Kejagung Sanggah Tidak Serius Perangi Penyeleweng Narkoba

id Kejagung Sanggah Tidak Serius Perangi Penyeleweng Narkoba

Jakarta, (Antara) - Kejaksaan Agung menyanggah tidak serius memerangi penjahat penyeleweng narkotika dan obat atau bahan berbahaya sebagaimana dilontarkan Badan Narkotika Nasional karena belum melaksanakan vonis hukuman mati 71 gembong dalam perkara tersebut. "Keseriusan memberantas narkoba tidak bisa diukur hanya karena lambannya eksekusi terpidana mati. Menjadi tidak etis pernyataan yang seolah tidak mengerti proses itu (eksekusi mati)," kata Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Mahfud Manan kepada Antara di Jakarta, Selasa (5/3) malam. Deputi Pemberdayaan Masyarakat Badan Narkotika Nasional (BNN) V Sambudiyono kepada pers di Pekanbaru, Selasa, menyatakan kejaksaan belum serius memerangi narkoba di Indonesia sebab eksekusi mati terhadap 71 terpidana gembong narkoba terus tertunda. Mahfud menambahkan banyak faktor dan waktu panjang yang mempengaruhi pelaksanaan hukuman mati karena terkait dengan pemenuhan hak-hak terpidana untuk menempuh upaya hukum. Ia menegaskan, eksekusi mati jangan disamakan dengan proses penyidikan yang begitu selesai pemberkasan langsung dapat disorongkan ke kejaksaan. "Saya yakin BNN tahu bagaimana panjangnya proses yang dilalui hingga benar-benar terpidana mati sudah menggunakan semua upaya hukum yang diberikan oleh undang-undang sehingga menjadi tidak etis bila ada pernyataan yang seolah tidak mengerti proses itu," katanya. Dikatakannya, komitmen kejaksaan dalam memerangi narkoba sama dengan BNN yang selama ini menjadi mitra yang terus bersinergi dengan kontribusi secara instansional dan fungsional tanpa mencampuri bidang masing-masing. Berdasarkan catatan BNN, sebanyak 71 orang sudah divonis hukuman mati, 51 narapidana di antaranya warga negara asing. Namun, hingga kini belum ada satu pun yang dieksekusi. Sambudiyono mencatat eksekusi terakhir terhadap gembong narkoba terjadi pada 2003 di Medan, Provinsi Sumatera Utara. "Sedangkan di dalam Lapas mereka (gembong narkoba) masih operasional dan kadang-kadang mereka jadi ATM (mesin penggelontor uang)," tegasnya. Ia menilai lambannya penindakan hukum dari pihak Kejaksaan sudah mencederai iktikad politik dari pemerintah untuk memerangi narkoba yang sudah tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 39 Tahun 1999. Di sisi lain, ketika BNN terus berupaya agar timbul kesadaran dari masyarakat untuk berani memerangi peredaran narkoba di lingkungannya, akan jadi tidak efektif tanpa didukung dengan penegakan hukum. "Padahal, kalau dimengerti masing-masing melakukan tugas pokok dan fungsinya, otomatis akan menimbulkan sinergitas," ujarnya. "Kenapa eksekusi mati untuk kasus terorisme cepat, tapi begitu kasus narkoba lama," lanjut Sambudiyono. Ia mengatakan ancaman terhadap narkoba di Indonesia sudah sangat membahayakan, karena hasil penelitian BNN dengan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia periode 2011 menunjukkan angka prevalensi penyalahgunaan narkoba sebesar 2,2 persen atau setara dengan 3,8-4,2 juta orang. Angka tersebut di bawah proyeksi prevalensi internasional, sebesar 2,32 persen dan juga naik dibandingkan angka prevalensi tahun 2008 yang mencapai 0,21 persen. (*/sun)