Abdulllah (58), begitu nama yang diberi orangtuanya sejak kecil. Tebalnya gincu merah, ketatnya 'tank-top', sengatan bau parfum perempuan dan gaya kemayu yang menempel di tubuhnya, tidak mengherankan bila dia menamai dirinya dengan Devi.
Saat itu dirinya sungguh tidak bisa dibedakan bila dilihat dari belakang dengan pakaian serba merah muda. Hujan rinai membuatnya harus mengembangkan payung, sementara rambutnya sudah basah sehabis keramas dihiasi seikat bando. Dia bersembunyi di sebuah gang di Jalan Pemuda Padang, Sumbar.
Suasana lengang, sekali-sekali motor lewat. Hampir setiap minggu dia mangkal di kawasan tersebut. Dia mengaku, tidak menentukan tarif bagi para lelaki yang menginginkan sensasi lain darinya.
"Terserah mau dikasih berapa saja, saya nggak maksa. Kadang dikasih Rp30 ribu, kadang dikasih Rp10 ribu," ujarnya dengan jakun naik-turun layaknya lelaki tulen.
Sudah berumur kepala lima, lelaki asal Nias itu masih tetap menggeluti pekerjaan yang sudah dijalaninya sejak tahun 70-an, dan lama eksis di Jakarta. Setelah Idul Fitri tahun 2008, dia baru hijrah ke Padang dan tinggal di Koto Marapak.
Katanya, suasana dunia malam di Padang sangat sepi sekali, berbeda dengan di Jakarta. Apalagi, umurnya sudah tua sehingga membuatnya tidak mau bergabung dengan para waria lainnya di kota ini yang rata-rata banyak mangkal di kawasan banda bakali GOR Agus Salim.
Dia berkisah, profesi 'menyimpang' yang dilakukannya itu sebenarnya bukan hanya karena faktor ekonomi, tetapi karena dirinya sudah memiliki perilaku kewanitaan sejak kecil. Keluarganya pun menerima dirinya yang memutuskan berdandan ala wanita, hingga memiliki payudara seperti wanita.
"Sempat ada keinginan untuk memotong alat kelamin, karena itu merupakan syarat saat saya ingin masuk sebuah komunitas waria terkenal di Jakarta. Tapi orangtua melarang, karena itu tidak mensyukuri ciptaan Tuhan," tuturnya.
Penampilan seperti perempuan, kata dia, juga dijalani sehari-hari. Sampai-sampai, warga di tempatnya tinggal menerima keadaannya yang demikian, dan telah menganggapnya sebagai perempuan, bahkan seperti saudara sendiri.
Karena itu, selain kerja malam, pada siang hari dia bekerja membantu seseorang yang memiliki usaha kue. Selain itu dia juga membantu ibu-ibu PKK setempat belajar menyalon dan membuat kue.
Menyadari dirinya sudah tua, dunia malam hampir dia lupakan. Namun kehidupan yang semakin sulit memaksanya untuk kembali ke sana, ke jalan yang kelam dan kejam. Karena dia pikir, dia bisa mendapatkan uang tambahan untuk pulang kampung berziarah ke makam keluarga di bulan tiga.
Keluarga Tewas Akibat Gempa di Nias
Devi atau Abdulllah dilahirkan dari sebuah keluarga Muslim sebagai anak kelima dari tujuh orang bersaudara di Nias. Kenyataan berat diterima keluarganya, Abdullah berperilaku kewanitaan sejak kecil. Sekian lama, orangtuanya pun menerima takdir tersebut sebagai sebuah anugerah, bahwa Abdullah di keluarga dianggap sebagai anak, bahkan lebih dari itu karena Abdullah memiliki keahlian yang tidak dimiliki laki-laki seperti memasak atau pekerjaan perempuan lainnya.
Saat dirinya merantau ke Jakarta sebagai waria panggilan pada tahun 2005, kejadian menimpa keluarganya di kampung, bahkan seluruh orang yang dikenalnya di Nias mengalaami bencana tersebut, yakni gempa.
"Waktu itu, saya dengar kabar ada gempa di Nias. Akhirnya saya dengar kabar lagi yang sangat memilukan, adik-adik saya tewas karena gempa dan ayah saya tewas dengan kepala terpenggal," lirihnya sambil menyeka air mata yang mulai melumerkan maskaranya.
Memang, gempa bumi yang melanda Sumatra terjadi pada pukul 23.09 WIB pada 28 Maret 2005, dengan pusat gempanya berada di 2° 04' 35? U 97° 00' 58? T, 30 km di bawah permukaan Samudra Hindia, 200 kilometer sebelah barat Sibolga, Sumatra atau 1400 km barat laut Jakarta, sekitar setengah jarak antara pulau Nias dan Simeulue.
Berdasarkan data BMG, catatan seismik memberikan angka 8,7 skala Richter (BMG di Indonesia mencatat 8,2) dan getarannya terasa hingga Bangkok, Thailand, sekitar 1.000 km jauhnya [1]. menewaskan 850 orang dan ribuan lainnya kehilangan tempat tinggal. Gempa tersebut merupakan terdahsyat setelah gempa di Aceh 24 Desember 2004.
Kejadian itulah, yang memotivasi dirinya untuk berbuat lebih baik, menjadi seseorang yang diandalkan keluarga. Apalagi, kini ibunya dalam keadaan renta tengah mengalami stroke. Namun keadaanlah yang kembali memaksanya untuk meraih apa yang diinginkannya.
Ditangkap Satpol-PP
Bertahun-tahun berlalu, dia tetap eksis dengan 'kewariannya', dalam arti tetap menjadi seorang waria dengan wujud laki-laki yang bergaya perempuan. Mencoba kembali turun ke jalan, namun apes baginya petugas Satpol-PP berhasil menangkapnya berdasarkan laporan para remaja.
Devi yang saat itu memakai pakaian seronok merah jambu serta memakai payung pasrah diseret Satpol-PP Padang ke mobil patroli tanpa perlawanan, saat kamera fotografer koran memotretnya dia malah tersenyum yang bagi para remaja tersebut adalah senyum yang mengerikan.
"Saya baru sekali ini tertangkap Satpol-PP, biasanya nggak pernah. Takut juga, nanti diapa-apain," katanya dari balik sel Mapol-PP Padang. Dia bahkan tidak tahu ke mana jalan pulang, karena dia mengaku belum memahami jalan-jalan di Kota Padang.
Anggota Satpol-PP Padang yang biasanya jahil dengan para waria, kali ini saat menangkap Devi tidak berminat untuk mengerjainya. Petugas hanya mencoba menggertak agar Devi membuka kutangnya, menandakan dirinya laki-laki atau perempuan.
Devi yang mengaku pernah beberapa kali berpacaran dengan laki-laki tersebut, memang tidak bergabung dengan para waria lainnya. Dia merasa dirinya lebih baik daripada yang lain, barangkali malu bila bergabung dengan muda.
Namun apalah daya, saat berada di balik jeruji besi itu, dia tidak bisa berbuat apa-apa. Pikirannya pun menerawang ke kampung halaman yang selalu dirindukan. Wajah ibunya muncul, wajah ayahnya menyembul, kemudian kenangan itu pecah begitu saja saat hardikan petugas menyuruh bersihkan kamar mandi. Saat itu fajar hampir menyingsing.(***)