Jika Anda memakan pinang, makanlah dengan sirih hijau, jika Anda datang ke Minang, jangan lupa datang ke Maninjau.
Demikian pesan almarhum Soekarno yang ditempel di dinding lobi Hotel Maninjau Indah. Pesan Presiden Pertama RI itu disampaikan saat memimpin Rapat Umum pada awal Juni 1948 di Maninjau, Sumatera Barat.
Danau Maninjau yang terletak sekitar 20 km di timur Bukittinggi memang menyimpan keindahan alam, dikelilingi perbukitan yang terlihat hijau, serta air danau yang jernih.
Kekaguman Soekarno tersebut cukup beralasan karena air danau yang jernih membuat banyak wisatawan lokal maupun manca negara yang betah berlama-lama menghabiskan liburan.
Tapi kenangan tersebut sekarang sudah terkubur ke dasar danau, tinggallah air kotor dan keruh karena tercemar oleh jala apung atau keramba yang berkembang tidak terkendali.
Ketika musim tuba belarang (upwilling) tiba, danau vulkanik seluas 99,5 km persegi di ketinggian 461,50 meter di atas permukaan laut itu, akan memutih oleh ribuan ton ikan yang mati dan mengambang, sehingga menyebarkan bau busuk.
Boy Faisal (50 tahun), warga Kota Bukittinggi yang berasal dari Desa Bayur di pinggir Danau Maninjau, menyayangkan kondisi air danau yang sudah tercemar dan keruh, sehingga tidak lagi menjadi tujuan wisata utama di Sumatera Barat.
Akibatnya, penginapan yang berada di pinggir danau, mati suri karena tidak ada tamu. Kalau pun ada tamu, hanya saat liburan hari Raya ketika para perantau pulang basamo.
Saat pelaksanaan Tour de Singkarak 2015 yang berakhir Minggu (11/10) dan melewati kawasan Danau Maninjau, tidak satu pun hotel yang digunakan oleh delegasi peserta maupun panitia.
Padahal tujuan utama tur yang sudah memasuki tahun ketujuh tersebut adalah untuk meningkatkan pariwisata di Sumatera Barat, termasuk Maninjau.
Seperti yang terlihat beberapa waktu lalu di lobby Hotel Maninjau Indah, salah satu hotel tertua di Kabupaten Agam, tidak banyak yang bisa dilakukan Icha (25 tahun) yang bertugas sebagai resepsionis.
Sepinya tamu membuat perempuan berambut panjang itu menghabiskan waktu dengan membaca majalah atau menonton televisi, sementara kursi tamu yang ada di lobby kosong melompong.
"Tingkat hunian di sini rata-rata hanya antara 30 sampai 40 persen, dan tamu pun hanya rombongan instansi pemerintah daerah. Pernah ada satu dua orang turis asing datang, tapi mereka hanya betah satu malam dan kemudian pergi," kata Icha.
Kondisi yang sama juga ditemui di hotel dan penginapan di tempat lain. Perairan di sekitar hotel yang seharusnya arena berenang dan bermain, justru sudah dikepung oleh ratusan keramba.
Chandra Rajo Intan, salah seorang pengusaha keramba yang ditemui di Maninjau menegaskan bahwa usaha ikan jala apung sekarang sudah menjadi urat nadi perekonomian masyarakat setempat.
Sekarang ini usaha keramba menghidupi ribuan warga sekitar Maninjau dengan perputaran uang yang mencapai Rp3 miliar sehari.
Chandra pun menyadari adanya "romantisme masa lalu" sebagian orang, terutama para perantau yang kecewa dengan kondisi danau yang tidak lagi seperti dulu.
"Mereka berkata, ondeeeeeh... airnya tidak jernih lagi seperti ketika saya berenang waktu SD. Tapi mereka itu satu tahun sekali pun belum tentu pulang kampung, bagaimana dengan kami yang setiap hari di sini dan menggantungkan hidup dari usaha karamba?" katanya menegaskan.
Buah Simalakama
Hendri Gafar, kepala Bagian Perekonomian Kabupaten Agam mengakui bahwa pemerintah daerah memang berada dalam posisi sulit dan ibarat makan buah simalaka dalam menyikapi kondisi Danau Maninjau.
"Di satu sisi, perekomonian masyarakat memang meningkat dengan usaha keramba ini, tapi di sisi lain usaha pariwisata dan kondisi lingkungan juga tidak bisa dikesampingkan begitu saja," katanya.
Menurut Hendri, yang terjadi saat ini adalah pengembangan keramba yang tidak terkendali dengan jumlah yang jauh melebih daya tampung danau.
"Saat ini terdapat sekitar 21.000 keramba, sementara jumlah idealnya hanya sekitar 6.000," katanya.
Jumlah tersebut bukan tidak mungkin terus bertambah karena ia sering melihat truk-truk membawa bambu dari luar Maninjau untuk membangun keramba, karena disekitar danau pohon bambu sudah habis ditebang.
Apa yang bisa dilakukan oleh pemerintah daerah menurut Hendri adalah menjaga keseimbangan diantara berbagai sektor, terutama antara bisnis karamba dan pariwisata.
Pemerintah Daerah pun sudah mengeluarkan Perda Perda No.5/2014 tentang Pelestarian Danau Maninjau untuk mengatur dan mengurangi jumlah keramba menjadi hanya 6.000 petak, sesuai kapasitas danau.
"Penyelamatan Danau Maninjau tentu tidak bisa dilakukan sendiri oleh pemerintah, tapi juga harus didukung oleh semua pihak. Memang bukan hal yang mudah untuk mengurangi jumlah karamba dari 21.000 menjadi jumlah ideal 6.000," katanya.
Eri Gas Ekaputra, dosen dari Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Andalas Padang yang juga anggota Komisi Konservasi Lahan dan Air Sumatera Barat mengatakan bahwa pihaknya pada 2014 lalu sudah menyampaikan rekomendasi kepada Pemerintah Kabupaten Agam terkait penanggulangan pencemaran Danau Maninjau.
Terdapat tiga rekomendasi yang disampaikan itu adalah moratorium (penghentian kegiatan), memberlakukan sistem kuota dan zonasi, serta alih teknologi dengan memindahkan kolam ikan ke sawah yang ada dipinggir danau.
"Rekomendasi pertama tampaknya tidak mungkin dijalankan dan yang paling memungkinkan adalah sistem kuota dan zonasi. Tapi sampai sekarang tampaknya tidak ada satu pun rekomendasi itu yang dijalankan," kata Eri Gas.
Eri pun tidak menampik fakta bahwa banyak pihak yang berkepentingan dalam bisnis karamba, termasuk anggota DPRD setempat yang juga memiliki bisnis tersebut, sehingga setiap aturan yang bisa mengganggu bisnis mereka pasti akan diganjal.
Pria yang meraih gelar doktor bidang teknologi pertanian Universitas Gajah Mada Yogyakarta itu berpendapat bahwa apa yang menimpa Danau Maninjau ibarat nasi yang sudah jadi bubur.
"Sasek paek jadikan ukia, artinya nasi sudah jadi bubur, tapi masih bisa dijadikan bubur ayam," katanya. (*)