Padang (ANTARA) - Pemerintah Provinsi Sumatra Barat (Sumbar) menjelaskan alasan hingga kini belum menerapkan kebijakan penangkapan ikan terukur yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2023 kepada nelayan setempat.
"Selama beberapa tahun terakhir, Sumbar tidak pernah mengenakan pungutan atau pajak kepada nelayan. Sebab, hingga kini juga belum ada payung hukumnya (peraturan daerah)," kata Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Sumbar Dr Reti Wafda di Padang, Rabu.
Reti menegaskan peraturan daerah tersebut dibutuhkan untuk memberi kepastian kepada nelayan berapa besaran penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang harus dipungut.
"Jadi, kita tidak bisa asal mengutip dari nelayan harus ada dasar hukumnya," ujar dia menegaskan.
Saat ini pemerintah setempat khususnya DKP Sumbar sedang mengkaji naskah akademis peraturan daerah mengenai PNBP kepada nelayan. Harapannya, pada tahun 2024 sudah bisa diusulkan dan dibahas oleh DPRD setempat.
Ia menjelaskan sebelum terbitnya PP Nomor 11 Tahun 2023, kapal dengan bobot maksimal 30 gross tonnage (GT) bebas berlayar di bawah maupun di atas 12 mil, dan menjadi kewenangan pemerintah provinsi.
Namun, setelah keluarnya kebijakan penangkapan ikan terukur, kapal ukuran di bawah enam GT dan berlayar di atas 12 mil maka perizinannya wajib pindah ke pusat.
"Yang dikeluhkan nelayan, kalau harus pindah izin ke pusat mereka harus mengulang lagi perizinan, dan itu memakan waktu sehingga menyulitkan nelayan," ujarnya.
Di satu sisi, Reti tidak menampik saat ini banyak nelayan terpaksa berlayar melewati radius 12 mil dari bibir pantai. Sebab, jika hanya berlayar di bawah 12 mil, para nelayan tradisional mengaku kesulitan mendapatkan ikan.
"Rata-rata nelayan di Sumbar itu berlayar melewati 12 mil. Sebab, di bawah 12 mil itu produksi ikan sudah sangat terbatas," jelas dia.
"Selama beberapa tahun terakhir, Sumbar tidak pernah mengenakan pungutan atau pajak kepada nelayan. Sebab, hingga kini juga belum ada payung hukumnya (peraturan daerah)," kata Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Sumbar Dr Reti Wafda di Padang, Rabu.
Reti menegaskan peraturan daerah tersebut dibutuhkan untuk memberi kepastian kepada nelayan berapa besaran penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang harus dipungut.
"Jadi, kita tidak bisa asal mengutip dari nelayan harus ada dasar hukumnya," ujar dia menegaskan.
Saat ini pemerintah setempat khususnya DKP Sumbar sedang mengkaji naskah akademis peraturan daerah mengenai PNBP kepada nelayan. Harapannya, pada tahun 2024 sudah bisa diusulkan dan dibahas oleh DPRD setempat.
Ia menjelaskan sebelum terbitnya PP Nomor 11 Tahun 2023, kapal dengan bobot maksimal 30 gross tonnage (GT) bebas berlayar di bawah maupun di atas 12 mil, dan menjadi kewenangan pemerintah provinsi.
Namun, setelah keluarnya kebijakan penangkapan ikan terukur, kapal ukuran di bawah enam GT dan berlayar di atas 12 mil maka perizinannya wajib pindah ke pusat.
"Yang dikeluhkan nelayan, kalau harus pindah izin ke pusat mereka harus mengulang lagi perizinan, dan itu memakan waktu sehingga menyulitkan nelayan," ujarnya.
Di satu sisi, Reti tidak menampik saat ini banyak nelayan terpaksa berlayar melewati radius 12 mil dari bibir pantai. Sebab, jika hanya berlayar di bawah 12 mil, para nelayan tradisional mengaku kesulitan mendapatkan ikan.
"Rata-rata nelayan di Sumbar itu berlayar melewati 12 mil. Sebab, di bawah 12 mil itu produksi ikan sudah sangat terbatas," jelas dia.