Jakarta (ANTARA) - Awal pekan Ramadhan 1445 Hijriah, terasa amat sejuk di sebuah pondokan kayu berlorong panjang yang terletak persis di bibir anak sungai. Suara gemercik air sungai yang berada di bawah pondokan, berpadu dengan harmonisasi nada-nada burung-burung liar yang terbang bebas sembari sesekali hinggap di dahan-dahan pohon duku atau kecapi nan rindang.
Pepohonan rindang di sekitar pondokan sederhana tersebut, seolah memang sengaja didesain untuk memberikan kenyamanan bagi setiap orang yang ingin menikmati suguhan bentang alam Priangan di Desa Cibeber, Kecamatan Manonjaya, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat.
Sejurus kemudian dari balik rimbunnya pepohonan, muncul sesosok lelaki mengenakan kaus oblong berwarna ungu tua dengan topi rajutan bergaya fedora bertuliskan South Africa. Lelaki itu melangkah dengan derap kaki seperti ringannya kapas. Wajahnya cerah, mengguratkan ekspresi kegembiraan yang tak dapat ditutup-tutupi.
“Wah, hatur nuhun pisan. Terima kasih mau datang ke kampung ini, jauh-jauh dari Jakarta. Masih puasa?” buka sang lelaki dengan wajah semringah.
Lelaki tersebut terus menerus menebarkan senyum penuh kehangatan, meski sesungguhnya khalayak mengenalnya sebagai sosok yang amat garang dan tak kenal ampun ketika ia tengah berlaga di depan kamera.
Dia adalah Yayan Ruhian, seorang aktor seni peran yang namanya meroket sejak lebih dari satu dekade lalu berkat penampilan apik sebagai begundal di sejumlah film layar lebar.
Aktor seni peran Yayan Ruhian berperan di sejumlah film Hollywood seperti "Yakuza Apocalypse: The Great War Of The Underworld" (2015), "Star Wars: The Force Awakens" (2015), "Beyond Skyline" (2017), "John Wick: Chapter 3 Parabellum" (2019), dan "Skylines" (2020). (ANTARA/Syamsul Rizal)
Para pencinta sinema mengenalnya sebagai salah aktor yang turut mempopulerkan olahraga seni bela diri pencak silat lewat film hingga ke mancanegara bersama pesilat-aktor Iko Uwais dan Cecep Arif Rahman. Tiga nama tersebut --Yayan, Iko, dan Cecep, pernah beradu aksi dengan nama-nama beken Hollywood macam Harrison Ford dan Keanu Reeves.
Nama Yayan Ruhian mulai dikenal publik ketika dirinya memerankan sosok Eric di film “Merantau” (2009), kemudian tampil habis-habisan sebagai begundal brutal Mad Dog di “The Raid” (2011), serta menjadi Prakoso di “The Raid 2: Berandal (2014)”.
Selepas bermain bagus di tiga film tersebut, nama Yayan semakin tak terbendung dan wajahnya muncul di banyak film lokal, serta negara tetangga. Tak tanggung-tanggung, Yayan pun turut ambil peran di sejumlah film berkelas dunia seperti “Yakuza Apocalypse: The Great War Of The Underworld” (2015), “Star Wars: The Force Awakens” (2015), “Beyond Skyline” (2017), “John Wick: Chapter 3 Parabellum” (2019), dan “Skylines” (2020).
Terbaru, Yayan juga muncul sebagai karakter Moses dalam film “Who is Erin Carter?” (2023) dan seoranh guru bagi aktor Bill Skarsgard dalam film “Boy Kills World” (2024).
Totalitas
Di dalam setiap kesempatan wawancara, Yayan selalu menegaskan bahwa dirinya bukanlah siapa-siapa tanpa pencak silat. Bagi pria kelahiran 19 Oktober 1968 itu, ketekunan terhadap seni olahraga bela diri pencak silat telah membuka jalan amat lapang untuk mencoba peruntungan di dunia film.
Yayan mulai mempelajari seni bela diri pencak silat ketika dirinya berusia 13 tahun. Kala itu sekitar tahun 1981, kondisi Desa Cibeber yang menjadi kampung halaman Yayan tak seperti saat ini, masih minim listrik dengan kondisi jalanan yang tidak terawat baik.
“Jalanan belum seperti sekarang, bahkan kerbau atau sapi lewat saja masih memilih-milih jalan. Di kampung belum ada perguruan, jadi saya hanya fokus belajar silat. Setiap bertemu guru silat, kami mengobrol, zikir, dan harus mandi malam,” kata Yayan mulai membuka kisah masa kecilnya seraya duduk bersila di selasar pondokan. Pada masa itu, Yayan cilik terbiasa untuk
berguru silat setiap malam selepas salat Isya hingga pukul dua pagi. Lokasi rumah para guru pun tak bisa dibilang dekat dengan rumah Yayan sehingga butuh ekstra niat dan tenaga untuk memperdalam ilmu pencak silat.
“Bahkan ada salah satu guru saya yang rumahnya melewati banyak pematang sawah dan harus berjalan kaki setengah jam. Seru sekali,” ingat Yayan.
Ketika menginjak usia SMA, Yayan lantas bergabung dengan sebuah perguruan yang bernama Kateda Indonesia. Di perguruan itu, Yayan mempelajari cara mengolah pernapasan yang tidak hanya membuat tubuh bugar dan sehat, namun juga kuat terhadap segala benturan benda tumpul.
Dia masuk dalam lima besar pesilat yang lolos seleksi untuk naik tingkat ke sabuk cokelat alias menjadi asisten pelatih. Yayan pun diminta oleh gurunya agar ikut ke Jakarta untuk menjadi pelatih bela diri profesional.
Awalnya, Yayan masih merasa ragu karena dirinya masih memiliki hobi lain yaitu bermain sepak bola dan bulu tangkis di kampung. Terlebih, dirinya juga menjadi sosok andalan di dua ranah tersebut. Meski bertubuh kecil, Yayan mantap dipercaya sebagai seorang penjaga gawang bagi kesebelasan di kampungnya.
“Kalau kami ketemu lawan, mereka selalu bilang, ‘Ini kiper nggak ada yang lebih kecil lagi?’ Wah, dia cari penyakit. Pokoknya, lawan yang berbenturan dengan saya, pasti jatuh lebih dulu. Selalu ada teknik bela yang saya terapkan saat bermain sepak bola. Tangan saya memang menangkap bola, namun ulu hati lawan juga dapat. Tanpa membuat orang bengkak, saya bisa bikin orang pingsan,” kelakar Yayan.
Saat menginjak usia SMA itu pula, Yayan mulai berupaya hidup mandiri dengan menjaga warung milik sang paman, bekerja di pabrik konfeksi milik kakak, termasuk berjualan bakso keliling kampung.
“Kalau musim Rajab, ramai sekali di kampung. Sejak sore, saya sudah menjajakan bakso, terkadang jualan comro atau buah-buahan. Itu adalah cara saya menikmati masa remaja. Kalau ada kawan yang ajak main, saya bilang nggak bisa. Kalau tidak bekerja, maka saya tidak bisa mendapatkan uang untuk bayar sekolah,” papar dia.
Sebelum meninggalkan kampung halaman menuju ibu kota pada akhir tahun 1987 untuk menjadi pelatih profesional, Yayan sempat singgah di Bandung. Selama 4 bulan, dia mendapatkan pelatihan khusus dan berlatih sejak pukul 6 pagi hingga 11 malam.
“Materi latihan fisik sampai materi lilin meditasi. Semua saya lakukan dengan enjoy. Guru saya tidak pernah memaksakan materi tertentu, namun mereka tahu persis sekiranya saya tidak berlatih. Waktu itu, guru-guru saya adalah mahasiswa-mahasiswa yang masih sangat muda dan gaul banget,” ingat Yayan
Merantau untuk “Merantau”
Ketika menetap di Jakarta, Yayan habis-habisan menekuni aktivitas sebagai guru pencak silat. Seiring berjalan waktu, perguruan Kateda Indonesia pun berganti nama menjadi Perguruan Silat Tenaga Dasar (PSTD) Indonesia. Hal itu dilakukan, kata Yayan, untuk mendekatkan diri ke induk perguruan pencak silat Indonesia.
Satu dekade sejak menginjakkan kaki di ibu kota, Yayan menikahi gadis pujaan hatinya bernama Wawa Suwartini pada 27 November 1997. Dari pernikahan tersebut, kini pasangan Yayan-Wawa memiliki tiga orang anak yaitu Dzikriyawan Sukma Wiguna (24), Sidqin Sukma Maarij (21), dan Dhia Ruhita Syakilla (7).
Sepanjang waktu mengabdikan diri sebagai guru pencak silat, Yayan tidak pernah membayangkan sedetik pun bahwa pada akhirnya apa yang ia tekuni itu mengubah garis kehidupannya. Dari seorang master silat, Yayan lantas menjadi seorang aktor seni peran yang sukses menjejakkan kaki di Hollywood.
“Katakanlah kalau saya terjerumus ke posisi saya saat ini, mungkin orang-orang bilang enak, ya. Ini bukanlah sebuah cita-cita. Apapun yang saya dapat saat ini adalah sebuah hasil dari proses perjalanan yang terakumulasi. Begitu ditarik ke Jakarta, ya sudah saya total jadi guru pencak silat dengan segala suka duka,” Yayan membeberkan.
Dia masih mengingat pada masa awal berkarier sebagai guru di PSTD Indonesia, terdapat hanya sekitar 10 orang pelatih profesional. Seiring waktu, jumlah tersebut semakin menyusut hingga hanya menyisakan 3 sampai 5 orang pelatih yang datang dan pergi.
Keyakinan Yayan untuk menekuni profesi sebagai seorang pelatih pencak silat tetap sekuat karang. Keteguhan itu membuahkan hasil manis ketika dia bertemu dengan seorang pembuat film asal Welsh bernama Gareth Evans tengah membuat sebuah film dokumenter mengenai pencak silat.
Kelak, dokumenter yang memotret eksistensi jenis silat yang mulai langka yaitu silek (silat) harimau dari Minangkabau itulah yang menjadi cikal bakal film “Merantau”. Menurut Yayan, Gareth secara sistematis dan jeli berhasil memperkenalkan budaya merantau Minangkabau dengan jenis pencak silat yang bisa dikatakan cukup langka. “Itulah
film silat yang betul-betul ditata oleh para pesilat sendiri. Kalau saja ‘Merantau’ pelakunya bukan Iko Uwais atau siapa pun, maka film itu tidak akan dianggap berbeda karena jauh sebelum itu, banyak film yang dibungkus kata silat namun secara nyawa dan rasa mungkin tidak ada, karena pelakunya bukan seorang pesilat,” terang dia.
Awalnya, Yayan hanya terlibat sebagai tim koreografi fighting untuk “Merantau”. Gareth, kenang Yayan, kemudian meminta dirinya untuk mengikuti test camera yang juga melibatkan Iko Uwais dan beberapa orang lainnya.
Saat itu, sudah ada 6 orang untuk lawan main sang aktor, sementara Gareth masih berupaya mencari pemain ke-7 bernama Eric yang memiliki tubuh besar dengan kemampuan silat seimbang.
“Saat itu dari orang-orang yang direkrut belum cocok. Gareth minta spesifik sekali orang yang harus pintar akting, drama, dan jago berantem. Saya di-casting, esoknya dikasih tahu bahwa saya dapatkan karakter Eric. Saya bilang, ‘Nggak salah?’ Saya nggak punya dasar drama dan hanya kenal sedikit pencak silat,” kata Yayan mengenang masa lalu.
Semenjak mendapatkan kepercayaan itu, Yayan lalu mengambil sikap layaknya gelas kosong yang senantiasa bisa diisi dengan air ilmu pengetahuan baru. Perumpamaan lain, dirinya beranggapan bahwa dirinya adalah wayang yang harus bisa mendefinisikan keinginan sutradara sebagai pengatur lakon dengan baik.
“Saya selalu berusaha mendengarkan apa yang sutradara inginkan dari karakter saya. Meski saya bisa menjadi sangat sangar atau brutal ketika memerankan karakter tertentu, namun ada satu proses yang masih sangat sulit untuk saya lakukan sampai saat ini yaitu tersenyum. Wah, petaka sekali kalau sudah disuruh akting tersenyum karena kalau saya senyum, tetap saja sangar,” tawa Yayan membuncah.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Yayan Ruhian: Tahu diri lebih penting ketimbang bela diri (Bagian 1)
Pepohonan rindang di sekitar pondokan sederhana tersebut, seolah memang sengaja didesain untuk memberikan kenyamanan bagi setiap orang yang ingin menikmati suguhan bentang alam Priangan di Desa Cibeber, Kecamatan Manonjaya, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat.
Sejurus kemudian dari balik rimbunnya pepohonan, muncul sesosok lelaki mengenakan kaus oblong berwarna ungu tua dengan topi rajutan bergaya fedora bertuliskan South Africa. Lelaki itu melangkah dengan derap kaki seperti ringannya kapas. Wajahnya cerah, mengguratkan ekspresi kegembiraan yang tak dapat ditutup-tutupi.
“Wah, hatur nuhun pisan. Terima kasih mau datang ke kampung ini, jauh-jauh dari Jakarta. Masih puasa?” buka sang lelaki dengan wajah semringah.
Lelaki tersebut terus menerus menebarkan senyum penuh kehangatan, meski sesungguhnya khalayak mengenalnya sebagai sosok yang amat garang dan tak kenal ampun ketika ia tengah berlaga di depan kamera.
Dia adalah Yayan Ruhian, seorang aktor seni peran yang namanya meroket sejak lebih dari satu dekade lalu berkat penampilan apik sebagai begundal di sejumlah film layar lebar.
Aktor seni peran Yayan Ruhian berperan di sejumlah film Hollywood seperti "Yakuza Apocalypse: The Great War Of The Underworld" (2015), "Star Wars: The Force Awakens" (2015), "Beyond Skyline" (2017), "John Wick: Chapter 3 Parabellum" (2019), dan "Skylines" (2020). (ANTARA/Syamsul Rizal)
Para pencinta sinema mengenalnya sebagai salah aktor yang turut mempopulerkan olahraga seni bela diri pencak silat lewat film hingga ke mancanegara bersama pesilat-aktor Iko Uwais dan Cecep Arif Rahman. Tiga nama tersebut --Yayan, Iko, dan Cecep, pernah beradu aksi dengan nama-nama beken Hollywood macam Harrison Ford dan Keanu Reeves.
Nama Yayan Ruhian mulai dikenal publik ketika dirinya memerankan sosok Eric di film “Merantau” (2009), kemudian tampil habis-habisan sebagai begundal brutal Mad Dog di “The Raid” (2011), serta menjadi Prakoso di “The Raid 2: Berandal (2014)”.
Selepas bermain bagus di tiga film tersebut, nama Yayan semakin tak terbendung dan wajahnya muncul di banyak film lokal, serta negara tetangga. Tak tanggung-tanggung, Yayan pun turut ambil peran di sejumlah film berkelas dunia seperti “Yakuza Apocalypse: The Great War Of The Underworld” (2015), “Star Wars: The Force Awakens” (2015), “Beyond Skyline” (2017), “John Wick: Chapter 3 Parabellum” (2019), dan “Skylines” (2020).
Terbaru, Yayan juga muncul sebagai karakter Moses dalam film “Who is Erin Carter?” (2023) dan seoranh guru bagi aktor Bill Skarsgard dalam film “Boy Kills World” (2024).
Totalitas
Di dalam setiap kesempatan wawancara, Yayan selalu menegaskan bahwa dirinya bukanlah siapa-siapa tanpa pencak silat. Bagi pria kelahiran 19 Oktober 1968 itu, ketekunan terhadap seni olahraga bela diri pencak silat telah membuka jalan amat lapang untuk mencoba peruntungan di dunia film.
Yayan mulai mempelajari seni bela diri pencak silat ketika dirinya berusia 13 tahun. Kala itu sekitar tahun 1981, kondisi Desa Cibeber yang menjadi kampung halaman Yayan tak seperti saat ini, masih minim listrik dengan kondisi jalanan yang tidak terawat baik.
“Jalanan belum seperti sekarang, bahkan kerbau atau sapi lewat saja masih memilih-milih jalan. Di kampung belum ada perguruan, jadi saya hanya fokus belajar silat. Setiap bertemu guru silat, kami mengobrol, zikir, dan harus mandi malam,” kata Yayan mulai membuka kisah masa kecilnya seraya duduk bersila di selasar pondokan. Pada masa itu, Yayan cilik terbiasa untuk
berguru silat setiap malam selepas salat Isya hingga pukul dua pagi. Lokasi rumah para guru pun tak bisa dibilang dekat dengan rumah Yayan sehingga butuh ekstra niat dan tenaga untuk memperdalam ilmu pencak silat.
“Bahkan ada salah satu guru saya yang rumahnya melewati banyak pematang sawah dan harus berjalan kaki setengah jam. Seru sekali,” ingat Yayan.
Ketika menginjak usia SMA, Yayan lantas bergabung dengan sebuah perguruan yang bernama Kateda Indonesia. Di perguruan itu, Yayan mempelajari cara mengolah pernapasan yang tidak hanya membuat tubuh bugar dan sehat, namun juga kuat terhadap segala benturan benda tumpul.
Dia masuk dalam lima besar pesilat yang lolos seleksi untuk naik tingkat ke sabuk cokelat alias menjadi asisten pelatih. Yayan pun diminta oleh gurunya agar ikut ke Jakarta untuk menjadi pelatih bela diri profesional.
Awalnya, Yayan masih merasa ragu karena dirinya masih memiliki hobi lain yaitu bermain sepak bola dan bulu tangkis di kampung. Terlebih, dirinya juga menjadi sosok andalan di dua ranah tersebut. Meski bertubuh kecil, Yayan mantap dipercaya sebagai seorang penjaga gawang bagi kesebelasan di kampungnya.
“Kalau kami ketemu lawan, mereka selalu bilang, ‘Ini kiper nggak ada yang lebih kecil lagi?’ Wah, dia cari penyakit. Pokoknya, lawan yang berbenturan dengan saya, pasti jatuh lebih dulu. Selalu ada teknik bela yang saya terapkan saat bermain sepak bola. Tangan saya memang menangkap bola, namun ulu hati lawan juga dapat. Tanpa membuat orang bengkak, saya bisa bikin orang pingsan,” kelakar Yayan.
Saat menginjak usia SMA itu pula, Yayan mulai berupaya hidup mandiri dengan menjaga warung milik sang paman, bekerja di pabrik konfeksi milik kakak, termasuk berjualan bakso keliling kampung.
“Kalau musim Rajab, ramai sekali di kampung. Sejak sore, saya sudah menjajakan bakso, terkadang jualan comro atau buah-buahan. Itu adalah cara saya menikmati masa remaja. Kalau ada kawan yang ajak main, saya bilang nggak bisa. Kalau tidak bekerja, maka saya tidak bisa mendapatkan uang untuk bayar sekolah,” papar dia.
Sebelum meninggalkan kampung halaman menuju ibu kota pada akhir tahun 1987 untuk menjadi pelatih profesional, Yayan sempat singgah di Bandung. Selama 4 bulan, dia mendapatkan pelatihan khusus dan berlatih sejak pukul 6 pagi hingga 11 malam.
“Materi latihan fisik sampai materi lilin meditasi. Semua saya lakukan dengan enjoy. Guru saya tidak pernah memaksakan materi tertentu, namun mereka tahu persis sekiranya saya tidak berlatih. Waktu itu, guru-guru saya adalah mahasiswa-mahasiswa yang masih sangat muda dan gaul banget,” ingat Yayan
Merantau untuk “Merantau”
Ketika menetap di Jakarta, Yayan habis-habisan menekuni aktivitas sebagai guru pencak silat. Seiring berjalan waktu, perguruan Kateda Indonesia pun berganti nama menjadi Perguruan Silat Tenaga Dasar (PSTD) Indonesia. Hal itu dilakukan, kata Yayan, untuk mendekatkan diri ke induk perguruan pencak silat Indonesia.
Satu dekade sejak menginjakkan kaki di ibu kota, Yayan menikahi gadis pujaan hatinya bernama Wawa Suwartini pada 27 November 1997. Dari pernikahan tersebut, kini pasangan Yayan-Wawa memiliki tiga orang anak yaitu Dzikriyawan Sukma Wiguna (24), Sidqin Sukma Maarij (21), dan Dhia Ruhita Syakilla (7).
Sepanjang waktu mengabdikan diri sebagai guru pencak silat, Yayan tidak pernah membayangkan sedetik pun bahwa pada akhirnya apa yang ia tekuni itu mengubah garis kehidupannya. Dari seorang master silat, Yayan lantas menjadi seorang aktor seni peran yang sukses menjejakkan kaki di Hollywood.
“Katakanlah kalau saya terjerumus ke posisi saya saat ini, mungkin orang-orang bilang enak, ya. Ini bukanlah sebuah cita-cita. Apapun yang saya dapat saat ini adalah sebuah hasil dari proses perjalanan yang terakumulasi. Begitu ditarik ke Jakarta, ya sudah saya total jadi guru pencak silat dengan segala suka duka,” Yayan membeberkan.
Dia masih mengingat pada masa awal berkarier sebagai guru di PSTD Indonesia, terdapat hanya sekitar 10 orang pelatih profesional. Seiring waktu, jumlah tersebut semakin menyusut hingga hanya menyisakan 3 sampai 5 orang pelatih yang datang dan pergi.
Keyakinan Yayan untuk menekuni profesi sebagai seorang pelatih pencak silat tetap sekuat karang. Keteguhan itu membuahkan hasil manis ketika dia bertemu dengan seorang pembuat film asal Welsh bernama Gareth Evans tengah membuat sebuah film dokumenter mengenai pencak silat.
Kelak, dokumenter yang memotret eksistensi jenis silat yang mulai langka yaitu silek (silat) harimau dari Minangkabau itulah yang menjadi cikal bakal film “Merantau”. Menurut Yayan, Gareth secara sistematis dan jeli berhasil memperkenalkan budaya merantau Minangkabau dengan jenis pencak silat yang bisa dikatakan cukup langka. “Itulah
film silat yang betul-betul ditata oleh para pesilat sendiri. Kalau saja ‘Merantau’ pelakunya bukan Iko Uwais atau siapa pun, maka film itu tidak akan dianggap berbeda karena jauh sebelum itu, banyak film yang dibungkus kata silat namun secara nyawa dan rasa mungkin tidak ada, karena pelakunya bukan seorang pesilat,” terang dia.
Awalnya, Yayan hanya terlibat sebagai tim koreografi fighting untuk “Merantau”. Gareth, kenang Yayan, kemudian meminta dirinya untuk mengikuti test camera yang juga melibatkan Iko Uwais dan beberapa orang lainnya.
Saat itu, sudah ada 6 orang untuk lawan main sang aktor, sementara Gareth masih berupaya mencari pemain ke-7 bernama Eric yang memiliki tubuh besar dengan kemampuan silat seimbang.
“Saat itu dari orang-orang yang direkrut belum cocok. Gareth minta spesifik sekali orang yang harus pintar akting, drama, dan jago berantem. Saya di-casting, esoknya dikasih tahu bahwa saya dapatkan karakter Eric. Saya bilang, ‘Nggak salah?’ Saya nggak punya dasar drama dan hanya kenal sedikit pencak silat,” kata Yayan mengenang masa lalu.
Semenjak mendapatkan kepercayaan itu, Yayan lalu mengambil sikap layaknya gelas kosong yang senantiasa bisa diisi dengan air ilmu pengetahuan baru. Perumpamaan lain, dirinya beranggapan bahwa dirinya adalah wayang yang harus bisa mendefinisikan keinginan sutradara sebagai pengatur lakon dengan baik.
“Saya selalu berusaha mendengarkan apa yang sutradara inginkan dari karakter saya. Meski saya bisa menjadi sangat sangar atau brutal ketika memerankan karakter tertentu, namun ada satu proses yang masih sangat sulit untuk saya lakukan sampai saat ini yaitu tersenyum. Wah, petaka sekali kalau sudah disuruh akting tersenyum karena kalau saya senyum, tetap saja sangar,” tawa Yayan membuncah.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Yayan Ruhian: Tahu diri lebih penting ketimbang bela diri (Bagian 1)