Soal pungli di sekolah, Nasrul Abit: kalau ada yang tertangkap kesalahan individual

id WAGUB,OTT PUNGLI,pungli di Sekolah

Soal pungli di sekolah, Nasrul Abit: kalau ada yang tertangkap kesalahan individual

Kapolres Solok Kota, Dony Setiawan didampingi Wakil Wali Kota Solok, Reinier saat keterangan pers OTT Kepala sekolah SMKN-2 Solok, Rabu (5/9). (Antara Sumbar/Tri Asmaini).

Padang, (Antaranews Sumbar) - Wakil Gubernur Sumatera Barat Nasrul Abit mengatakan sosialisasi terkait persoalan pungutan liar (pungli) telah dilakukan secara menyeluruh kepada seluruh sekolah tingkat SMA dan SMK di daerah itu.

"Dari awal sudah kami beritahu kepada kepala sekolah bahwa tidak diperbolehkan lagi melakukan pungutan terhadap orang tua murid yang tidak sesuai dengan aturan," kata dia di Padang, Rabu.

Menurut dia hal ini telah disepakati bersama baik oleh kepala dinas, kepala sekolah dan komite bahwa pungutan yang tidak sesuai dengan aturan merupakan pelanggaran hukum dan akan ditindak secara hukum.

"Kalau masih ada yang nakal dan tertangkap ini merupakan kesalahan individual dan dirinya harus berurusan dengan hukum," kata dia.

Terkait tertangkapnya Kepala SMKN 2 Solok dalam operasi tangkap tangan pungutan liar, Nasrul menilai kepala sekolah tersebut kurang teliti sehingga tetap melakukan pungutan yang tidak sesuai dengan aturan.

"Sudah saatnya kita ubah paradigma dan jangan lagi berupaya melakukan pungutan yang tidak seusai dengan aturan yang ada," kata dia.

Pemprov Sumbar sendiri dalam APBD 2018 telah menghibahkan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) sebesar Rp843,04 miliar dan dalam APBD perubahan diusulkan naik sebesar Rp910 juta sehingga menjadi Rp843,9 miliar. Penambahan itu berasal dari sisa anggaran dana BOS 2017 yang tertuang dalam Pertanggungjawaban pelaksanaan APBD 2017.

"Dana untuk pendidikan ini cukup besar dan saya berharap tidak ada lagi kepala sekolah yang tersangkut persoalan ini karena berdampak pada dunia pendidikan Sumbar," kata dia.

Sebelumnya Polres Solok Kota melakukan operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Kepala Sekolah SMKN 2 Solok inisial AH (57) atas dugaan pungutan liar yang dilakukan terhadap siswa di sekolah tersebut.

"Dua siswa yang dirugikan yaitu OY membayar secara langsung Rp1.200.000, dan IR membayar Rp1.920.000 melalui rekening dan menyerahkan bukti transfer," kata Kapolres Solok Kota, AKBP Dony Setiawan.

Ia menjelaskan tindakan AH tersebut dikategorikan pungutan liar (pungli) karena pungutan tersebut bersifat wajib, mengikat, jumlah dan waktu ditentukan, dikaitkan dengan persyaratan akademis, dan tidak atas dasar sukarela. Pungutan kepada siswa dengan kategori yang mampu Rp160 ribu per bulan, dalam setahun Rp1.920.000.

Yang tidak mampu dipungut Rp100 ribu per bulan dengan jumlah Rp1,2 juta per tahun. Selain itu AH juga menahan ijazah dan surat keterangan lulus siswa jika tidak dilunasi.

Jumlah siswa SMKN 2 Solok sebanyak 890 orang dari kelas X, XI, dan XII. Dari jumlah tersebut yang dianggap mampu 660 siswa, kurang mampu 217 siswa dan dibebaskan iuran 13 orang.

Total pungutan mencapai Rp911,3 juta, dan telah digunakan pihak sekolah Rp692,3 juta, dan disita Rp219 juta.

Sebagian dana itu juga ditambahkan sebagai tunjangan kepala sekolah, wakil, dan beberapa pegawai lainnya.

Barang bukti lainnya rekening bank atas nama Komite Sekolah yang seharusnya berada di komite, malah dipegang dan dikelola oleh pihak sekolah.

Kemudian buku kas peminjaman uang, dan uang tunai Rp219 juta.

Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 75 Tahun 2016 tentang komite sekolah Pasal 1 ayat (4) yang disebut pungutan itu bersifat wajib, mengikat, serta jumlah dan jangka waktu ditentukan.

Tersangka AH mengaku ia meminta iuran per bulan dari siswa untuk mendukung proses belajar mengajar sesuai Pergub Sumbar No.31 Tahun 2018 tentang peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan yang telah beredar beberapa waktu lalu.

Padahal dalam peraturan gubernur itu Pasal 12 ayat (2) dan (3) disebutkan masyarakat boleh berpartisipasi untuk mendukung pendidikan dengan sumbangan suka rela, dan tidak boleh dikaitkan dengan persyaratan dan kegiatan akademik peserta didik.(*)