Jakarta, (ANTARA) - Menko Polhukam Wiranto mengalami insiden penyerangan di Pandeglang, Banten, Kamis (10/10). Pada saat itu Wiranto baru saja turun dari mobilnya di Alun-alun Menes, Pandeglang, Banten, setelah menghadiri acara di Kampus Universitas Mathlaul Anwar.
Peristiwa tersebut Sontak membuat perhatian Tanah Air tertuju pada Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan ini.
Polisi merilis dua pelaku penyerangan, pasangan suami istri Abu Rara dan Fitria yang juga mengajak anaknya (13) adalah anak buah Abu Zee, pentolan teroris Jamaah Ansharut Daulah (JAD) Bekasi yang berafiliasi dengan ISIS.
Menurut pihak kepolisian, keduanya memiliki hubungan dengan pimpinan JAD Bekasi, Abu Zee, yang telah ditangkap pada tanggal 23 September 2019.
Serangan teroris yang melukai Menko Polhukam Wiranto, adalah bentuk baru terorisme bagi Indonesia. Saat ini target serangan teroris JAD makin meluas. Tidak hanya menyasar warga negara asing dan polisi, tetapi juga pejabat negara, termasuk menteri. Meskipun polisi dan WNA masih menjadi target teroris, sekarang berkembang lebih luas lagi hingga ke menteri.
Selain melibatkan pasangan suami istri, terduga teroris juga mengajak anaknya. Artinya, pelaku teror kali ini melibatkan seluruh keluarga, yaitu ayah, ibu, dan anak.
Perluasan sasaran teror kelompok JAD tentu mengandung pesan penting bahwa penusukan terhadap Menko Polhukan Wiranto adalah dianggap "sukses besar". Tindakan yang mereka lakukan untuk menegaskan pesan dan sikap mereka pada dunia bahwa mereka (para teroris) masih tetap eksis.
Penusukan terhadap Wiranto adalah pesan yang ingin disampaikan kelompok JAD kepada para pengikut setia dan simpatisan, para musuh, dan masyarakat dunia secara keseluruhan, baik yang ada dalam wilayah ISIS (di Irak dan Suriah) maupun di luar wilayah ISIS.
Pesan yang paling penting yang ingin disampaikan dari peristiwa tersebut kepada pengikut JAD, antara lain, selalu siap mengorbankan apa saja demi tujuan yang dianggap suci. Mereka meminta para pengikut untuk tidak mengendurkan sedikit pun kesiapan untuk berjihad dan berkorban.
Kelompok ini hendak menyampaikan pesan bahwa mereka masih mampu membuat aksi-aksi mengerikan dan menebar teror kepada siapa pun yang tidak mau tunduk kepada kemauan mereka. Tujuan dari aksi teror ialah menebarkan ketakutan kepada berbagai pihak seluas mungkin.
Sekelumit Sejarah JAD
Nama JAD tiba-tiba muncul menyusul pernyataan mantan Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) As'ad Said Ali pada jumpa pers, Maret 2015, yang menyebut sejumlah pendukung ISIS telah mendeklarasikan kelompok baru. Pada bulan November tahun yang sama, simpatisan ISIS di Tanah Air menggelar acara di Kota Batu, Jawa Timur.
Jaringan mereka sangat luas, bahkan sudah sampai ke Filipina untuk pembelian senjata. Anggotanya mencapai ribuan, tersebar di 18 provinsi.
The Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC), lembaga pengamat terorisme Asia Tenggara, menganggap JAD bukanlah organisasi yang rapi dengan kekuatan militer dan sumber donasi dari dalam maupun luar negeri, seperti dikesankan pemberitaan media massa.
Melalui laporan bertajuk Disunity Among Indonesian ISIS Supporters and the Risk of More Violence IPAC menyebutkan tidak ada bukti struktur organisasi dalam JAD. "Nama itu hanyalah istilah generik untuk menyebut para pendukung ISIS di Indonesia," ungkap laporan tersebut.
Istilah Jamaah Anshar Daulah itu 'kan dari bahasa Arab artinya pendukung daulah (negara Islam). Akan tetapi, tidak ada pembentukan tanzhim terstruktur bernama Jamaah Anshar Daulah. Itu adalah istilah media dan aparat.
Media dan pihak kepolisian menggambarkan JAD seakan-akan organisasi struktural dengan pucuk pimpinan dipegang Aman Abdurrahman, biasa dipanggil Aman, yang saat ini sedang menjalani hukuman 9 tahun penjara di Lapas Batu, Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah. Dia terbukti mengorganisasi kamp paramiliter di Jantho, Aceh.
Meskipun organisasi JAD tidak jelas, rupanya memiliki struktur konvensional, seperti organisasi teroris pada umumnya, atau bisa dibilang kurang rapi, dan hal ini justru yang menjadi keunikan dari organisasi teroris ini.
Berbeda dengan Jamaah Islamiah (JI), pemimpin (amir) JAD di daerah bisa leluasa melancarkan serangan teror tanpa harus melapor dan berkoordinasi dengan amir pusat. JAD Jawa Tengah yang dipimpin oleh Fauzan Mubarok diketahui merencanakan menyerang markas polisi di Tuban, Jawa Timur. Di Bima, NTB, anggota JAD pimpinan Abu Salma pada bulan September 2017 melakukan penembakan terhadap seorang anggota polisi yang menyebabkan luka-luka. Semua serangan tersebut terjadi secara independen tanpa diketahui oleh petinggi JAD di pusat.
Meskipun para tokoh kunci JAD sudah banyak yang ditangkap oleh Densus 88, masih banyak yang hingga saat ini masih berkeliaran dan sewaktu-waktu bergerak malancarkan aksinya seperti halnya penyerangan terhadap Wiranto beberapa waktu lalu. Hal inilah yang menyulitkan pihak berwajib (BIN dan kepolisian) menumpas organisasi teroris yang satu ini.
Sulit Dibongkar
Setidaknya ada empat hal yang membuat JAD sulit dibongkar. Pertama, para anggota yang bergabung dalam sel-sel kecil di setiap daerah mungkin tak mengenal satu sama lain sehingga menyulitkan pelacakan bagi aparat kepolisian. Sel-sel tersebut justru berbahaya sebab satu serangan di suatu tempat bisa menginspirasi sel di tempat lain sehingga muncul efek domino.
Kedua, radikalisasi via sosial media dan aplikasi pesan instan membuat siapa pun rentan menjadi pendukung ISIS dan gampang untuk direkrut. Walhasil, jumlah mereka yang berbaiat pada ISIS atau mendukung JAD tidak diketahui dengan pasti.
Pesatnya arus konten radikal juga membuat seseorang bisa menjadi militan dalam hitungan bulan, yang meningkatkan risiko seseorang untuk melakukan serangan "aksi seorang diri" (lone wolf).
Ketiga, komunikasi dan radikalisasi di penjara. Para napi terorisme di penjara masih bisa leluasa berkoordinasi dengan dunia luar, seperti dalam kasus bom Thamrin. Para napi juga punya kesempatan untuk berkomunikasi dengan sesama napi untuk menggelar ceramah yang memungkinkan perekrutan anggota baru dari dalam penjara.
Keempat, regenerasi untuk mengganti pemimpin yang ditangkap atau tewas dapat dengan mudah dilakukan. Aman Abdurrahman diketahui memiliki ratusan pengikut dan pendukung yang sewaktu-waktu dapat dilantik sebagai pimpinan atau anggota.
Jadi, meski beberapa person atau petinggi JAD sudah ditangkap, bukan berarti ancaman serangan akan hilang begitu saja. Selalu ada regenerasi dalam jaringan terorisme, mengingat JAD adalah kelompok pendukung ISIS terbesar. Akan tetapi, kelompok ini tidak sendirian. Ada banyak kelompok kecil pendukung ISIS, dan kapasitas regenerasi mereka sudah jelas.
Bergerak Sendiri-sendiri
Hal yang perlu dicermati ada beberapa kelompok organisasi teroris, seperti kelompok Jemaah Islamiyah (JI) yang terkoneksi dengan Suriah, kelompok Negara Islam Indonesia (NII), dan kelompok teroris yang lain di berbagai tempat. Kelompok tersebut mungkin terhubung secara ideologi dengan JAD. Namun, secara kepemimpinan, mereka bergerak sendiri-sendiri.
Selain itu, yang juga harus dicermati, jika kelompok JI hanya melibatkan pria dewasa dalam setiap aksi yang dilakukan, sementara perempuan, apalagi anak-anak tidak dilibatkan sama sekali. Perempuan yang dinikahi oleh laki-laki JI diplih istri dari sekolah-sekolah JI, tempat anak-anak perempuan ditanamkan dengan nilai-nilai organisasi.
Para wanita bertindak sebagai ibu, guru, kurir, dan kadang-kadang manajer bisnis. Akan tetapi, hampir tidak pernah sebagai kombatan, bahkan dalam konflik komunal di berbagai tempat.
Kelompok teroris JAD yang berafiliasi dengan ISIS berhasil mengubah konsep jihad menjadi urusan keluarga dengan peran untuk semua orang. Perempuan diibaratkan sebagai "singa betina", anak-anak adalah "anak singa", dan setiap orang diberi tugas sesuai dengan misinya masing-masing.
Ternyata, dalam konsep ISIS mengenai fungsi keluarga itu diterima dengan baik oleh beberapa orang Indonesia. Terkadang laki-laki pergi terlebih dahulu dan istri mereka menyusul kemudian dengan bayi dan balita. Tidak sedikit pula, mereka membawa putri remaja mereka dan menikahi mereka dengan warga negara non-Indonesia.
Pola yang berubah ini kemudian memiliki beberapa implikasi yang harus diantisipasi pihak-pihak berwenang. Hal yang paling krusial adalah memikirkan bagaimana upaya deradikalisasi keluarga dilakukan, bukan lagi terpaku pada kepala keluarga saja.
Itu berarti deradikalisasi harus terjadi sebagai sebuah keluarga, tidak hanya ditujukan pada para pria. Program deradikalisasi tidak mungkin hanya ditujukan untuk menanamkan nasionalisme atau mengggeser para ekstremis ke interpretasi lain dari teks-teks Quran. Mereka harus membahas bagaimana keluarga secara keseluruhan.
Selain itu, yang juga penting adalah Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) harus menyusun strategi baru kebijakan kontraradikalisasi dengan melibatkan aparatur daerah. Terlebih selama ini pemerintah daerah cenderung untuk tidak memberikan perhatian yang cukup pada hal ini karena mereka menganggap isu radikal ini adalah urusan pemerintah pusat.
*) Staf pengajar Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Semarang