Padang (ANTARA) - Akademisi dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Andalas (Unand), Sumatera Barat (Sumbar) Dewi Anggraini mengaku khawatir apabila masyarakat mulai menganggap praktik politik uang merupakan sebuah kewajaran dalam pesta demokrasi.
"Saya melihat praktik politik uang mulai dianggap sebuah kelaziman," kata akademisi dari Fisip Universitas Andalas, Sumbar Dewi Anggraini di Padang, Selasa.
Sebagai contoh, kata Dewi, seseorang yang akan maju di pemilu datang ke masyarakat dan memberikan sejumlah uang. Di saat bersamaan, konstituen yang menerima uang tersebut beranggapan mereka harus memberikan suaranya kepada calon itu saat pemilihan.
Dosen di Fisip Unand tersebut mengatakan sebagian masyarakat yang menerima uang itu lebih berpikir pragmatis, dan memanfaatkan momentum pilkada untuk kepentingan sesaat.
"Jadi, ada semacam pola pikir barter dari masyarakat. Mereka berpikir sosok yang terpilih nantinya juga tidak peduli atau kenal lagi dengan masyarakat," ujar dia.
Ia mengatakan pada umumnya praktik politik uang kerap terjadi di kalangan akar rumput yang pemahaman politiknya tergolong minim. Terbatasnya literasi politik yang mereka dapatkan menyebabkan kelompok tersebut lebih berpikir pragmatis.
Kendati demikian, Dewi menyakini masyarakat yang memiliki pemahaman politik yang luas tidak mudah terjebak dalam politik uang. Kelompok ini lebih cenderung berpikir untuk mencari sosok pemimpin yang bisa membangun daerah daripada menerima sejumlah uang dari seseorang calon.
Pada kesempatan itu, ia menegaskan penyadartahuan kepada publik tentang politik uang perlu dimasifkan oleh penyelenggara pemilu hingga pemerintah daerah. Selain bermuara pada pidana, politik uang juga mencederai nilai-nilai demokrasi.
"Masyarakat harus diberitahu bahwa politik uang ini bisa berujung pada pidana. Artinya, perlu sosialisasi yang masif dari pemangku kepentingan," kata dia.
Terpisah, Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja menyebutkan berkaca dari data tren putusan tindak pidana pemilihan secara nasional tahun 2020, terdapat puluhan kasus yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Ia menyebutkan sebanyak 65 kasus kepala desa atau pejabat Aparatur Sipil Negara (ASN) melanggar Pasal 188 karena melakukan tindakan menguntungkan atau merugikan pasangan calon.
Berikutnya, 22 kasus melanggar Pasal 187 A Ayat 1 yakni memberi dan atau menjanjikan uang dan atau materi lainnya. Ada juga 12 kasus melanggar Pasal 178 B memberikan suara lebih dari sekali di satu atau lebih TPS. Kasus lainnya, 10 kasus melanggar Pasal 187 Ayat 3 yakni melanggar ketentuan kampanye.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Akademisi khawatir publik mulai anggap politik uang sebuah kewajaran
"Saya melihat praktik politik uang mulai dianggap sebuah kelaziman," kata akademisi dari Fisip Universitas Andalas, Sumbar Dewi Anggraini di Padang, Selasa.
Sebagai contoh, kata Dewi, seseorang yang akan maju di pemilu datang ke masyarakat dan memberikan sejumlah uang. Di saat bersamaan, konstituen yang menerima uang tersebut beranggapan mereka harus memberikan suaranya kepada calon itu saat pemilihan.
Dosen di Fisip Unand tersebut mengatakan sebagian masyarakat yang menerima uang itu lebih berpikir pragmatis, dan memanfaatkan momentum pilkada untuk kepentingan sesaat.
"Jadi, ada semacam pola pikir barter dari masyarakat. Mereka berpikir sosok yang terpilih nantinya juga tidak peduli atau kenal lagi dengan masyarakat," ujar dia.
Ia mengatakan pada umumnya praktik politik uang kerap terjadi di kalangan akar rumput yang pemahaman politiknya tergolong minim. Terbatasnya literasi politik yang mereka dapatkan menyebabkan kelompok tersebut lebih berpikir pragmatis.
Kendati demikian, Dewi menyakini masyarakat yang memiliki pemahaman politik yang luas tidak mudah terjebak dalam politik uang. Kelompok ini lebih cenderung berpikir untuk mencari sosok pemimpin yang bisa membangun daerah daripada menerima sejumlah uang dari seseorang calon.
Pada kesempatan itu, ia menegaskan penyadartahuan kepada publik tentang politik uang perlu dimasifkan oleh penyelenggara pemilu hingga pemerintah daerah. Selain bermuara pada pidana, politik uang juga mencederai nilai-nilai demokrasi.
"Masyarakat harus diberitahu bahwa politik uang ini bisa berujung pada pidana. Artinya, perlu sosialisasi yang masif dari pemangku kepentingan," kata dia.
Terpisah, Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja menyebutkan berkaca dari data tren putusan tindak pidana pemilihan secara nasional tahun 2020, terdapat puluhan kasus yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Ia menyebutkan sebanyak 65 kasus kepala desa atau pejabat Aparatur Sipil Negara (ASN) melanggar Pasal 188 karena melakukan tindakan menguntungkan atau merugikan pasangan calon.
Berikutnya, 22 kasus melanggar Pasal 187 A Ayat 1 yakni memberi dan atau menjanjikan uang dan atau materi lainnya. Ada juga 12 kasus melanggar Pasal 178 B memberikan suara lebih dari sekali di satu atau lebih TPS. Kasus lainnya, 10 kasus melanggar Pasal 187 Ayat 3 yakni melanggar ketentuan kampanye.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Akademisi khawatir publik mulai anggap politik uang sebuah kewajaran