Padang (ANTARA) - Jejaring pendidikan Islam, mulai dari Madrasah Tsanawiyah hingga Aliyah, dari pesantren salaf hingga modern, telah menjadi pilar fundamental dalam membentuk karakter bangsa Indonesia. Lembaga-lembaga ini tidak hanya dimaknai sebagai pusat transmisi ilmu agama, tetapi juga diharapkan menjadi kawah candradimuka yang melahirkan generasi berakhlak mulia sekaligus kontributif bagi kemajuan masyarakat. Namun, di tengah kompleksitas tantangan ekonomi abad ke-21, muncul pertanyaan reflektif: sudahkah lulusan sekolah Islam berhasil mencapai keseimbangan optimal antara pembentukan kesalehan individual yang kokoh dan kemampuan untuk berkontribusi secara nyata, terukur, dan transformatif dalam pembangunan ekonomi bangsa?
Kesalehan Individual sebagai Modal Sosial Ekonomi
Kekuatan utama pendidikan Islam seringkali terletak pada kemampuannya menanamkan fondasi moral dan spiritual yang mendalam. Riset empiris lintas negara mendukung klaim ini. Studi longitudinal di Amerika Serikat (Fletcher & Kumar, 2014) menemukan bahwa "religiositas intrinsik"—penghayatan nilai agama yang tulus—pada masa remaja secara signifikan mengurangi ketergantungan pada perilaku berisiko tinggi seperti penyalahgunaan zat di masa dewasa. Temuan ini mengindikasikan bahwa internalisasi nilai-nilai agama berfungsi sebagai mekanisme pengendalian diri (self-control) yang berharga.
Dalam konteks ekonomi, pengaruh religiusitas juga tampak pada perilaku keuangan dan bisnis. Penelitian Adhikari & Agrawal (2016) menunjukkan bahwa bank di daerah dengan tingkat religiusitas masyarakat tinggi cenderung memiliki profil risiko lebih rendah, dengan volatilitas saham dan risiko gagal bayar yang lebih kecil. Ini mengisyaratkan bahwa nilai kehati-hatian dan kejujuran yang diasosiasikan dengan religiusitas dapat terinternalisasi dalam pengambilan keputusan ekonomi.
Di Indonesia, penanaman nilai-nilai seperti shiddiq (jujur), amanah (dapat dipercaya), dan istikamah (konsisten) menjadi jantung pendidikan Islam. Kesalehan individual yang terbentuk ini merupakan modal sosial (social capital) ekonomi yang berharga—sebuah fondasi untuk membangun kepercayaan (trust) yang menjadi prasyarat penting bagi pertumbuhan ekonomi dan iklim bisnis yang sehat.
Kontribusi Sosial-Ekonomi: Tantangan dan Hambatan Sistemik
Namun, transformasi dari kesalehan personal menjadi kontribusi ekonomi yang berdampak sistemik tidak terjadi secara otomatis. Di sinilah letak tantangan sekaligus ruang evaluasi kritis. Literatur internasional memberikan gambaran yang kompleks.
Studi di Bangladesh (Asadullah & Chaudhury, 2010) menemukan bahwa lulusan madrasah, meski mendukung demokrasi, memiliki sikap yang lebih tradisional terhadap partisipasi perempuan di ranah publik dan ekonomi. Hal ini mengindikasikan bahwa kurikulum dan lingkungan pendidikan dapat membentuk preferensi yang pada akhirnya memengaruhi pilihan karir dan partisipasi ekonomi, khususnya dalam konteks kesetaraan gender yang menjadi faktor penting produktivitas ekonomi nasional.
Persoalan kualitas pendidikan dan relevansinya dengan pasar kerja juga mengemuka. Penelitian komparatif di Bangladesh dan Pakistan (Asadullah, 2009) menunjukkan hasil yang kontras: di Pakistan, lulusan sekolah swasta berafiliasi agama mendapatkan premium upah, sementara di Bangladesh tidak. Perbedaan ini diduga berkaitan dengan variasi regulasi, supervisi, dan kualitas input pendidikan. Artinya, tanpa penguasaan keterampilan teknis, kemampuan kognitif tingkat tinggi, dan literasi digital yang memadai, lulusan berisiko mengalami keterputusan (mismatch) dengan kebutuhan pasar tenaga kerja yang semakin kompetitif.
Tantangan ekosistem ekonomi juga tak kalah penting. Studi kasus tentang perusahaan holding Anatolia di Turki (Özcan & Çokgezen, 2003) mengungkap bagaimana lemahnya institusi keuangan dan regulasi dapat menggagalkan inisiatif pengumpulan modal—termasuk yang berbasis prinsip syariah. Sebaliknya, penelitian di AS (Kampanelis dkk., 2024) menemukan bahwa reformasi perbankan yang meningkatkan kompetisi justru mendorong mobilitas sosial antargenerasi melalui peningkatan akses pendidikan dan kewirausahaan.
Kontras ini menyoroti realitas krusial: kontribusi ekonomi lulusan sekolah Islam tidak hanya bergantung pada kapasitas individual, tetapi sangat ditentukan oleh ekosistem ekonomi yang melingkupinya—apakah memberikan akses terhadap modal, pasar, jaringan, dan regulasi yang mendukung.
Strategi Integrasi: Menyatukan Moralitas dengan Produktivitas Ekonomi
Untuk menjembatani kesenjangan ini, diperlukan reorientasi strategis yang mengintegrasikan dimensi moral dengan kompetensi ekonomi.
Pertama, kurikulum harus diarahkan pada model integratif-holistik yang tidak hanya memperdalam ilmu agama (tafaqquh fiddin), tetapi juga mengintegrasikannya secara kreatif dengan ekonomi, kewirausahaan, keuangan syariah, matematika terapan, dan literasi digital. Studi tentang sekolah Katolik di AS (Gihleb & Giuntella, 2017) memberikan pelajaran berharga: keunggulan pendidikan agama harus secara aktif dibangun melalui peningkatan kualitas proses pembelajaran, bukan mengandalkan reputasi semata.
Kedua, pendidikan Islam perlu menjadi pelopor dalam menafsirkan nilai-nilai Islam yang mendukung partisipasi ekonomi inklusif, khususnya bagi perempuan. Riset di Azerbaijan (Aliyev dkk., 2020) dan Turki (Dildar, 2015) mengonfirmasi bahwa norma patriarkal yang dilegitimasi interpretasi agama dapat menghambat partisipasi ekonomi perempuan—sebuah potensi produktivitas nasional yang terbuang percuma.
Ketiga, sekolah harus aktif membangun kemitraan strategis dengan ekosistem ekonomi riil: dunia industri, lembaga keuangan syariah yang sehat (Maali dkk., 2024), inkubator bisnis, dan pasar. Program magang, project-based learning berbasis masalah ekonomi komunitas, dan pendampingan kewirausahaan dapat menjadi jembatan efektif antara nilai dan aplikasi ekonomi.
Keempat, kebijakan pemerintah harus menciptakan enabling environment. Diperlukan kebijakan afirmatif yang tidak hanya meningkatkan anggaran, tetapi juga memastikan standar mutu, menyediakan akses pembiayaan pendidikan dan modal usaha, serta menciptakan regulasi yang mendukung inovasi ekonomi berbasis nilai. Penelitian Lattanzio (2022) memberikan peringatan: institusionalisasi norma agama yang kaku dan restriktif dalam sistem hukum justru dapat menimbulkan konsekuensi ekonomi negatif. Kebijakan harus mendorong terciptanya ekonomi inklusif yang memungkinkan etika Islam berkembang dalam kerangka produktivitas dan inovasi.
Agenda Riset dan Masa Depan
Perdebatan ini menyisakan agenda riset kritis untuk konteks Indonesia. Beberapa pertanyaan mendesak antara lain: Bagaimana dampak jangka panjang pendidikan Islam terhadap pendapatan, mobilitas ekonomi, dan produktivitas lulusan? Mengingat heterogenitas yang luas antara berbagai model sekolah Islam, riset perlu memetakan bagaimana perbedaan kelembagaan memengaruhi outcome ekonomi lulusan. Seberapa efektif jaringan alumni (ikhwan) dalam memfasilitasi akses pekerjaan dan modal? Bagaimana model kewirausahaan sosial berbasis nilai-nilai Islam seperti zakat dan wakaf dapat dikembangkan menjadi kekuatan ekonomi? Serta, bagaimana respons pendidikan Islam terhadap disrupsi ekonomi digital?
Kesimpulan
Lulusan sekolah Islam di Indonesia membawa warisan kesalehan yang dapat menjadi competitive advantage dalam ekonomi modern yang membutuhkan integritas dan kepercayaan. Namun, warisan ini harus dilengkapi dengan kompetensi ekonomi yang relevan dan didukung oleh ekosistem yang memadai. Titik temu yang dicari bukanlah dikotomi antara kesalehan dan produktivitas ekonomi, melainkan sintesis yang memadukan keduanya: membentuk pribadi yang tidak hanya alim (berilmu agama) tetapi juga mujtahid (inovatif) dalam ekonomi, tidak hanya abid(ahli ibadah) tetapi juga produktif dalam kontribusi sosial-ekonomi. Dengan reorientasi kurikulum, komitmen pada inklusi ekonomi, kebijakan yang mendukung, dan riset yang mendalam, lulusan sekolah Islam dapat menjadi kekuatan penggerak ekonomi bangsa yang berintegritas dan berdaya saing.
* Delfia Tanjung Sari, Dosen Departemen Ekonomi – Universitas Andalas