Jakarta, (Antara) - Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Pusat menyatakan perkawinan beda agama menurut ketentuan ajaran agama Hindu dinyatakan tidak dapat disahkan melalui Vivaha Samskara.
"Bila hal ini dilakukan (perkawinan beda agama) maka pasangan suami istri seperti itu dianggap tidak sah dan untuk selamanya dianggap sebagai samgrhana (perbuatan zina)," kata Sabha Walaka (Anggota Dewan Pakar) PHDI I Nengah Dana saat memberi keterangan sebagai Pihak Terkait dalam sidang Pengujian UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di Mahkamah Konstitusi (MK) Jakarta, Senin.
Dia mengungkapkan bahwa perkawinan beda agama tersebut dianggap batal dan tidak dapat dicatatkan administrasi kependudukannya pada Kantor Catatan Sipil.
Dia juga mengungkapkan umat Hindhu dalam rangka melaksanakan upacara perkawinan baik berdasarkan ketentuan kitab suci maupun adat-istiadat, calon pengantin wanita dan pria harus satu agama (Hindu).
"Jika belum sama maka wajib dilaksanakan upacara sudhi vadani untuk bersaksi kepada Hyang Widhi Wasa sebagai penganut Hindu," katanya.
I Nengah Dana mengatakan Vivaha atau perkawinan Hindu mempunyai tujuan yang sangat mulia, yaitu terwujudnya Grihastha Sukhinah, keluarga yang harmonis, sejahtera, dan kekal yang selalu memdapat anugrah dari Hyang Widhi Wasa.
Lembaga perkawinan bukan hanya berfungsi untuk melegalkan hubungan seksual (rati), melainkan untuk meneruskan keturunan (praja) yang baik atau anak yang suputra, sebagai wadah pengamalan kewajiban agama dan ritual serta wadah untuk melaksanakan kewajiban fungsi sosial (dharmasampati).
Dengan demikian, lanjutnya, tujuan ini sejalan dengan tujuan perkawinan menurut ketentuan pasal 1 UU Perkawinan yaitu membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pengujian UU perkawinan ini digugat oleh sejumlah mahasiswa dan alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia, yakni Damian Agata Yuvens, Rangga Sujud Widigda, Varida Megawati Simarmata, Anbar Jayadi dan Luthfi Sahputra.
Mereka menilai pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan yang berbunyi: "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu" telah menyebabkan ketidakpastian hukum bagi yang akan melakukan perkawinan
beda agama di Indonesia.
Para Pemohon mengatakan ketentuan tersebut berimplikasi tidak sahnya perkawinan di luar hukum agama, sehingga mengandung unsur "pemaksaan" warga negara untuk mematuhi agama dan kepercayaannya di bidang perkawinan.
Pemohon beralasan beberapa kasus kawin beda agama menimbulkan ekses penyelundupan hukum.
Pemohon mengungkapkan pasangan kawin beda agama ini kerap menyiasati berbagai cara agar perkawinan mereka sah di mata hukum, misalnya perkawinan di luar negeri, secara adat, atau pindah agama sesaat.
Untuk itu mereka meminta MK membuat tafsir agar perkawinan beda agama menjadi legal dengan cara mengesampingkan syarat agama dan kepercayaan dalam pernikahan. (*/jno)