalu mensyaratkan agunan yang memberatkan nelayan. Jangkauan bank juga sangat terbatas. Tidak banyak bank yang beroperasi di sentra-sentra produksi perikanan.
Jadi dua pandangan yang bertolak belakang itu sebenarnya bukan hal baru. Sejak dulu persoalan kredit perbankan untuk sektor perikanan memang seperti itu. Apakah ada jalan keluarnya ? Jalan keluar selalu ada.
Tetapi hal paling mendasar sebelum menjawab beberapa persoalan teknis adalah : apakah benar pendapat kalangan perbankan bahwa nelayan sulit dipercaya? Memang sulit untuk menjawab pertanyaan ini.
Kepercayaan modal paling berharga dalam berusaha, termasuk ketika berhubungan dengan perbankan. Untuk melihat apakah nelayan bisa dipercaya atau tidak, kita bisa melihat bagaimana relasi nelayan dengan para toke yang terikat dalam hubungan patron-klien.
Hubungan mereka bersifat personal dan basisnya kepercayaan. Nelayan percaya bahwa toke akan membantu kehidupan nelayan, dan toke pun percaya nelayan akan loyal serta memenuhi seluruh kewajibannya kepada toke. Hubungan ini berlangsung cukup lama, karena masing-masing pihak saling menjaga kepercayaan yang sudah terbangun.
Jadi, relasi patron-klien seperti itu bisa menggambarkan masyarakat nelayan dapat dipercaya. Nah, sekarang tantangannya adalah bagaimana mentransformasi kepercayaan dalam relasi informal patron-klien ke dalam relasi formal nelayan-perbankan atau nelayan-koperasi.
Tentu bukan hanya soal kepercayaan, tetapi juga ada hal yang lebih teknis yang harus segera dituntaskan, yaitu tentang penjaminan. Pertama, penjaminan finansial. Mengapa perbankan mau terlibat di program Kredit Usaha Rakyat (KUR)? Jawabannya adalah karena perbankan melihat ada sistem penjaminan finansial, yakni adanya peran ASKRINDO.
Begitu pula, mengapa Bank Bukopin mau terlibat dalam program pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir (PEMP), tentu karena di situ ada sistem penjaminan oleh pemerintah (cash collateral).
Dengan penjaminan ini maka risiko bagi perbankan semakin berkurang. Nah, pihak perbankan terus berharap ada institusi penjaminan lainnya untuk berbagai skim kredit. Di sinilah pemerintah ditantang untuk bisa menciptakan sistem penjaminan bagi usaha sekala mikro dan kecil.
Kedua, adalah penjaminan teknis usaha. NPL sebesar 11 persen sering ditafsirkan perbankan bahwa usaha perikanan berisiko. Oleh karena itu masalah ini perlu dijawab dengan perbaikan usaha perikanan sedemikian rupa sehingga mampu menjamin bahwa risiko usaha ini ini kecil.
Penjaminan teknis usaha ini berupa tersedianya tim pendamping teknologi (TPT), pengembangan kelompok usaha, serta pilihan komoditas yang peluang keberhasilannya tinggi. Untuk pilihan komoditas, lele dan rumput laut dapat diprioritaskan karena risikonya kecil.
Begitu pula perlu dikembangkan kemitraan usaha dalam memperbanyak pelaku dalam rantai usaha. Sebagai contoh, pembudidaya ikan tidak perlu mengembangkan benih sendiri dan lalu membesarkan hingga berbulan-bulan. Akan tetapi cukup fokus pada rantai tertentu saja, yaitu produksi benih, membesarkan hingga ukuran tertentu.
Dengan demikian, risikonya tidak sebesar bila seluruh rantai usaha ditangani sendiri. Untuk penjaminan teknis ini tentu saja tidak semata bersifat mikro-teknis, tetapi juga bersifat makro-struktural. Yaitu, sejauh mana variabel makro seperti tata ruang, iklim perdagangan, infrastruktur, serta kebijakan fiskal bisa mendukung sektor perikanan.
Variabel makro ini sangat penting dalam mendukung variabel mikro. Variabel makro ini akan kondusif bila ada kemauan politik dari pemerintah. Jadi, memang bolanya adalah politik.
Namun demikian, bank bukanlah segala-galanya. Untuk kredit mikro, pemerintah juga perlu memikirkan sumber pembiayaan non-bank, yaitu dengan mendirikan Lembaga Pembiayaan Perikanan (LPP) non-bank. Hal ini perlu untuk memecah kebuntuan tersendatnya penyaluran dana perbankan ke sektor perikanan. KUR belum berhasil menjangkau sektor ini.
Begitu pula Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE) di mana dana yang tersalurkan ke sektor ini tahun 2009 baru mencapai 0,2 persen. Artinya program pembiayaan yang populis seperti itu ternyata belum mampu mendongkrak tumbuhnya sektor perikanan.
Bila diamati, program ini masih berbasis perbankan, yang berarti aturan perbankan yang selama ini dianggap menghambat juga berlaku pada program ini.
Inilah yang mendasari pentingnya LPP. Diharapkan LPP lebih bisa kompatibel dengan karakteristik usaha perikanan yang memang khas. Bank bersifat generik dan tidak bisa sefleksibel yang kita mau sesuai dengan karakteristik usaha perikanan, karena bank terikat UU perbankan. Nah, memang untuk membuat LPP perlu payung hukum.
Untuk itu paling tidak ada dua opsi, yaitu membuat UU LPP atau ikut dalam RUU Pembiayaan Pertanian yang saat ini sedang diajukan. Dua opsi itu perlu dikaji kelayakannya baik secara hukum, ekonomi maupun politik.
Jadi, sekali lagi bahwa persoalan pembiayaan perikanan memang tidak sesederhana yang kita bayangkan. Akan tetapi berkaca pada kondisi makro-ekonomi kita stabil, dan kinerja perbankan juga baik, maka mestinya intermediasi tidak bermasalah.
Adalah tugas pemerintah untuk terus meyakinkan usaha perikanan prospektif. Pada saat yang sama, perbankan harus mulai membuka mata lebar-lebar terhadap prospek usaha itu. Oleh karenanya, pihak perbankan, pelaku usaha, dan pemerintah harus menunjukkan goodwill yang sama. Bila masing-masing punya kehendak yang sama maka pemecahan masalah pembiayaan akan lebih mudah dilakukan. (*)
*Dekan Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) IPB