Padang (ANTARA) - Seiring perkembangan teknologi, smartphone telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan remaja. Remaja cenderung menghabiskan sebagian besar waktunya dengan perangkat tersebut. Mereka memanfaatkan smartphone untuk berbagai aktivitas, seperti bermain game, menonton video, menjelajahi internet, dan menyimak informasi dari situs jejaring sosial.
Penggunaan smartphone yang tinggi di kalangan remaja memunculkan fenomena baru bernama phubbing, yaitu tindakan mengabaikan orang di sekitar demi fokus pada smartphone.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Sidaria, Mohd. Jamil, dan Elsa Salsabila dari Fakultas Keperawatan Universitas Andalas mengungkapkan hubungan erat antara penggunaan smartphone yang tinggi dengan perilaku phubbing di kalangan remaja. Penelitian ini difokuskan pada siswa kelas X dan XI di salah satu sekolah swasta di Padang, dengan total 243 responden.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 62,6% remaja memiliki penggunaan smartphone yang tinggi, sementara 57,6% dari mereka menunjukkan perilaku phubbing yang tinggi, dan didapatkan adanya hubungan antara penggunaan smartphone dengan perilaku phubbing. Semakin tinggi penggunaan smartphone maka semakin tinggi perilaku phubbing.
Dampak dari perilaku phubbing ini sangat merugikan. Phubbing dapat mengganggu komunikasi interpersonal, membuat interaksi menjadi kurang bermakna dan mempengaruhi kualitas hubungan, di mana seseorang yang jauh menjadi dekat dan orang yang dekat terasa menjadi jauh.
Ketika seseorang merasa diabaikan, mereka dapat mengalami perasaan tidak dihargai dan frustrasi, yang pada akhirnya dapat merusak hubungan sosial dan emosional.
Selain itu, phubbing dapat mengurangi empati dan memperburuk keterampilan komunikasi tatap muka di kalangan remaja, yang sangat penting untuk perkembangan sosial dan emosional mereka.
Peneliti merekomendasikan agar pihak sekolah dan orang tua mengambil peran aktif dalam mengatasi masalah ini. Edukasi mengenai dampak negatif penggunaan smartphone yang berlebihan perlu diberikan kepada siswa.
Sekolah diharapkan bisa mengadakan penyuluhan dan program pendidikan mengenai penggunaan smartphone yang bijak. Selain itu, orang tua juga perlu mengawasi dan membatasi penggunaan smartphone di rumah.
Guru bimbingan dan konseling di sekolah memiliki peran penting dalam menangani perilaku phubbing. Layanan bimbingan dasar dapat digunakan untuk memberikan informasi dan pemahaman kepada siswa mengenai dampak negatif phubbing. Langkah preventif ini diharapkan dapat mengurangi munculnya perilaku phubbing di kalangan remaja.
Selain itu, program yang melibatkan aktivitas sosial dan fisik juga bisa menjadi solusi untuk mengurangi ketergantungan pada smartphone.
Kegiatan ekstrakurikuler seperti olahraga, seni, dan klub hobi dapat mendorong remaja untuk lebih berinteraksi secara langsung dan membangun keterampilan sosial yang penting.
Sebagai upaya jangka panjang, sekolah dan orang tua diharapkan bisa bekerja sama dalam menciptakan lingkungan yang mendukung penggunaan teknologi secara sehat dan bertanggung jawab.
Dengan demikian, dampak negatif dari penggunaan smartphone yang berlebihan bisa diminimalisir, dan kualitas interaksi sosial di kalangan remaja dapat ditingkatkan.
Penelitian ini menjadi peringatan bagi kita semua tentang pentingnya mengelola penggunaan teknologi, terutama di kalangan remaja yang masih berada dalam tahap pencarian jati diri.
Dengan pendekatan yang tepat, kita dapat membantu mereka untuk lebih bijak dalam menggunakan smartphone dan lebih menghargai interaksi sosial tatap muka.
Melalui kolaborasi antara sekolah, orang tua, dan masyarakat, kita dapat menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan positif bagi remaja.
Edukasi yang tepat, pengawasan yang bijaksana, dan pemberian alternatif kegiatan yang sehat adalah langkah-langkah penting untuk memastikan generasi muda tumbuh menjadi individu yang seimbang dan mampu menghadapi tantangan zaman digital dengan baik.(Penulis: Dosen Fakultas Keperawatan Universitas Andalas).***