Mau ke mana Partai Amanat Nasional?

id PAN, Partai Amanat Nasional,Kongres Nasional V

Mau ke mana Partai Amanat Nasional?

Ilustrasi, Partai PAN (istimewa)

Jakarta (ANTARA) - Pertanyaan mau ke mana Partai Amanat Nasional (PAN) tampaknya menjadi relevan diajukan dalam momentum perhelatan Kongres Nasional V PAN di Kendari, Sulawesi Tenggara, 10-12 Februari ini.

PAN bisa jadi saat ini berada di persimpangan jalan yang belum diketahui akan mengambil jalan ke arah mana. Jalan itu amat menentukan untuk memasuki salah satu jalan yang tepat bagi masa depan PAN.

Bila salah masuk ke satu sisi jalan di persimpangan itu, mustahil membuat partai itu menggapai visinya sebagai partai politik terdepan.

Ya, visi PAN memang mempunyai visi sebagai partai politik terdepan dalam mewujudkan masyarakat madani yang adil dan makmur, juga mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih di dalam negara Indonesia yang demokratis dan berdaulat, diridhoi oleh Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa.

Sudahkah PAN menjadi partai terdepan? Jawabannya pastilah, belum. Berarti menjadi partai terbelakang? Tak mustahil, bisa saja terjadi bila PAN salah memasuki jalan yang benar.

Salah satu indikasi apakah suatu partai politik bisa menjadi yang terdepan adalah seberapa banyak partai itu memperoleh suara dukungan dari rakyat pemilih dan seberapa banyak kursi di parlemen yang bisa diraih sebagai representasi aspirasi rakyat.

PAN, berdiri pada masa Reformasi bermula di 1998, bahkan Amien Rais - salah satu pendiri PAN, disebut-sebut berjulukan Bapak Reformasi. Namun dalam pemilu pertama yang diikutinya pada 1999, PAN berdasarkan hasil pemilu yang ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), hanya menduduki peringkat kelima dari 48 partai politik peserta pemilu tahun itu. PAN mengantongi 7.528.956 suara atau 7,12 persen dari total 105.786.661 suara sah. PAN menduduki 34 kursi atau 7,36 persen dari 462 kursi di DPR RI.

Lima tahun berikutnya, pada Pemilu 2004, perolehan suara PAN merosot ke peringkat 7 dari 24 partai politik nasional peserta pemilu saat itu, dengan hanya mengantongi 7.303.324 suara atau 6,44 persen dari total 113.462.414 suara sah. PAN menduduki 53 kursi atau 9,64 persen dari 550 kursi DPR RI.

Pada Pemilu 2009, PAN kembali ke peringkat 5 dari 38 partai politik nasional peserta pemilu, mengantongi 6.254.580 suara atau 6,01 persen dari total 104.099.785 suara sah. PAN hanya menduduki 43 kursi atau 7,68 persen dari 560 kursi DPR RI.

Pada Pemilu 2014, PAN merosot lagi ke peringkat 6 dari 12 partai politik nasional peserta pemilu, mengantongi 9.481.621 suara atau 7,59 persen dari total 124.972.491 suara sah.

PAN hanya menduduki 49 kursi atau 8,7 persen dari 560 kursi DPR RI. Ketua Umum PAN Hatta Rajasa yang berpasangan dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, masing-masing menjadi calon wakil presiden dan calon presiden, juga kalah dari pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla.

Sementara pada Pemilu 2019 yang merupakan pemilu pertama, berlangsung secara serentak, memilih Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPD RI, anggota DPR RI, anggota DPRD Provinsi, dan anggota DPRD Kabupaten/Kota, juga belum menghasilkan yang optimal bagi PAN.

PAN dalam hasil Pemilu 2019, kian merosot ke peringkat 8 dari 16 partai politik peserta pemilu, mengantongi 9,572,623 suara atau 6,84 persen dari total 139.971.260 suara sah. PAN hanya menduduki 44 kursi atau 7,65 persen dari 575 kursi DPR RI.

Sementara pada Pemilu Presiden 2019, pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusung PAN, Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno, juga mengalami kekalahan dari pasangan Joko Widodo dan Ma'ruf Amin.

Bagaimana dengan prediksi pemilu lima tahun mendatang? Tampaknya tantangan bagi PAN akan semakin berat lantaran pada Pemilu 2024, diwacanakan berlangsung secara serentak dalam satu waktu untuk memilih Presiden dan Wapres, Kepala Daerah, anggota DPD RI, anggota DPR RI, anggota DPRD Provinsi, dan anggota DPRD Kabupaten/Kota.

Amat dibutuhkan strategi partai politik untuk memenangkan Pemilu 2024, dan semestinya hal tersebut lebih mengemuka pada perhelatan Kongres Nasional V PAN di Kendari, Sultra, 10-12 Februari ini, ketimbang hanya adu klaim kemenangan antarcalon Ketua Umum PAN untuk periode 2019-2024.

Hal yang perlu dikedepankan adalah bagaimana PAN mampu membuat formulasi dan strategi besar untuk menjadi partai politik terdepan dalam Pemilu mendatang. Agak menggelitik, ketika PAN yang mengklaim sebagai partai reformasi tetapi pada lima kali pengalaman mengikuti pemilu pada era Reformasi ini, hasilnya belum bisa disebutkan membanggakan.

Sebagai partai modern di tengah pilihan politik dan ketertarikan publik yang semakin cerdas di era milenial ini, PAN sudah harus keluar dari kultus individu atau mengelu-elukan tokoh sentral pendiri partainya.

Amat disayangkan adanya pernyataan kader PAN, mantan Ketua Dewan Pimpinan Wilayah PAN Sultra Samsu Umar Abdul Samiun, bahwa sampai hari ini mereka masih bermahzab kepada Amien Rais, apapun yang diminta oleh Amien Rais mereka ikut.

Padahal dalam Garis Perjuangan PAN disebutkan bahwa Partai dan Pemenangan Pemilu pada setiap periode kepengurusan PAN di semua jenjang harus diawali dengan penyadaran kolektif bahwa kepemimpinan yang hendak dibangun difokuskan kepada usaha-usaha untuk meraih kemenangan dalam kompetisi demokratik pemilu lima tahunan.

Kesadaran ini berangkat dari asumsi bahwa eksistensi partai yang merupakan prasyarat dalam merealisasikan cita-cita perjuangan partai hanya dapat dicapai melalui perolehan suara sebanyak-banyaknya dalam pemilu.

Dua faktor penting mempunyai korelasi menonjol dalam usaha memenangkan pemilu yaitu lingkungan sosio politik masyarakat Indonesia yang senantiasa mengalami perubahan dan kemampuan PAN memberdayakan seluruh potensi yang dimilikinya untuk merespons secara cerdas perubahan itu.

Platform partai

Perlu diingatkan kepada masing-masing kader dan simpatisan PAN mengenai platform partai yang selalu dipakai sebagai alat perjuangan partai.

PAN perlu mempersiapkan sistem organisasi yang modern, kader-kader yang handal, dan memelihara kepercayaan pemilih sehingga unggul di setiap pemilihan umum.

Sistem organisasi yang modern adalah diterapkannya manajemen pengelolaan yang memanfaatkan teori-teori manajemen modern yang berbasis pada teknologi mutakhir, menjunjung tinggi etika politik, terbuka dan transparan serta menerapkan prinsif meritokrasi, sehingga tercipta suasana yang sehat.

Dengan sistem yang kuat akan muncul rasa memiliki bagi para kadernya, dan partisipasi penuh dalam setiap pengambilan keputusan di semua tingkatan, sehingga sumber daya partai akan berfungsi secara optimal.

Kader PAN harus menjadi elemen utama anggota partai yang selalu siap berjuang dan berkorban dalam kondisi apa pun untuk mewujudkan tujuan partai.

Seorang kader harus mempunyai kecintaan pada partai dan mempunyai kemampuan untuk mendorong terjadinya perubahan, pembaharuan dan peningkatan kinerja organisasi/ partai serta sekaligus dapat berfungsi sebagai penggerak/pemimpin yang adil dan bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup partai.

PAN mutlak membutuhkan kaderisasi. Pengkaderan harus mempunyai karakter yang dilandasi oleh keyakinan ideologis, pemahaman konstitusi dan semangat untuk membangun bangsa dan negara dalam bingkai Pancasila; melahirkan kader-kader yang militan dalam membela dan memperjuangkan partai, dan mampu menciptakan sistem dan manajemen kaderisasi yang efisien dan efektif di dalam suasana yang dinamis.

Model pembinaan kader perlu diarahkan untuk meningkatkan kualitas, jati diri, dan intelektualitas, serta kemampuan menatap masa depan; dan keberpihakan kepada kepentingan rakyat secara keseluruhan.

PAN perlu belajar dari partai-partai pemenang pemilu. Apa kunci yang bisa dipelajari? Hanya satu, yakni partai pemenang pemilu, dicintai dan dipilih rakyat dengan menawarkan berbagai program yang dibutuhkan rakyat.

Untuk itu PAN harus kreatif untuk menemukan berbagai hal yang betul-betul diperlukan rakyat. bukan jargon apalagi polemik.

Bagaimanapun partai politik merupakan pilar kekuatan demokrasi bagi negara.