Pesisir Selatan merupakan daerah rawan bencana. Daerahnya yang berbukit-bukit, “dibelah” oleh 22 buah sungai dan dengan garis pantai sepanjang 234,2 km, membuat bencana tanah longsor, banjir bandang dan gelombang pasang rentan melanda Pesisir Selatan. Selain itu, mengingat Sumatera Barat berada pada pertemuan lempeng Indo-Australi dan lempeng Eurasia, maka potensi bencana gempabumi dan tsunami pun tak bisa ditafikkan. Berdasarkan publikasi website Pemkab Pesisir Selatan, sepanjang periode 2006-2008, kabupaten terluas di Sumatera Barat itu telah diguncang 1 gempa bumi, 3 banjir bandang, dan 2 gelombang pasang. Semua itu berdampak pada kerusakan infrastruktur, fasum dan harta benda masyarakat. Kerugian yang diderita masyarakat dan Pemkab telah mencapai triliunan rupiah. Sebagai gambaran, total taksiran kerugian gempa bumi pada 12 September 2007 mencapai Rp.1.142.720.000.000. Kondisi ini tentunya membuat anggaran peningkatan kesejahteraan 42.177 KK miskin (39,72%) dari total penduduk Pesisir Selatan semakin minim, karena digunakan untuk rehabilitasi dan rekonstruksi dampak bencana. Penanggulangan bencana tentunya bukan sekedar tanggap darurat, melainkan juga mencakup pencegahan dan mitigasi, kesiapsiagaan, dan juga pemulihan. Dalam konteks ini, paradigma kebijakan Pemkab Pesisir Selatan sudah mulai progresif. Pemkab Pesisir Selatan sudah acap memfasilitasi seminar kebencanaan, pensiagaan alat berat pada titik-titik jalan yang rawan longsor pada musim penghujan tiba, termasuk penyusunan dan sosialisasi sistem mitigasi tsunami di Kota Painan -yang mencakup pembangunan sirene peringatan dini, jalur dan rambu-rambu evakuasi serta daerah relokasi tsunami. Pada Februari lalu, Pemkab Pesisir Selatan bahkan mensepakati MoU Pengurangan Risiko Bencana di Kabupaten Pesisir Selatan dengan KOGAMI-MercysCorps. Karena bencana dapat dikategorikan sebagai kejadian luar biasa dan sifatnya multi sektoral, maka penanganan bencana di Kab. Pesisir Selatan telah menjadi tanggungjawab bersama instansi pemerintah daerah. Instansi pemerintah yang terkait dengan hal ini, terutama Dinas Sosial, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Kesehatan, Satkorlak Bencana, Kesbanglinmas, Pemadam Kebakaran, Polisi dan TNI. Meskipun telah menjadi tanggungjawab bersama, tetapi karena pada prinsipnya instansi-instansi tersebut bersifat sejajar, maka koordinasi antara mereka menjadi persoalan tersendiri. Acap kali ditemukan tumpang tindih tupoksi atau keterlambatan bergerak karena kuatir overleaf. Penanggulangan bencana di Pesisir Selatan telah menjadi salah satu tanggungjawab bidang perlindungan masyarakat yang dinaungi oleh Badan Kesbanglinmas. Tetapi, karena lingkup penanggulangan bencana sangat luas, membuat kinerja dari Badan Kesbanglinmas menjadi tidak maksimal, atau cenderung sekedar menjadi pelaksana evakuasi korban, mengkoordinir tim relawan dan satkorlak. Padahal penanggulangan bencana erat sekali kaitannya dengan pengurangan resiko bencana. Dalam konteks itu, maka yang terpenting adalah 1) perumusan dan penetapan kebijakan penanggulangan bencana, 2) penanganan korban bencana dengan cepat dan tepat, efektif dan efisien, 3) mengkoordinir pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, dan menyeluruh. Untuk menjawab persoalan itu, maka UU No. 24/2007 telah memberikan peluang bagi kabupaten/kota dengan resiko bencana yang tinggi untuk membentuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Badan ini yang akan menjadi motor utama dalam menetapkan pedoman dan pengarahan sesuai dengan kebijakan pemerintah daerah dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) terhadap usaha penanggulangan bencana yang mencakup pencegahan bencana, penanganan darurat, rehabilitasi, serta rekonstruksi secara adil dan setara. Lingkup BPBD cukup luas yaitu menyangkut melakukan koordinasi pada tahap prabencana dan pascabencana dengan institusi terkait, sementara pada fase tanggap darurat dengan arahan dari kepala daerah, BPBD akan pemegang tongkat komando. Pada tahap prabencana, BPBD dapat berperan aktif dalam mendorong kesiapsiagaan Pemkab dan masyarakat, menyusun dan mempersiapkan sistem peringatan dini dan mitigasi bencana. BPBD dapat memberikan saran dan rekomendasi atas kebijakan-kebijakan daerah, termasuk penyusunan perda dan pengelolaan dana bantuan masyarakat, dalam rangka pengurangan resiko bencana -misalnya persoalan amdal, pengelolaan hutan di pebukitan atau rencana pembangunan bangunan di tepi pantai. Keberadaan BPBD akan membuat tindakan tanggap darurat dapat berlangsung cepat, tepat dan efisien. Masyarakat korban bencana tidak perlu menunggu lama, karena ketika bencana terjadi dengan wewenang dan SOP yang dimilikinya, BPBD dapat segera turun ke lapangan. Sementara pada tahap paska bencana, tanggungjawab BPBD dalam melakukan rekonstruksi dan rehabilitasi dapat lebih terfokus. Dalam konteks pertanggungjawaban pun, baik pengelolaan dana maupun kinerja, BPBD diikat oleh kewajiban untuk melaporkan aktivitasnya kepada kepala daerah setiap sebulan sekali dalam kondisi normal dan setiap saat dalam kondisi darurat bencana (pasal 21 ayat f UU 24/2007). Dengan begitu, Bupati dapat secara berkala mengevaluasi badan penanggulangan bencana tersebut, dan memberikan arahan atau masukan untuk progresifitas kinerja ke depan. Mengingat kalau pembentukan BPBD diatur dalam Perda dan mengamati fenomena bencana di Pesisir Selatan, maka pengesahan Perda pembentukan BPBD Pesisir Selatan sepertinya dapat menjadi kado pembuka yang bagus bagi DPRD Periode 2009-2014 kepada masyarakat Pesisir Selatan. *Penulis adalah Intermediate Fasilitator KOGAMI - MercyCorps (isi tulisan tidak mewakili kebijakan institusi)

Pewarta : Hendri Teja
Editor :
Copyright © ANTARA 2024