Merajut rindu dari rantau ke kampung halaman

id berita padang, berita sumbar, JNE

Merajut rindu dari rantau ke kampung halaman

Pengiriman sepeda motor Hany (Antara/Istimewa)

Padang (ANTARA) - Pulang kampung selalu menjadi tradisi rutin setiap Idul Fitri tiba. Orang-orang biasanya bertolak dari rantau menuju kampung halaman sambil memikul rindu di atas kepala dan ingatannya masing-masing.

Tak terkecuali bagi Hany Oktari, perempuan asal ranah Minang, Sumatera Barat yang kini bertugas sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) di Ponorogo, Jawa Timur sejak 2017.

Bagi perempuan 26 tahun tersebut Lebaran adalah momen yang selalu ditunggu setiap tahunnya. Sebagai pembuka jalan menuju kampung dan berkumpul bersama keluarga tercinta.

Kampungnya berada di Kabupaten Limapuluh Kota, salah satu daerah kabupaten di Sumbar yang terkenal dengan wisata Lembah Harau.

Hanya saja rencana tak selalu berjalan dengan mulus. Karena Idul Fitri 2020 jatuh ketika pandemi COVID-19 tengah mewabah di bumi pertiwi.

Akibatnya jalan menuju kampung halaman terasa makin jauh dan tertutup oleh kabut virus corona.

Dengan mempertimbangkan kondisi kesehatan serta regulasi yang tengah bergulir saat itu larangan mudik, maka dengan besar hati ia urungkan niat untuk pulang.

Putri sulung Evaria dan Hendri itu mau tidak mau harus bergabung dalam barisan perantau yang tidak melangsungkan mudik. Tiada pilihan lain selain saling mendoakan dari jauh.

Seminggu menjelang Lebaran tiba, lulusan Intitut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) 2016 itu akhirnya menelpon sang ibu untuk memastikan dirinya tidak pulang Lebaran.

Untung saja Evaria bukan ibu yang terlampau "melow" menanggapi situasi. Alih-alih mengeksplore kesedihan, ia lebih memilih untuk menyemangati sang anak yang tertahan di tanah Jawa.

"Mau bagaimana lagi nak?, memang kondisinya seperti itu (COVID-19). Yang sabar," begitulah pesan sang ibu dari seberang telepon.

Selain itu Hany juga terus diingatkan agar tetap menjaga kesehatan, tidak berkumpul-kumpul, dan memakai masker saat menjalani aktivitas.

Jika ditilik lebih dalam, tentu saja ucapan dari Evaria yang biasa dipanggil "ama (ibu,minangkabau)" oleh Hany menyimpan getir.

Karena Ibu mana yang tak sedih mengetahui anak gadisnya tak bisa pulang dan harus menjalani Lebaran seorang diri di kampung orang?.

Akan tetapi berbekal ketegaran dan doa-doa baik yang terselip dalam diam, kondisi itu bisa dilalui tanpa berlarut-larut dalam haru.

Pesan sang ibu juga berhasil memantik semangat Hany untuk lapang menerima keadaan serta menjalani harinya di perantauan.

Beruntung bagi Hany karena ia hidup di zaman ketika kemajuan bidang teknologi dan komunikasi bisa diandalkan sebagai solusi. Terkhusus bagi mereka yang terpisah oleh jarak.

Salah satunya adalah internet. Siapapun bisa "ngobrol" dengan bertatap muka meskipun berjauhan, lewat panggilan video atau yang biasa disebut "video call". Itu juga yang coba dimanfaatkan oleh Hany Oktari.

Akan tetapi, Hany merasa Video Call saja belum cukup untuk menghantarkan rindu. Rasanya, masih ada yang kurang.

Ia butuh suatu benda untuk mewakili kehadirannya di tengah keluarga. Dengan harapan benda tersebut bisa mengisi kekosongan yang muncul lantaran dirinya tidak bisa pulang.

Setelah ditimbang-timbang, pilihan akhirnya jatuh pada kue serta pakaian Lebaran. Benda ini yang akan mewakilinya pulang ke kampung sebagai peran simbolik.

"Setiap Lebaran biasanya membuat kue adalah bagian saya. Karena tidak bisa mudik, maka kue nya dibuat di Ponorogo lalu dikirim pulang," katanya.

Kue yang dibuat adalah Cornflakes cokelat. Sejenis kue kering yang memadukan cokelat dan gurihnya cornflakes.

Waktu itu ia berhasil membuat enam kotak kue dengan tangan sendiri. Tiga kotak dikirim ke kampung, dan tiga sisanya sisanya untuk dinikmati di indekos.

Kue tersebut lalu ia kemas bersamaan dengan baju Lebaran yang sudah dibeli sebelumnya. Ada baju berpasangan (cople) untuk kedua orang tua serta baju untuk kedua adik.

Sore harinya sepulang dari kantor, Hany menyempatkan singgah di kantor JNE Cabang Ponorogo yang beralamat di Jalan Kalimantan, Banyudono, Kecamatan Ponorogo demi mengirimkan paket.

"Alhamdulillah keluarga bahagia menerima kiriman itu, saya pun tidak kalah senang melihat reaksi mereka," katanya.

Menurutnya JNE dipilih karena beberapa alasan yaitu pengirimannya cepat, keamanan terjaga, dan kalau ada barang yang rentan rusak biasanya ditempeli stiker fragile.

"Selain itu JNE juga sudah bekerjasama dengan shopee pay. Jadi ada diskon ongkos kirim 30 persen," jelasnya tersenyum ketika menyebut kata "Diskon".

Momen Idul Fitri akhirnya berlalu berganti dengan Idul Adha. Sedangkan Hany masih belum bisa pulang dan kembali menelan rindu.

Hanya saja di hari Raya Kurban itu antara Hany dan keluarga berganti posisi. Jika sebelumnya ia sebagai pengirim paket, sekarang ia yang dikirimi.

Keluarga dari kampung mengiriminya rendang, makanan lezat yang menjadi khas Minangkabau. Untuk menawar rindunya ke kampung halaman.

"Rendang buatan ama (ibu) adalah yang paling enak," begitu pujinya.

Pengiriman rendang juga menggunakan JNE karena sudah jadi langganan. Bahkan pada 2018 keluarganya memaketkan sepeda motor matik dari Kabupaten Limapuluh Kota ke Ponorogo.

Sekian bulan penantian hingga memasuki penghujung tahun, rindu yang sempat ditahan itu akhirnya terbayar lunas.

Hany menginjakkan kakinya di Bandara Internasional Minangkabau (BIM) pada 24 Desember, yang langsung disambut oleh keluarga tercinta.