Dari Otoda ke-Federal
oleh Musfi Yendra, S.IP
Mahasiswa Pasca Sarjana Unand
Tantangan bagi penguatan demokrasi atau konsolidasi demokrasi adalah bagaimana memberikan akses demokrasi kepada masyarakat dan pembentukan serta penguatan institusi-institusi demokrasi. Dititik inilah desentralisasi dengan perwujudan otonomi daerah memiliki peran yang sangat penting dalam konsolidasi demokrasi. Peran desentralisasi dalam konsolidasi demokrasi tersebut berasal dari adanya proses demokrasi yang memotivasi otoritas lokal dalam menjawab aspirasi dan kebutuhan konstituennya.
Otonomi daerah diyakini sebagai sebuah sistem yang paling tepat dalam mengakomodir kepentingan daerah. Perencanaan yang dilakukan oleh pemerintah pusat dalam sistem pemerintahan sentralisasi dianggap gagal. Bahkan sejak tahun 1960 sudah disadari bahwa perencanaan terpusat itu tidak mendatangkan manfaat banyak bagi daerah, malah menimbulkan konsekuensi yang disfungsional.
Beberapa dampak dari dari disfungsional tersebut adalah; pertama, terjadi disparitas perkembangan ekonomi. Kedua, kebijakan yang tidak sesuai dengan kebutuhan lokal. Ketiga, pusat membuat kebijakan untuk memenuhi kebutuhannya. Empat, pusat membuat kebijakan untuk konsumsi internasional dan kelima, penyedotan aset daerah oleh pusat.
Para ahli kemudian tidak percaya dengan sentralisasi yang telah dijalankan diberbagai negara dan mengusulkan alternatif otonomi daerah. Riswandha Imawan (2002) mengatakan bila kita percaya bahwa sistem demokratis merupakan ciri masyarakat modern, maka kitapun harus percaya bahwa pelaksanaan otonomi daerah merupakan kewajiban yang harus diterapkan.
Otonomi daerah bukanlah tujuan tapi alat untuk mencapai tujuan. Tujuan dari otonomi daerah adalah efektivitas pembangunan dan pelayanan publik. Otonomi daerah diharapkan tidak hanya membicarakan persoalan pemerintahan, melainkan juga persoalaan pelayanan umum dan pembangunan. Pembangunan daerah adalah sesuatu yang kompleks sehingga tidak bisa direncanakan dari pusat.
Dalam pelayanan umum, otonomi daerah memungkinkan pemerintah memberikan pelayanan kepada rakyat lebih baik. Akan tercipta pengelolaan pelayanan umum yang lebih fleksibel, inovatif dan kreatif. Daerah yang tidak kreatif dan inovatif akan tertinggal dalam banyak hal.
Dampak otonomi daerah adalah pertama, akses orang-orang yang tinggal di daerah pedesaan yang dulunya diabaikan terhadap sumber-sumber pemerintahan pusat semakin meningkat. Kedua, kekuatan tawar pemerintah lokal terhadap pemerintah pusat meningkat, sehingga mereka mampu mendapat jumlah sumberdaya pusat yang lebih besar bagi pembangunan lokal. Ketiga, organisasi-organisasi baru untuk merencanakan dan mengelola pembangunan menjadi hidup dan berkembang. Empat, kemampuan administratif dan teknis pemerintah daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan membaik.
Untuk terciptanya pelaksanaan otonomi daerah yang baik dan dapat mengukur kinerja pemerintahnya, ada 4 faktor menurut Rondenelli dan Cheema. Pertama, kemampuan institusi pelaksana (internal birokrasi). Harus ada pola manajemen yang baru dalam sistem pemerintahan birokrasi. Bahwa otonomi daerah tidak menghendaki lagi birokrat dilayani oleh rakyat. Tapi birokrat bertugas memberikan pelayanan yang penuh kepada rakyat.
Kedua, hubungan-hubungan antar institusi pelaksana (koordinasi). Koordinasi menjadi sangat penting antar insitusi dalam tubuh pemerintahan. Sehingga tercipta sinergisitas pelayanan publik yang memadai terhadap masyarakat. Ego antara satu dinas dengan lainnya harus dieleminir, karena akan bisa mengganggu stabilitas pelayanan publik.
Ketiga, ketersedian sumberdaya yang memadai. Persolaan terbesar yang dihadapi dalam menciptakaan otonomi yang ideal adalah sumberdaya aparatur birokrasi yang tidak memadai. Dalam berbagai aspek ini terus dievaluasi, para penyelenggara pemerintahan yang gagap teknologi, cara berpikir yang tradisional, tidak memahami tata menajemen organisasi yang baik, dan lain sebagainya.
Keempat, lingkungan institusi pelaksana (situasi masyarakat sipil). Pada tingkat masyarakat yang tidak mau menerima kemajuan juga akan sulit untuk mengukur kinerja otonomi daerah. Artinya masyarakta juga mesti siap mengiringi perubahan yang dilakukukan pemerintah.
Federalisme
Larry Diamond dalam buku Developing Democracy Toward Consolidation mengemukakan tiga keuntungan federalisme. Pertama, federalisme manawarkan desentralisasi politik yang komprehensif dengan adanya pemerintah tingkat menengah (middle tier of government). Pemerintah penghubung antara kepentingan pusat dan daerah ini sangat penting di negara dengan wilayah yang amat luas. Sebab, jumlah pemerintah daerah terlalu banyak sehingga gagal menjalankan tiga fungsi pokoknya: sebagai pengimbang kekuatan pusat, penyediaan arena bagi perkembangan demokrasi, serta untuk menjalankan fungsi lain dalam menekan konflik etnis.
Menurut Diamond, hanya pemerintah level menengahlah yang mampu menjalankan tiga fungsi tersebut. Namun dalam konteks Indonesia, karena ketakutan terhadap kemungkinan berkembangnya federalisme, maka otonomi tidak ditempatkan pada level provinsi, namun langsung kepada kabupaten/kota yang relatif lemah secara politis dan ekonomis sehingga dapat dikendalikan oleh pusat.
Kedua, federalisme mendorong kompetisi dan inovasi antar wilayah (propinsi) dan mencegah perilaku korup aparat pusat, meskipun ada kecenderungan korup juga dikalangan aparat daerah. Ketiga, federalisme menyediakan kerangka kerja yang lebih mapan dalam mengelola perpecahan etnik dan problem kebangsaan lainnya.
Dua hal harus diperhitungkan sebelum sampai kepada keputusan untuk menerapkan federalisme; pertama, perlu upaya konsisten untuk membangun rasa kebangsaan dan karakter nasional (nation and character building). Tanpa hal ini, federalisme akan merusak sendi-sendi persatuan yang terpatri dalam jargon satu nusa satu bangsa, satu nasib satu saudara.
Kedua, dibutuhkan adanya kedewasaan berpolitik dan sikap ke-negarawan-an diantara politisi lokal. Ketika desentralisasi secara luas diberlakukan, banyak sekali muncul konflik antara legislatif-eksekutif, pusat-daerah, propinsi-kabupaten, serta antara pemerintah-kelompok masyarakat. Maka, tanpa adanya kedewasaan dan kenegarawanan, federalisme hanya akan memperburuk konflik-konflik tersebut.
Dampak buruk federalisme adalah menjurus kearah pemisahan, atau dalam bahasa Diamond disebutkan, federalism is a slippery slope to secession. Mengingat banyaknya kerugian yang mungkin timbul, maka gagasan untuk mengubah secara tergesa-gesa bentuk negara kesatuan menjadi federal juga bukan langkah yang bijak. Wallahu’alam!
Penulis adalah Mahasiswa Pasca Sarjana Unand Pemusatan Politik Lokal dan Otonomi Daerah