Padang (ANTARA) - Pernikahan dini masih menjadi masalah serius di Indonesia, meskipun pemerintah telah menaikkan batas usia minimum menikah menjadi 19 tahun untuk laki-laki dan perempuan melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019.
Namun, implementasi kebijakan ini menghadapi tantangan, terutama dalam hal pemberian dispensasi kawin, yang justru mengaburkan tujuan utama perlindungan anak.
Dalam banyak kasus, dispensasi ini diberikan tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang, khususnya terhadap kesehatan reproduksi dan kesejahteraan anak perempuan.
Berdasarkan data Badan Peradilan Agama (BADILAG), pada tahun 2022 tercatat ada 52.095 dispensasi kawin yang disetujui, dengan alasan utama seperti "cinta" dan "hamil."
Situasi ini mencerminkan kuatnya norma sosial dan tekanan budaya yang sering kali mengabaikan kepentingan terbaik bagi anak-anak.
Salah satu tantangan utama dalam kebijakan dispensasi kawin adalah ketidakjelasan definisi “alasan mendesak” yang tercantum dalam Pasal 7 ayat (2) UU Nomor 16 Tahun 2019.
Tanpa adanya pedoman yang jelas, istilah ini sering kali diinterpretasikan secara subyektif dan sepenuhnya bergantung pada keputusan hakim pengadilan agama atau negeri.
Dalam praktiknya, perhatian lebih sering diberikan pada penyelesaian masalah jangka pendek, seperti menghindari stigma akibat kehamilan di luar nikah, tanpa mempertimbangkan kesiapan fisik dan mental calon mempelai secara menyeluruh (Komnas Perempuan, 2022).
Selain itu, proses pemberian dispensasi ini jarang melibatkan tenaga ahli, seperti konselor atau psikolog, yang sebenarnya dapat memberikan penilaian objektif terhadap dampaknya bagi anak.
Akibatnya, kebijakan ini justru berpotensi meningkatkan risiko kesehatan dan masalah sosial bagi pasangan muda.
Dari aspek kesehatan reproduksi, pemberian dispensasi tentu memberikan dampak serius terutama bagi anak perempuan.
Perkembangan organ reproduksi anak, menyebabkan banyak masalah kesehatan reproduksi kedepannya, termasuk risiko komplikasi kehamilan dan persalinan.
Hal ini juga menjadi faktor penyumbang Angka Kematian Ibu (AKI) di negara berkembang, termasuk di Indonesia.
Hal lain yang menjadi penting adalah masalah kesehatan mental anak. Anak perempuan yang menikah di usia dini lebih rentan mengalami depresi, kecemasan, hingga kekerasan dalam rumah tangga.
Penelitian menunjukkan bahwa beban tanggung jawab rumah tangga yang tidak sesuai dengan tingkat kedewasaan mereka dapat mengganggu stabilitas emosional remaja (UNICEF, 2021).
Selain itu, pasangan muda sering kali menghadapi keterbatasan akses terhadap layanan kesehatan reproduksi, termasuk perawatan prenatal dan postnatal.
Hal ini semakin meningkatkan risiko kesehatan, baik bagi sang ibu maupun bayi mereka (BADILAG, 2022).
Kriteria pemberian dispensasi perlu diperketat dengan melibatkan berbagai ahli, seperti psikolog, tenaga kesehatan reproduksi, dan pekerja sosial.
Selain itu, konseling wajib bagi calon mempelai dan keluarga harus diterapkan untuk memastikan mereka siap secara mental dan fisik sebelum melangkah ke pernikahan (UU No. 16 Tahun 2019).
Perlu dilakukan edukasi komprehensif di sekolah setingkat SMP kepada siswa agar paham mengenai dampak pernikahan dini dari segi kesehatan reproduksi.
Selain itu pemerintah juga dapat memperkuat program pemberdayaan ekonomi bagi keluarga kurang mampu, sehingga tekanan finansial yang sering menjadi alasan menikahkan anak dapat diminimalkan.