Padang (ANTARA) - Tim Dokter yang tergabung dalam Perhimpunan Forensik dan Midakolegal Indonesia (PDFMI) merilis hasil ekshumasi yang dilakukan terhadap kasus kematian Afif Maulana (13) di Kantor Polresta Padang pada Rabu (25/9).
Sebelumnya Afif merupakan korban yang ditemukan meninggal dunia di bawah Jembatan Kuranji, Padang, Sumatra Barat (Sumbar) pada Juni lalu.
"Pemeriksaan telah dilakukan secara bersama-sama dan teliti oleh Dokter Forensik terhadap kasus," kata Ketua Tim dr Ade Firmansyah Sugiharto di Padang, Rabu.
Ia mengatakan analisis dan pemeriksaan yang dilakukan pihaknya berdasarkan metode ilmiah yang dicocokkan dengan berbagai kronologis, tempat kejadian, dokumen.
Serta keterangan dari Polresta Padang, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang, serta Lembaga Perlindungan Korban dan Saksi.
Ia mengatakan dari berbagai pemeriksaan itu kemudian didapatkan tiga simulasi kejadian yang kemudian disebut menyebabkan kematian Afif.
Pertama adalah tentang keterangan bahwa korban tewas karena jatuh dari motor saat Polisi berusaha mencegah aksi tawuran bersenjata tajam.
Kemudian opsi adanya tindakan kekerasan atau penganiayaan yang dialami Afif, ketiga karena jatuh dari jembatan karena posisi jenazah ditemukan di bawah jembatan.
Ia menceritakan tim telah mencoba mendalami ketiga simulasi tersebut dengan cara mencocokkannya ke kondisi tubuh serta lokasi kejadian.
Hasilnya tim menemukan suatu kesesuaian antara kejadian yang jatuh dari jembatan Kuranji dengan kondisi tubuh korban yang dilakukan pemeriksaan serta analisis.
Tim mencoba mengukur tinggi jembatan dengan dasar sungai mencapai 14,7 meter, kemudian mencatat tinggi serta berat badan korban.
Dengan tinggi, berat, serta massa tubuh korban tim lalu menganalisis potensi energi yang muncul ketika jatuh dari ketinggian 14 meter lebih.
Potensi energi yang diterima oleh tubuh ketika terjatuh dianalisis sekitar 7.200 joule, dan angka itu memang lebih tinggi dari batas toleransi tubuh manusia.
Ade mengatakan batas toleransi untuk daerah kepala di kisaran 1.800 joule, leher 1.800 joule, dada 60 joule, dan tungkai 8.000.
Berdasarkan hal tersebut maka tim menemukan adanya kesesuaian antara analisis dengan kondisi patah tulang iga, punggung, serta kepala.
Sementara untuk opsi kalau korban tewas karena ditendang dari motor itu bisa dikesampingkan oleh tim sebab saat itu kecepatan motor yang dibonceng oleh Afif memiliki kecepatan 60-80 kilometer per jam.
Kecepatan demikian menurut analisis tidak akan sampai menimbulkan kondisi seperti yang dialami oleh tubuh korban.
Sama halnya dengan adanya dugaan korban meninggal dunia karena mendapatkan tindakan kekerasan atau penganiayaan dari yang dinilai tidak berkesusaian dengan kondisi tubuh korban.
Sisi patah tulang iga tubuh korban ada di bagian belakang, hal ini berbeda dengan kondisi kekerasan yang biasanya menyebabkan patah di depan.
Selain itu patah tulang iga tubuh korban memiliki pola patahan yang hampir segaris, harusnya disebabkan karena benturan dengan energi yang besar di waktu bersamaan.
"Tidak mungkin ada satu orang yang bisa memukul atau menendang dengan kekuatan yang hampir sama, kekerasan biasanya menimbulkan dampak di lokasi yang random dan tidak segaris," katanya
Pada bagian lain, kegiatan pers rilis itu dihadiri langsung oleh Pihak Kepolisian, media, serta Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang yang merupakan kuasa hukum dari korban.
Pihak LBH Annisa Hamdani mengatakan pihaknya akan meminta salinan hasil ekshumasi itu dan mempelajarinya terlebih dahulu.*
Sebelumnya Afif merupakan korban yang ditemukan meninggal dunia di bawah Jembatan Kuranji, Padang, Sumatra Barat (Sumbar) pada Juni lalu.
"Pemeriksaan telah dilakukan secara bersama-sama dan teliti oleh Dokter Forensik terhadap kasus," kata Ketua Tim dr Ade Firmansyah Sugiharto di Padang, Rabu.
Ia mengatakan analisis dan pemeriksaan yang dilakukan pihaknya berdasarkan metode ilmiah yang dicocokkan dengan berbagai kronologis, tempat kejadian, dokumen.
Serta keterangan dari Polresta Padang, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang, serta Lembaga Perlindungan Korban dan Saksi.
Ia mengatakan dari berbagai pemeriksaan itu kemudian didapatkan tiga simulasi kejadian yang kemudian disebut menyebabkan kematian Afif.
Pertama adalah tentang keterangan bahwa korban tewas karena jatuh dari motor saat Polisi berusaha mencegah aksi tawuran bersenjata tajam.
Kemudian opsi adanya tindakan kekerasan atau penganiayaan yang dialami Afif, ketiga karena jatuh dari jembatan karena posisi jenazah ditemukan di bawah jembatan.
Ia menceritakan tim telah mencoba mendalami ketiga simulasi tersebut dengan cara mencocokkannya ke kondisi tubuh serta lokasi kejadian.
Hasilnya tim menemukan suatu kesesuaian antara kejadian yang jatuh dari jembatan Kuranji dengan kondisi tubuh korban yang dilakukan pemeriksaan serta analisis.
Tim mencoba mengukur tinggi jembatan dengan dasar sungai mencapai 14,7 meter, kemudian mencatat tinggi serta berat badan korban.
Dengan tinggi, berat, serta massa tubuh korban tim lalu menganalisis potensi energi yang muncul ketika jatuh dari ketinggian 14 meter lebih.
Potensi energi yang diterima oleh tubuh ketika terjatuh dianalisis sekitar 7.200 joule, dan angka itu memang lebih tinggi dari batas toleransi tubuh manusia.
Ade mengatakan batas toleransi untuk daerah kepala di kisaran 1.800 joule, leher 1.800 joule, dada 60 joule, dan tungkai 8.000.
Berdasarkan hal tersebut maka tim menemukan adanya kesesuaian antara analisis dengan kondisi patah tulang iga, punggung, serta kepala.
Sementara untuk opsi kalau korban tewas karena ditendang dari motor itu bisa dikesampingkan oleh tim sebab saat itu kecepatan motor yang dibonceng oleh Afif memiliki kecepatan 60-80 kilometer per jam.
Kecepatan demikian menurut analisis tidak akan sampai menimbulkan kondisi seperti yang dialami oleh tubuh korban.
Sama halnya dengan adanya dugaan korban meninggal dunia karena mendapatkan tindakan kekerasan atau penganiayaan dari yang dinilai tidak berkesusaian dengan kondisi tubuh korban.
Sisi patah tulang iga tubuh korban ada di bagian belakang, hal ini berbeda dengan kondisi kekerasan yang biasanya menyebabkan patah di depan.
Selain itu patah tulang iga tubuh korban memiliki pola patahan yang hampir segaris, harusnya disebabkan karena benturan dengan energi yang besar di waktu bersamaan.
"Tidak mungkin ada satu orang yang bisa memukul atau menendang dengan kekuatan yang hampir sama, kekerasan biasanya menimbulkan dampak di lokasi yang random dan tidak segaris," katanya
Pada bagian lain, kegiatan pers rilis itu dihadiri langsung oleh Pihak Kepolisian, media, serta Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang yang merupakan kuasa hukum dari korban.
Pihak LBH Annisa Hamdani mengatakan pihaknya akan meminta salinan hasil ekshumasi itu dan mempelajarinya terlebih dahulu.*