Padang (ANTARA) - Berhadapan dengan hamparan sawah-sawah hijau yang membentang luas, sebuah mesin huler terdengar mulai berderu pelan. Suaranya yang tidak berisik beriringan dengan kicauan burung-burung yang sesekali menyantap padi.
Huler semi modern yang terletak di Jorong (dusun) Batu Palano, Nagari (desa) Salayo, Kabupaten Solok, Sumatera Barat (Sumbar) ini sudah menjadi jantung penggilingan padi milik masyarakat setempat.
Keberadaannya merupakan bukti implementasi energi terbarukan bisa selaras dalam mendukung swasembada pangan. Dahulunya, huler ini menggunakan mesin diesel atau berbahan bakar solar. Kemudian, dialihkan ke energi listrik pada 2023.
Kini, huler ini menjadi salah satu percontohan di Ranah Minang di mana energi terbarukan tidak hanya mendukung program net zero emission (NZE), melainkan juga berdampak langsung kepada kesejahteraan petani.
Yon Harmen (51) selaku pemilik huler mengatakan telah menjalankan usaha penggilingan padi sejak lima tahun terakhir atau ketika di awal pandemi COVID-19 melanda dunia. Awalnya, ia bersama istri mengandalkan mesin diesel berbahan bakar solar untuk operasional. Kelangkaan solar serta tingginya biaya produksi menjadi permasalahan utama yang kerap mereka hadapi dalam menjalankan bisnis tersebut.
Mereka bahkan menghabiskan 20 jeriken solar dalam sebulan atau untuk 20 hari kerja. Satu jeriken berisikan 33 liter dengan harga per liternya Rp10 ribu. Artinya, mereka harus mengeluarkan biaya Rp6,6 juta per bulan untuk operasional mesin diesel.
Selain biaya yang tergolong tinggi, Yon Harmen mengaku juga kesulitan mendapatkan solar. Tak jarang ia harus berkelana ke beberapa kabupaten dan kota di Sumbar untuk mendapatkan solar agar usaha yang ia jalankan tetap beroperasi, dan padi-padi yang dipasok petani bisa digiling menjadi beras.
Setelah tiga tahun menjalankan huler bertenaga diesel, ia bersama istri memberanikan diri untuk beralih ke energi listrik. Yon Harmen mendatangi PLN setempat untuk mengetahui syarat dan besaran biaya yang mesti dikeluarkan agar dapat beralih ke energi yang ramah lingkungan.
"Di awal peralihan ke energi listrik, saya memasang daya 41.500 Volt Ampere dengan biaya pemasangan, instalasi, izin dan sebagainya mencapai Rp44 juta," ujar Yon Harmen.
Kala itu, penggilingan padi ini masuk ke dalam kategori bisnis atau masih menggunakan skema token listrik. Dalam sehari, ia harus merogoh saku sebesar Rp200 ribu untuk pembelian token listrik atau Rp1 juta untuk lima hari kerja.
"Ketika menggunakan token, biaya yang saya keluarkan sebulan atau 20 hari kerja itu Rp4 juta. Artinya ini jauh lebih hemat daripada menggunakan solar," kata dia.
Setelah beralih ke PLN, orderan penggilingan padi di huler miliknya meningkat pesat. Hal ini dilatarbelakangi hasil kerja yang lebih cepat dan efisien. Selain itu, padi yang dihasilkan juga lebih bagus berkat kestabilan perputaran mesin.
Seiring lonjakan volume penggilingan gabah kering, ia berinisiatif menaikkan daya listrik huler dari 41.500 VA menjadi 53.000 VA. Gayung bersambut, PLN justru menawari Yon Harmen agar usaha miliknya beralih ke kategori industri dengan tujuan menekan biaya operasional. Ia pun mengeluarkan biaya sekitar Rp20 juta untuk beralih dari bisnis ke industri serta menaikkan daya kelistrikan.
"Jadi, ketika saya beralih ke kategori industri biaya operasional khususnya listrik jauh lebih murah lagi, sebulan itu hanya Rp2,2 juta," tuturnya.
Sebagai perbandingan, huler miliknya hanya mampu memproduksi paling banyak 50 ton beras saat masih menggunakan mesin diesel. Sementara setelah beralih ke listrik, produksi padi bisa mencapai 60 hingga 70 ton setiap bulannya.
Selain hemat, efektif dan efisien, peralihan usaha Yon Harmen ke kategori industri sejak tiga bulan lalu nyatanya juga mempermudahnya untuk dapat menggunakan mesin oven padi. Ialah mesin yang berfungsi sebagai pengeringan padi berbahan bakar sekam.
Dalam operasional mesin oven, blower akan menghisap asap hasil pembakaran sekam yang kemudian diarahkan ke padi. Artinya, pemilik huler tetap bisa mengeringkan gabah dengan menggunakan mesin oven meskipun musim penghujan tiba.
Masa ini, Yon Harmen tidak hanya ikut berkontribusi terhadap implementasi energi hijau dan bersih, tetapi ia juga sukses membuka lapangan pekerjaan bagi warga di desanya. Dia sudah mempekerjakan 25 orang dengan gaji bervariasi antara Rp2,5 juta hingga Rp8 juta per bulannya.
Transisi energi
Sementara itu, Senior Manager Niaga dan Manajemen Pelanggan PLN Unit Induk Distribusi (UID) Provinsi Sumbar Hery Kurniawan Indarto mengatakan instansinya sedang menggencarkan transisi energi peralihan penggunaan generator set berbahan bakar minyak ke energi listrik.
Langkah ini sejatinya menyasar sektor pertanian, peternakan, usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Program ini memiliki tujuan besar agar semua pelaku usaha di Tanah Air khususnya Ranah Minang mulai beralih pada penggunaan energi bersih dan hijau. Sebab selain ramah lingkungan, langkah ini dapat memaksimalkan swasembada energi untuk mendorong swasembada pangan.
Hery menyampaikan dalam menjalankan program transisi energi, PLN Sumbar bekerja sama dengan Bank Nagari selaku pihak yang memberikan pinjaman pada calon nasabah dan PLN Electricity Services sebagai penyedia peralatan elektrifikasi. Skema ini dibuat untuk memudahkan konsumen yang ingin beralih dari genset ke listrik.
Sejak program transisi energi bersih mulai digencarkan, PLN UID Sumbar telah berhasil melakukan elektrifikasi 38 huler se-Sumbar dari yang awalnya menggunakan mesin diesel, kini beralih ke listrik. Untuk jangka panjang, PLN setempat berupaya mengajak semua pemilik huler agar mau berpindah ke listrik karena jauh lebih efektif, efisien dan menguntungkan.
Menurut Hery, potensi transisi dari huler diesel ke huler elektrik tergolong besar. Apalagi, produksi gabah kering giling di Ranah Minang dalam setahun berkisar di angka 1,3 juta ton. Hal ini berarti para petani sangat bergantung pada tempat penggilingan agar hasil panen mereka bisa digiling menjadi beras.
"Yang pasti penggunaan huler listrik bisa menghemat biaya pengeluaran 50 hingga 70 persen daripada menggunakan solar," kata dia.
Tidak hanya itu, dengan skema kerja sama antara PLN dan Bank Nagari, pelanggan juga bisa mendapatkan pinjaman serta cicilan pembayaran maksimal hingga tiga tahun.
Hery mengatakan selama sosialisasi transisi energi dilakukan, PLN selalu menyampaikan bahwa genset yang selama ini digunakan agar tidak dijual. Sebab, mesin tersebut bisa dijadikan solusi ketika terjadi pemadaman listrik atau adanya gangguan teknis kelistrikan.
Transisi energi fosil ke energi terbarukan merupakan salah satu tujuan besar PLN yang juga selaras dengan Sustainable Development Goals atau SDGs tepatnya poin ketujuh yakni energi bersih dan terjangkau, poin kesembilan tentang industri, inovasi dan infrastruktur serta poin 13 yaitu penanganan perubahan iklim.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Huler elektrik untuk ketahanan pangan di Ranah Minang
