Kebhinnekaan yang ada di Indonesia adalah kekayaan yang tidak ternilai harganya. Kebhinekaan ini pulalah yang dapat kita jadikan sebagai kebanggaan. Apabila dilakukan napak tilas terhadap perjalanan panjang bangsa Indonesia. Maka kita akan menemukan fakta bahwa hadirnya Indonesia sebagai dampak menyatunya kebhinekaan yang ada. Lahirnya Sumpah Pemuda lah yang merupakan awal penyatuan kebhinnekaan. Kalau kita boleh berandai-andai, tentunya kita tidak dapat membayangkan negara yang bagaimana yang akan terwujud apabila masing-masing daerah terus berjuang untuk kepentingan daerah mereka sendiri. Bukan tidak mungkin yang akan lahir adalah Negara Sumatra, Negara Jawa, Negara Kalimantan, Negara Sulawesi, dan negara-negara lainnya. Tetapi semua itu hanyalah pengandaian. Sekarang realitanya adalah kita tergabung dalam satu Negara Kesatuan Republik Indonesia . Dengan demikian, tentunya kita harus berbuat untuk mewujudkan cita-cita proklamasi, yaitu tegaknya demokrasi. Untuk memenuhi cita-cita proklamasi itu tentunya kita tidak dapat memalingkan muka terhadap perkembangan demokrasi lokal, karena demokrasi lokal adalah bagian dari demokrasi Indonesia . Demikian juga halnya dalam mewujudkan multikultur, budaya Indonesia tidak akan ada tanpa adanya budaya-budaya lokal. Jejak-Jejak Demokrasi di Minangkabau. Masyarakat Minangkabau dikenal dengan sistem kekerabatan yang unik[1] dan mempunyai struktur sosial yang bersifat komunal dan egaliter. Dibandingkan dengan daerah lain, masyarakat Minangkabau relatif homogen, tetapi di dalamnya terdapat keanekaragaman kekuatan dan aliran pemikiran yang sangat heterogen. Mereka lebih suka mengandalkan sikap kompetitif dan menyimpan potensi konflik, tetapi karena sudah diakomodasikan oleh sistem sosialnya yang dinamis, maka potensi konflik tersebut justru menjadi kekuatan perubahan ke arah yang lebih dinamis. Banyaknya tokoh Minangkabau yang menjadi pemimpin di tingkat nasional pada masa revolusi, dengan aliran ideologis yang berbeda-beda, membuktikan kompetisi intelektual mendapat tempat dalam masyarakat Minangkabau. Dalam hal demokrasi, masyarakat Minangkabau telah mengenal dan menerapkan sistem demokrasi sejak berabad-abad yang lalu.[2] Oleh karena itu merupakan hal yang wajar ketika revolusi berakhir daerah ini dengan cepat menangkap kembali spirit demokrasi yang telah sekian lama terpasung di bawah rezim kolonial. Lahirnya mosi Tan Tuah[3] tahun 1950 adalah cerminan dari usaha pemimpin Minangkabau melepas sumbat demokrasi yang berakar dalam tradisi nenek moyang mereka dan telah kehilangan kekuatannya selama masa penjajahan. Mosi tersebut sekaligus sebagai batu ujian pertama dalam sejarah demokrasi pada tahun pertama kemerdekaan. Demokrasi di Minangkabau pernah mengalami kekosongan, yaitu ketika Dewan Perwakilan Rakyat Sumatera Tengah (DPRST) dibekukan oleh perdana menteri M. Natsir. Pembekuan DPRST berawal dengan mundurnya Mr. M. Nasroen dari kursi gubernur Sumatera Tengah, akibat Mosi Tan Tuah, sehingga pemerintah pusat menyikapi kondisi tersebut dengan mengeluarkan Surat Keputusan untuk pengangkatan gubernur Sumatera Tengah. Tokoh yang diangkat adalah Mr. Roeslan Muljohardjo dari partai Masyumi di Jawa. Kebijakan pemerintah pusat tersebut menimbulkan reaksi yang kera dari DPRST, karena yang diangkat bukanlah nama-nama yang diusulkan DPRST. [4]Sebagai bentuk kekecewaannya, DPRST pun memutuskan menolak Roeslan. Akibatnya, pemerintah pusat mengeluarkan PP No. 1 tahun 1951 tentang pembekuan DPRST karena dianggap membangkang kepada pemerintah pusat. Setelah dibekukannya DPRST, maka tanah Minang yang demokratis telah kehilangan salah satu alat demokrasinya. Gubernur Sumatera Tengah memerintah tanpa pengawasan dari wakil-wakil rakyat. Dampak lain dari pembekuan DPRST adalah partai-partai kehilangan wadah politiknya, sehingga awal tahun 1952 tokoh-tokoh partai berkumpul, bermusyawarah, dan akhirnya memutuskan untuk membentuk suatu badan yang dinamakan Koordinasi Partai-Partai Politik se-Sumatera Tengah (KPPST). Badan ini berhasil mengadakan Kongres Rakyat yang melibatkan para pemimpin dari berbagai pelosok nagari dan mengadakan Musyawarah Besar antara Tungku Tigo Sajarangan[5] yang merupakan elit tradisional di Minangkabau. Kelanjutan dari Kongres Rakyat adalah dilakukannya konsolidasi ke dalam . KPPST juga mengekluarkan Statement Bersama yang isinya antara lain menyesali sikap pemerintah pusat membekukan DPRST yang mengakibatkan kosongnya demokrasi di Sumatera Tengah dalam jangka waktu yang lama dan mereka juga mendesak segera diadakannya pemilihan umum. Pelaksanaan pemilihan umum tahun 1955, sebagai bagian dari program Kabinet Burhanuddin Hararap, memang bukan semata-mata ditujukan langsung untuk menanggapi tuntutan KPRST. Namun demikian, para pemimpin dan rakyat Minangkabau menyambutnya dengan hangat. Bagi masyarakat Minangkabau, dengan diadakannya pemilihan umum tidak hanya akan memberikan legitimasi kepada pemerintah yang berkuasa, tetapi juga memberikan keuntungan tersendiri bagi keberlangsungan demokrasi di tanah mereka. Pemilihan umum adalah kesempatan terbaik masyarakat Minangkabau untuk mengakhiri kekosongan demokrasi yang terjadi di daerah ini. Artinya, rakyat Minangkabau kembali mempunyai kesempatan lebih luas untuk berpartisipasi dalam menegakkan prinsip demokrasi secara nyata. Dinamika demokrasi di Minangkabau terus terjadi, bahkan lahirnya peristiwa PRRI dapat dikatakan sebagai salah satu cara orang Minangkabau mengekspresikan semangat demokrasi yang merupakan inti dari Proklamasi. Pembentukan Dewan Banteng[6] adalah upaya kongkrit rakyat Minangkabau dalam melakukan koreksi terhadap berbagai penyimpangan yang dilakukan pemerintah pusat dalam praktek penyelenggaraan negara. Pemimpin dan rakyat Minangkabau menilai pemerintah pusat semakin tidak demokratis dan telah melanggar konstitusi dan cita-cita Proklamasi. Hal ini mereka anggap telah melampaui batas dan harus segera dicegah agar permasalahannya tidak menjadi berlarut-larut. Sayangnya apa yang ada dalam pikiran pemimpin dan rakyat Minangkabau belum mampu dipahami oleh para pemimpin duduk dalam pemerintahan pusat. Harapan akan sebuah musyawarah, sebagai wujud demokrasi, dijawab dengan tumpahnya darah. Penumpasan secara militer menjadi pilihan pemerintah pusat.. Akibatnya, rakyat Minangkabau harus menjadi pemberontak yang kalah. Ini adalah hasil yang sangat kontras dengan apa yang diharapkan pemimpin dan rakyat Minangkabau. Artinya, awak maajak batuka pangana urang manjawek jo sanjato. Peristiwa PRRI memang membawa dampak yang sangat tragis terhadap sumber daya manusia di Minangkabau. Tumbal PRRI adalah para putra terbaik Minangkabau yang merupakan penyambung tongkat estafet perkembangan ranah Minang. Namun demikian, peristiwa PRRI tidaklah sampai memusnahkan tradisi demokrasi lokal yang ada di Minangkabau. Bahkan yang akhirnya mengacaukan tatanan tradisi demokrasi lokal di Minangkabau adalah kesalahan yang dilakukan oleh pemerintah daerah Sumatera Barat sendiri, yaitu dalam menyikapi UU No. 5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa. Dalam UU No. 5 tahun 1979 disebutkan: Desa ialah suatu wilayah yang ditempati sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerntahan terendah langsung di bawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumahtangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dari rumusan di atas terlihat bahwa hak otonomi daerah atau sebuah desa adalah tumbuh dari bawah. Dengan sifat otonominya itu maka yang harus dilakukan pemerintahan Sumatera Barat pada waktu itu adalah mengukuhkan wilayah Nagarai menjadi Desa, sehingga yang terjadi hanyalah pergantian nama saja dan tidak akan merusak struktur pemerintahan lokal itu sendiri. Jika saja pemerintah daerah Sumatera Barat mengembil kebijakan seperti itu, maka yang terjadi hanyalah perubahan sebutan Wali Nagari menjadi Kepala Desa dan Kerapatan Adat Nagari menjadi Lembaga Musyawarah Desa. Kondisi tersebut tentu saja tidak akan merubah fungsi lembaga pemerintahan lokal di Minangkabau. Namun yang terjadi tidaklah demikian, pemerintah daerah Sumatera Barat membelah-belah nagari dengan mengangkat status jorong[7] menjadi desa. Akibatnya, yang berganti bukan hanya nama dan sebutan dalam pemerintahan terendah, tetapi juga memusnahkan kelembagaan tradisional dan lokal yang telah hidup beratus tahun di Minangkabau. Sementara sistem dan kelembagaan yang baru tidak mampu menggantikan fungsi kelembagaan yang lama. Sangat disayangkan, Nagari yang diakui sebagai kelembagaan tradisional dan lokal yang istimewa dan sangat unik harus hilang dari kebhinekaan wilayah Republik Indonesia . Bubarnya pemerintah nagari juga berarti musnahnya nilai-nilai demokrasi lokal yang telah hidup di nagari selama berabad-abad dan telah memperkaya khasanah kebhinekaan bangsa Indonesia . Pemerintahan nagari selain berfungsi dari segi pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan, juga berfungsi dalam adat istiadat serta mengelola harta kekayaan nagari. Fungsi-fungsi inilah yang tidak tergantikan oleh system pemerintahan desa yang lahir dari jorong. Untuk mengembalikan tatanan kelembagaan tradisional tersebut, maka ketika disahkannya UU No. 2 tahun 1999, tentang otonomi daerah, pemerintah daerah Sumatera Barat segera mengadakan gerakan kembali ke nagari. Gerakan kembali ke nagari disambukt masyarakat Minangkabau dengan antusias, tetapi dalam pelaksanaanya masing-masing desa menginginkan wilayah merekalah yang menjadi pusat pemerintahan nagari. Mereka tidak mau desa mereka kembali menjadi jorong. Artinya, yang terjadi hanyalah perubahan nama desa menjadi nagari tanpa adanya perubahan fungsi. Dengan demikian, nagari yang ada sekarang bukanlah cerminan dari nagari-nagari di Minangkabau pada masa lalu. Sekelumit dinamika demokrasi di Minangkabau tentunya telah memperlihatkan salah satu bagian dari demokrasi di Indonesia. Untuk mewujudkan demokrasi di Indonesia secara utuh, kiranya kita harus mengungkapkan perkembangan demokrasi di masing-masing lokal atau daerah yang ada di Nusantara. Dengan demikian, kita akan dapat mengkritisi perjalanan demokrasi yang terjadi dalam bangsa kita, sehingga kita dapat mengambil tindakan yang tepat untuk menentukan langkah demokrasi bangsa saat ini dan di masa yang akan datang. *** [1] Minangkabau menggunakan sistem kekerabatan matrilineal, yaitu sistem kekerabatan menurut garis Ibu. Sistem kekerabatan tersebut merupakan sistem kekerabatan yang istimewa. [2] Cikal bakal demokrasi di Minangkabau adalah kelarasan Bodi Caniago yang dikembangkan oleh Dt. Parpatiah nan Sabatang. [3] Mosi Tan Tuah merupakan hasil sidang pleno DPRST sebagai bentuk reaksi dan tidak percaya terhadap gubernur Sematera Tengah, yang saat itu dijabat oleh Mr. M. Nasroen. [4] DPRST pernah mengusulkan empat nama calon gubernur kepada pemerintah pusat, yaitu H. Iljas Jacoub, Dr. M. Djamil, Dr. A. Rahim Usman, dan Mr. Rasyid. [5] Tungku Tigo Sajarangan terdiri dari Niniak Mamak sebagai tokoh adat, Alim Ulama sebagai tokoh agama, dan Cadiak Pandai sebagai tokoh intelektual. Ketiga komponen tersebut merupakan unsur utama dalam struktur kepemimpinan tradisional Minangkabau. [6] Dewan Banteng dibentuk oleh bekas perwira yang dulunya tergabung dalam Divisi Banteng. Tujuan awal dibentuknya Dewan Banteng adalah untuk membantu kawan-kawan mereka yang sudah tidak berdinas lagi. Dewan Banteng dikomandoi oleh Letkol Ahmad Husein. [7] Jorong adalah sub-wilayah dari nagari. Sebuah nagari biasanya terdiri dari beberapa jorong.

Pewarta : Doni Marlizon
Editor :
Copyright © ANTARA 2024