Jalan Pulang Sampah Laut

id Sampah laut, pantai muaro lasak, pantai padang, tpa, peduli sampah,Tim Kompak Raja Samudera Oleh Iggoy el Fitra

Jalan Pulang Sampah Laut

Tim KOMPAK Raja Samudera memindahkan karung berisi sampah plastik untuk dibawa ke darat, di Pulau Bando, Sumatera Barat. (ANTARA/Iggoy el Fitra/23)

Padang (ANTARA) - Awan hitam masih menaungi Kota Padang, Sumatera Barat, tanda masih berpeluang hujan hari itu. Sebagian besar orang-orang masih terlelap karena hawa sejuk pagi hari, namun di Pantai Muaro Lasak, sejumlah pemulung justru beramai-ramai ke pantai. Mereka mengumpulkan sampah plastik dan kaleng yang terombang-ambing oleh ombak ke tepian.

Sebagian besar dari pemulung itu adalah anak-anak. Mereka mengumpulkan botol demi botol, kaleng demi kaleng agar bisa dijual kembali ke pengepul. Terkadang tidak hanya plastik dan kaleng ditemui di pantai, tapi juga ban bekas, kain bekas, dan hewan yang mati terbawa arus.

Saat itu, sampah menjelma pantai dan tidak menyisakan sedikit pun celah untuk pasir terlihat di permukaan. Hampir setiap sehabis hujan lebat, kondisi tersebut berulang. Air sungai yang meluap dari hulu tidak hanya membawa material kayu tetapi juga sampah.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Padang, Mairizon mengatakan, sampah-sampah yang bertumpuk di pantai tersebut merupakan sampah yang sudah tertanam lama di dasar laut.

"Sampah itu menumpuk dan sudah ada sejak bertahun-tahun lalu, bisa dilihat dari kondisi dan tekstur sampah," jelas Mairizon saat meninjau pantai Muaro Lasak yang kotor.

Menurutnya kondisi tersebut diperparah dengan perilaku masyarakat yang masih suka membuang sampah ke sungai, sehingga sampah terbawa arus dari hulu ke muara.

Pantai Muaro Lasak adalah pantai aikonik yang memiliki tugu merpati perdamaian sehingga ramai dikunjungi wisatawan. Namun saat penuh dengan sampah, pengunjung tidak mau datang ke pantai karena kotor dan berbau tidak sedap.

Tidak hanya berdampak kepada wisatawan, sampah juga berdampak kepada warga setempat yang berprofesi sebagai nelayan.

"Dulu kami nelayan pencari udang, alhamdulillah tangkapan kami banyak sebelum ada sampah ini, tapi sekarang sulit. Sampah ini sangat merugikan kami, para nelayan di sini," kata Amrizal, warga Muaro Lasak.

Sebagai warga, Amrizal juga mengaku malu kepada tamu yang berkunjung ke sana. Setiap tamu yang datang, kata Amrizal, mengeluhkan pantainya yang kotor sementara warga tidak ada yang membuang sampah di sana.

Pemerintah Kota Padang mencoba mengatasi persoalan sampah di Muaro Lasak, mulai dari mengubur sampah ke dalam pasir, mengerahkan ekskavator untuk memindahkan sampah ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA), hingga menghambat sampah dengan kubus apung di sungai-sungai besar di kota itu.

Namun sampah tetap datang tak terkira. Hampir setiap hujan lebat dan banjir, sampah dihanyutkan sungai dan dihempaskan ombak ke pantai. Perjalanan sampah tidak sampai di situ. Banyak sampah yang ternyata dihanyutkan arus hingga ke tengah laut dan ke pulau.

Hampir 30 mil jaraknya dari Muaro Lasak, sampah-sampah tersebut sampai ke Pulau Bando di Kawasan Konservasi Perairan Nasional Pulau Pieh Sumatera Barat.

Pulau tidak berpenghuni itu ikut merasakan apa yang dialami oleh Pantai Muaro Lasak, yakni penuh dengan sampah setiap kali habis hujan lebat di darat.

Dampak Sampah Bagi Lingkungan dan Pengendaliannya

Pada Oktober 2021, seekor lumba-lumba bungkuk (Sousa chinensis) ditemukan mati terdampar di Pantai Pasir Jambak Padang. Belum diketahui secara tepat penyebab kematian lumba-lumba tersebut, namun terlihat mulutnya terluka akibat suatu benda. Warga terpaksa menguburnya di pantai.

Desember 2022, warga menemukan bangkai seekor penyu hijau (Chelonia mydas) di antara tumpukan sampah di Pantai Air Tawar, Padang. Sebelumnya, seorang pemancing melihat penyu tersebut terapung-apung di perairan dengan sampah plastik di tubuhnya.

Khairul Mahmud, seorang warga Air Tawar menduga penyu itu sudah mati lama di laut dan terdampar di pantai, karena sebagian tubuhnya sudah membusuk.

Sementara itu, seekor Paus bungkuk (Megaptera novaeangliae) terlihat merapat ke perairan pantai Pasie Nan Tigo Padang pada Februari 2023. Nelayan melihat paus itu terlilit tali di tubuhnya sehingga hanya bisa berputar-putar di kawasan itu selama tiga hari berturut-turut.

Munculnya sampah plastik di lingkungan laut, tidak hanya berdampak kepada pantai dan masyarakat saja, tetapi juga hewan-hewan di dalamnya.

Keberadaan sampah-sampah itu disebabkan oleh masih minimnya kesadaran masyarakat untuk buang sampah pada tempatnya. Berdasarkan Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) dalam “Statistik Potensi Desa Indonesia” 2021 menunjukkan sebesar 19,40 persen orang buang sampah di tempat sampah.

Sedangkan, hampir 80 persen orang masih buang sampah sembarangan seperti ke dalam lubang atau dibakar, ke sungai atau saluran irigasi hingga drainase.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumatera Barat Wengki Purwanto mengatakan, Peraturan Pemerintah No 22 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan dan Perlindungan Lingkungan Hidup mengatur bahwa standar baku mutu sungai, danau dan laut terkait sampah adalah nihil.

"Artinya, tidak boleh satu sampah pun ada di dalam badan air, baik di sungai, danau, maupun laut. Hal ini penting untuk disadari, bahwa ancaman sampah, utamanya mikroplastik, telah nyata bagi keberlangsungan kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya," kata Wengki.

Wengki menilai, Pemerintah harus memberikan teladan secara konsisten dalam perubahan perilaku pengurangan Plastik sekali Pakai (PSP) dalam setiap kegiatan pemerintah dan yang mendukung pemilahan dan pengolahan sampah organik.

Menurutnya, pemerintah perlu menyusun atau merevisi Peraturan Daerah (Perda) pengelolaan sampah dan menerapkan sebagaimana mestinya, terutama Regulasi pengurangan PSP (tas kresek, sachet, styrofoam, botol air minum dalam kemasan (AMDK), popok dan sedotan.

"Perda yang sudah ada, wajib ditegakkan dengan memberlakukan insentif dan disinsentif, selain itu pemerintah perlu membuat dan menerapkan Rencana Teknis Pengelolaan Sampah (RTPS) di masing-masing daerah seperti kelurahan atau nagari," jelasnya.

Penanganan sampah laut perlu dilakukan oleh segala sektor, terutama lembaga pemerintahan yang terkait dengan laut.

Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Laut mengamanatkan kepada 16 Kementerian/Lembaga untuk mempercepat penanganan sampah laut, salah satunya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

KKP menginisiasi gerakan bersama nelayan yang dilakukan secara nasional dengan mengajak dan melibatkan masyarakat nelayan untuk menjaga laut dari sampah plastik.

Gerakan ini dikenal sebagai Gerakan Nasional Bulan Cinta Laut (Gernas BCL). Gernas BCL merupakan aksi konkret dalam upaya penanganan sampah laut dengan melibatkan masyarakat nelayan untuk membersihkan sampah di laut selama satu bulan penuh.

Di Sumatera Barat, Loka Kawasan Konservasi Perairan Nasional (LKKPN) Pekanbaru, Ditjen Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan bersama Kelompok Masyarakat Penggerak Konservasi (KOMPAK) Raja Samudera berupaya melakukan pengendalian sampah laut berupa sampah plastik yang didapatkan dari laut kawasan Konservasi Perairan Pulau Pieh.

Kepala LKKPN Pekanbaru, Fajar Kurniawan, menjelaskan, pihaknya membawahi wilayah konservasi laut di Sumatera Barat seluas 39.920 hektare meliputi lima pulau, yakni Pulau Toran, Bando, Aia, Pieh, dan Pulau Pandan.
Tim KOMPAK Raja Samudera memanggul karung berisi sampah plastik untuk dibawa ke darat, di Pulau Bando, Sumatera Barat. (ANTARA/Iggoy el Fitra/23)


Fajar menerangkan, pihaknya memiliki tugas utama yakni melindungi ekosistem dan biota yang ada di dalam kawasan agar nantinya bisa dimanfaatkan secara berkelanjutan, baik itu sektor perikanan, pariwisata, dan pendidikan.

"Kebetulan di kawasan ini kaya sumber daya alam, ada ikan kerapu, paus, penyu, lumba-lumba, dan terumbu karang dengan kualitas baik," kata Fajar.

Pada suatu waktu ketika melakukan monitoring, kata Fajar, pihaknya sempat bermalam di Pulau Pieh karena kondisi hujan lebat. Kemudian saat pagi ketika akan kembali ke darat, ia melihat banyak sampah dengan radius dua kilometer dari pulau ke laut.

"Berdasarkan informasi dari petugas kita, sampah-sampah itu juga membawa ular yang masih hidup sehingga mereka berkembang biak di pulau," kata Fajar.

Jika dilihat jenis sampah yang berserakan di pulau, ada sampah plastik, popok bayi, sandal, dan lain-lain, sementara Pulau Pieh sendiri tidak ada penghuninya.

Kalau disebut sebagai sampah pengunjung pulau, kata Fajar, kemungkinan sangat kecil karena untuk transportasi pun sulit, sebab akses yang jauh dan harus izin serta membeli tiket dulu ke LKPPN Pekanbaru.

Maka itu, LKPPN Pekanbaru bekerjasama dengan Kelompok Masyarakat Penggerak Konservasi (KOMPAK) Raja Samudera untuk mengendalikan sampah laut yang terdampar di pulau-pulau konservasi.

Fajar mengatakan, di Pulau Pieh, Bando, dan Pandan, ada enumerator, petugas lapangan yang membantu tim survei dalam pengumpulan data penyu, mengumpulkan sampah-sampah itu dan dibawa ke darat setiap dua minggu sekali.

Petugas bersama KOMPAK mengumpulkan sampah berganti dari pulau ke pulau, dikumpulkan ke dalam karung kemudian dibawa ke darat menggunakan perahu motor.

"Kami mendukung aktivitas ini dengan menyiapkan peralatan yang dibutuhkan. Dengan kegiatan ini, Ada sirkular ekonomi karena mereka mendapatkan nilai tambah dari sampah-sampah yang ada," kata Fajar.

Ketua KOMPAK Irnal menambahkan, hampir setiap hari ia menemui sampah-sampah dari laut terdampar di pulau tersebut.

"Apalagi ketika laut pasang, badai, entah dari mana-mana, datang sampah itu ke sini. Kalau di pulau tidak ada kita menyampah, karena sampah itu dari darat, ke laut dan ke pulau," jelas Irnal.

Dalam sehari, Irnal dan teman-teman bisa mengumpulkan sampah hingga dua karung besar. Ketika sudah banyak, sampah kemudian dibawa ke pantai Tiram, Kabupaten Padang Pariaman sesuai jadwal pergantian shift petugas enumerator LKPPN Pekanbaru setiap 15 hari.

Sampah plastik akan dilanjutkan distribusinya ke Tempat Pengolahan Sampah (TPS) 3R Naras Jaya di Kota Pariaman untuk didaur ulang.

Namun, sebelum sampai di Pariaman, Irnal dan timnya musti melewati rintangan terlebih dahulu, yakni perjalanan laut sejauh 14 mil melewati ombak Samudera Hindia.

Di tengah perjalanan, Irnal pernah diterjang badai sehingga membuat perahunya terbalik dan karung sampah terombang-ambing di lautan. Tapi itu menurutnya adalah risiko pekerjaan. Bagaimanapun, ia tetap bertekad kuat memulangkan sampah itu ke darat. [*]