Padang (ANTARA) - Anggota Ombudsman RI Hery Susanto menyoroti potensi terjadinya maladministrasi pada kebijakan utilitas telekomunikasi di Kota Surabaya khususnya aturan sewa lahan penggelaran jaringan.
Dalam seminar bertajuk "Pengelolaan Infrastruktur Telekomunikasi yang Menunjang Smart City dan Pelayanan Publik" anggota Ombudsman RI Hery Susanto menyoroti potensi terjadinya maladministrasi pada kebijakan utilitas telekomunikasi di Kota Surabaya.
Langkah kebijakan yang dilakukan Pemerintah Surabaya yang mengenakan sewa atas pinggir jalan yang digunakan untuk penggelaran kabel telekomunikasi berpotensi menimbulkan maladministrasi.
"Kami melihat adanya potensi maladministrasi terhadap kebijakan pembangunan utilitasnya," kata dia melalui keterangan tertulisnya yang diterima di Padang, Selasa.
Oleh karena itu pihaknya menyarankan Pemerintah Kota Surabaya mengevaluasi kebijakan Perda Kota Surabaya Nomor 5/2017 tentang Penyelenggaraan Jaringan Utilitas dan Perwali Kota Surabaya Nomor 1/2022 tentang Formula Tarif Sewa Barang Milik Daerah Berupa Tanah dan/atau Bangunan. Dua regulasi tersebut dinilai menghambat Kota Surabaya menjadi smart city.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Kolegium Jurist Institute Dr. Ahmad Redi menilai pemerintah daerah Surabaya yang menerapkan sewa terhadap penggelaran infrastruktur jaringan telekomunikasi yang tergelar di pinggir jalan berpotensi menimbulkan maladministrasi.
Jika merujuk Pasal 28F UUD 1945, negara menjamin hak masyarakat untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi. Hak masyarakat tersebut diperkuat dalam UU 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi Pasal 12 UU 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi memberikan dasar hukum bagi jaringan telekomunikasi untuk memanfaatkan atau melintasi tanah negara, bangunan milik atau dikuasai pemerintah.
Selain itu, dalam UU Nomor 2 Tahun 2022 tentang Jalan diatur bahwa setiap jalan harus memiliki bagian-bagian jalan yang merupakan ruang yang digunakan untuk mobilitas, konstruksi jalan, keperluan peningkatan kapasitas jalan, dan keselamatan bagi pengguna jalan.
"Dalam UU Jalan, jalur jaringan utilitas terpadu sudah menjadi kewajiban pemerintah. Baik itu pemerintah pusat atau daerah pada saat membangun jalan," kata dia.
Sehingga, lanjutnya, apa yang dilakukan Pemerintah Kota Surabaya yang mengenakan sewa atas pinggir jalan ini bertentangan dengan UU. Dampaknya menimbulkan ketidakpastian hukum yang berdampak pada terganggunya kegiatan usaha dan pelayanan kepada masyarakat.
Berdasarkan UU 25 Tahun 2009 Pasal 5 tentang Pelayanan Publik, Redi menjelaskan bahwa kabel telekomunikasi (komunikasi dan Informasi), air, listrik merupakan bagian dari barang milik publik.
Tujuannya agar harga barang/jasa di masyarakat lebih murah. Konsekuensi jaringan telekomunikasi yang merupakan bagian barang milik publik, menurut Redi, sudah seharusnya pemerintah baik di pusat maupun di daerah harusnya memberikan privilege khusus terhadap sektor telekomunikasi.
Dalam seminar bertajuk "Pengelolaan Infrastruktur Telekomunikasi yang Menunjang Smart City dan Pelayanan Publik" anggota Ombudsman RI Hery Susanto menyoroti potensi terjadinya maladministrasi pada kebijakan utilitas telekomunikasi di Kota Surabaya.
Langkah kebijakan yang dilakukan Pemerintah Surabaya yang mengenakan sewa atas pinggir jalan yang digunakan untuk penggelaran kabel telekomunikasi berpotensi menimbulkan maladministrasi.
"Kami melihat adanya potensi maladministrasi terhadap kebijakan pembangunan utilitasnya," kata dia melalui keterangan tertulisnya yang diterima di Padang, Selasa.
Oleh karena itu pihaknya menyarankan Pemerintah Kota Surabaya mengevaluasi kebijakan Perda Kota Surabaya Nomor 5/2017 tentang Penyelenggaraan Jaringan Utilitas dan Perwali Kota Surabaya Nomor 1/2022 tentang Formula Tarif Sewa Barang Milik Daerah Berupa Tanah dan/atau Bangunan. Dua regulasi tersebut dinilai menghambat Kota Surabaya menjadi smart city.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Kolegium Jurist Institute Dr. Ahmad Redi menilai pemerintah daerah Surabaya yang menerapkan sewa terhadap penggelaran infrastruktur jaringan telekomunikasi yang tergelar di pinggir jalan berpotensi menimbulkan maladministrasi.
Jika merujuk Pasal 28F UUD 1945, negara menjamin hak masyarakat untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi. Hak masyarakat tersebut diperkuat dalam UU 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi Pasal 12 UU 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi memberikan dasar hukum bagi jaringan telekomunikasi untuk memanfaatkan atau melintasi tanah negara, bangunan milik atau dikuasai pemerintah.
Selain itu, dalam UU Nomor 2 Tahun 2022 tentang Jalan diatur bahwa setiap jalan harus memiliki bagian-bagian jalan yang merupakan ruang yang digunakan untuk mobilitas, konstruksi jalan, keperluan peningkatan kapasitas jalan, dan keselamatan bagi pengguna jalan.
"Dalam UU Jalan, jalur jaringan utilitas terpadu sudah menjadi kewajiban pemerintah. Baik itu pemerintah pusat atau daerah pada saat membangun jalan," kata dia.
Sehingga, lanjutnya, apa yang dilakukan Pemerintah Kota Surabaya yang mengenakan sewa atas pinggir jalan ini bertentangan dengan UU. Dampaknya menimbulkan ketidakpastian hukum yang berdampak pada terganggunya kegiatan usaha dan pelayanan kepada masyarakat.
Berdasarkan UU 25 Tahun 2009 Pasal 5 tentang Pelayanan Publik, Redi menjelaskan bahwa kabel telekomunikasi (komunikasi dan Informasi), air, listrik merupakan bagian dari barang milik publik.
Tujuannya agar harga barang/jasa di masyarakat lebih murah. Konsekuensi jaringan telekomunikasi yang merupakan bagian barang milik publik, menurut Redi, sudah seharusnya pemerintah baik di pusat maupun di daerah harusnya memberikan privilege khusus terhadap sektor telekomunikasi.