Ketika Sungai Keruh dan Hutan Bergemuruh

id Ketika Sungai Keruh dan Hutan Bergemuruh

Ketika Sungai Keruh dan Hutan Bergemuruh

"Pak Bupati, adoh galodo di kampuang kami, Pak," ujar Neti, seorang warga Jorong (Desa) Sawah Laweh, Nagari Simpang, Kecamatan Simpang Alahan Mati, Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat, seraya memberitahu banjir bandang melanda kampung mereka kepada Bupati Pasaman, Benny Utama melalui telepon genggamnya.

Warga tersebut menurut Bupati memberitahu bencana melanda sambil berlari mencari tempat untuk evakuasi.

Semula Bupati menanggap informasi itu mengada-ada, namun kemudian setengah jam setelah laporan, ia langsung menuju lokasi yang biasa ia kunjungi tersebut.

Tiga kecamatan yang terkena bencana banjir dan longsor adalah Simpati, Tigo Nagari dan Bonjol terjadi pada Rabu (22/2) pukul 17.30 WIB itu tidak menimbulkan korban jiwa, hanya 115 rumah warga hancur, rusak berat dan ringan, termasuk rumah ibadah, infrastruktur pertanian dan lahan sawah dengan jumlah kerugian ditaksir Rp12,9 miliar.

Rumah dan rumah ibadah hancur karena terjangan banjir bandang yang membawa material ratusan kubik kayu gelondongan.

Bupati bersyukur, tidak ada warganya yang menjadi korban jiwa karena cepat tanggap melihat kondisi air sungai Batang Muluh yang keruh dan deras arusnya.

"Masyarakat sangat bersahabat dengan alam, mereka membaca tanda-tanda alam ketika air keruh, debit air naik, itulah yang membuat masyarakat kita selamat dari bencana," kata Bupati.

Bupati yang juga mengaku dekat dengan masyarakat itu juga menerima laporan 30 orang terkepung di hutan Malampah akibat longsor yang nyaris merenggut nyawa mereka.

Warga tersebut, kata Bupati, langsung mengevakuasi diri ke tempat lebih tinggi saat mendengar gemuruh dan pertanda longsor.

"Mereka kebetulan singgah di warung yang ada di hutan itu, hanya satu warung ada di sana tempat persinggahan, dan warung itu habis diterjang longsor.

Meskipun sempat beredar isu mereka tewas, namun mereka selamat walau sempat terisolasi selama beberapa jam.

Ia menegaskan, tidak ada warganya yang tewas pada peristiwa tersebut selain luka-luka.

Banjir bandang tersebut merupakan yang pertama kali melanda Kecamatan Simpang dan daerah sekitarnya.

"Barangkali lebih 50 tahun terakhir, karena warga yang berusia 50 tahun ke atas belum pernah melihat banjir seperti itu," kata Dodi (40), warga Sawah Laweh.

Menurutnya pernah terjadi banjir, namun hanya banjir biasa tidak menimbulkan kerugian besar seperti banjir bandang itu.

Tapi, Dodi mengaku bersyukur banjir bandang terjadi pada sore hari, sebab bila datangnya pada malam hari mungkin korban banyak berjatuhan.

Dugaan Pembalakan Liar

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Syamsul Maarif menegaskan banjir bandang yang melanda pemukiman masyarakat di Kecamatan Simpati, Pasaman, bukan dampak pembalakan liar di kawasan hutan daerah itu.

"Sepanjang yang kami lihat dari udara kawasan bencana di Pasaman, tidak ada indikasi akibat pembalakan liar, karena hutan masih terjaga meski ada warga yang membuka perladangan," katanya seusai memantau kondisi hutan Bukit Macang dan sekitarnya.

Kepala BNPB melakukan peninjauan lokasi bencana banjir dan longsor pada beberapa titik melalui udara dengan helikopter bersama Gubernur Sumbar Irwan Prayitno, Bupati Pasaman Benny Utama dan Deputi II BNPB Dodi Ruswandi serta wartawan media elektronik.

Menurut dia, jika ada pihak yang menyampaikan banjir akibat pembalakan lair, harus berani membuktikan dan melihat dari udara, jangan ada yang berspekulasi dalam situasi bencana.

"Banjir bandang yang melanda Kecamatan Simpati karena faktor alam, akibat hujan dengan intensitas tinggi selama tiga hari berturut akibatnya memicu longsor," katanya.

Apalagi, katanya, melihat topografi di titik longsor tersebut berada pada kemiringan di atas 40 derajat ditambah tanah begitu mudah longsor saat curah hujan tinggi.

Bencana banjir di Pasaman, kata Syamsul, hampir sama kejadiannya dengan bencana air bah di Wasior dua tahun lalu di mana kemiringan lokasi dan kondisi tanahnya subur.

Bupati Benny Utama, semakin tegas, bahwa tidak ada aktivitas "ilegal logging", yang ada hanya warga yang membuka lahan baru di bebukitan itu tapi dalam skala kecil.

Lalu dari mana kayu-kayu itu datang? Bupati menjawab, dari pohon-pohon yang ada di bukit kemudian tumbang dihanyutkan sampai ke kampung sehingga daun-daunnya habis karena hanyut.

Namun pernyataan tersebut bertolak belakang dengan kondisi di tempat kejadian dan sejumlah pernyataan masyarakat yang mengakui adanya aktivitas pembalakan liar di hutan yang melingkari kampung mereka.

Pasca banjir bandang, ratusan material kayu bertumpuk di atas sawah masyarakat, kayu-kayu sekelas meranti dan banio yang bekas ditebang itu terbawa banjir bandang.

"Kami sudah jenuh dengan aktivitas penebangan kayu di sini, Pak, sawmill (tempat pemotongan) berkedok perabot yang mengaku tidak mengambil kayu dari kampung kami, ternyata bohong," kata Wali Nagari Alahan Mati, Kecamatan Simpang, Harfen Ishar.

Memang diakuinya, sejumlah warga membuka ladang mereka di hutan dengan menumbangkan pohon-pohon dan menggantinya dengan tanaman kakao, karet, dan tanaman lainnnya, tapi memang hanya sedikit.

Di Kecamatan Simpang Alahan Mati (Simpati), kata Harfen, terdapat tiga unit sawmill, di antaranya mengaku hanya toko perabot.

"Toko perabot itu juga mengaku tidak mengambil kayu dari hutan kami, tapi ternyata mereka bohong," tegasnya.

Ia mengaku sudah melaporkan hal tersebut kepada pihak terkait, namun belum ada tanggapan tegas.

Rencananya, ia bersama tokoh-tokoh masyarakat akan membahas persoalan tersebut bersama-sama agar bencana yang lebih besar tidak menimpa warganya dan generasi berikutnya.

Sementara itu, di kecamatan yang sama, Wali Nagari Simpang, Adek Jumailis, membenarkan adanya warga yang membuka ladang di hutan dan terpaksa pohon-pohon ditumbang-tumbangkan masyarakat.

Maka tidak heran, saat banjir bandang pohon-pohon yang bertumbangan tersebut terbawa arus hingga ke kampung dan menghancurkan sawah dan rumah masyarakat.

Masyarakat biasa membuka ladang karet, kakao, pinang, jagung, kacang, dan sawit di sejumlah titik.

"Ladang yang mereka buka itu merupakan tanah ulayat milik "ninik-mamak", saat mereka butuh mereka membuka ladang itu. 17 titik longsor itu merupakan ladang-ladang kami," katanya.

Adek yang merupakan ditetapkan sebagai Wali Nagari Peduli Kehutanan terbaik di Kabupaten Pasaman 2011 itu berharap, agar ada pihak terkait yang mengecek kebenaran adanya pembalakan liar di Kecamatan Simpati.

"Saya sendiri tidak setuju adanya pembalakan liar di nagari saya, mudah-mudahan ada tim yang mengecek hal itu, terutama izin sawmil yang selama ini tertutup aktivitasnya," tambahnya.

Dugaan kuat adanya pembalakan liar juga dibenarkan oleh Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumbar, Khalid Saefullah, yang menyatakan, kerusakan kawasan daerah hulu sungai sangat besar pengaruhnya dan berkontribusi mendatangkan bencana banjir bandang.

"Tim kami masih di lapangan untuk memastikan dugaan pembalakan liar itu," katanya.

Dikatakannya, Kabupaten Pasaman 80 persen daerahnya merupakan kawasan hutan lindung dan konservasi dengan luas 279.996 hektare, tapi berdasarkan pemantauan terakhir, degradasi hutan di sana mencapai 20 persen.

Secara topografi, katanya, kawasan itu harus dilindungi namun persoalan yakni ketidakjelasan kebijakan soal pemenuhuan kebutuhan kayu lokal.

Menurutnya, hasil kayu perusahaan pemilik HPH cenderung dikirim ke luar dari Sumbar, sehingga masyarakat tidak bisa memperoleh kayu kualitas terbaik seperti meranti dan banio kecuali dari hutan lindung.

"Ini bukti dan fakta, bahwa aparat bekerja tidak maksimal, karena sampai hari ini aktivitas pembalakan liar tidak pernah berkurang," katanya.

Aparat hanya bisa menemukan kayu yang ditinggal atau kurir yang membawa kayu, tapi aktor utama tidak pernah ditemukan.

Kemudian kejahatan kehutanan, terutama aktivitas pembalakan liar menurutnya tidak mendapati efek jera.

"Banyak yang kemudian seperti orang tersengat listrik, ketika bencana tiba baru mereka bilang ini karena pembalakan liar," katanya lagi.

Ia menjelaskan, ada tiga persoalan kehutanan, pertama lemahnya penegakan hukum, karena penegakan hukum hanya kepada kurir, penebang, namun pelaku utama tidak bisa disentuh sebab menurutnya banyak aparat ambil bagian sebagai cukong.

Persoalan kehutanan kedua, masyarakat masih dalam kondisi miskin, sehingga mereka menjadi "ladang" bagi pelaku untuk memanfaatkan mereka untuk jadi buruh pembalakan liar.

Sedangkan persoalan ketiga mengenai kebutuhan kayu lokal karena tidak pernah jelas pemenuhan.

Pasca bencana banjir bandang Pasaman, dari temuan Walhi Sumbar, jelas kayu-kayu yang dibawa banjir merupakan kayu hasil tebangan.

Kayu tersebut, kata Khalid, ada yang belum diolah atau sama sekali tidak bisa diolah karena kualitasnya tidak bagus sehingga ditinggalkan begitu saja.

Kayu-kayu itulah yang dibawa banjir bandang bersama air sungai yang keruh dan suara gemuruh dari rimba. [*]