​​​​​​​Bukittinggi (ANTARA) -
Mahasiswa Universitas Fort De Kock Kota Bukittinggi, Sumatera Barat mengungkap keresahan mereka terkait adanya rencana dari pihak Yayasan untuk memindahkan kampus ke luar kota.
 
Hal itu disampaikan dalam jumpa wartawan, Rabu, yang juga memberikan keterangan terkait alasan tidak memenuhi undangan dari Pemkot setempat tentang tuntutan yang sebelumnya disampaikan dalam aksi demonstrasi.
 
"Karena kami ketahui, tidak diserahkan juga Sertipikat oleh Wali Kota Bukittinggi, maka Yayasan berkeinginan untuk memindahkan kampus ke luar Kota Bukittinggi, yang berdampak terhadap kenyamanan dan ketentraman kami belajar di kampus," kata Akbar Miftahul Rizki, Presiden BEM Universitas Fort De Kock, 
 
Ia mengatakan saat ini Universitas memiliki keterbatasan ruang belajar yang diharapkan dengan selesainya permasalahan tanah antara pihak Yayasan dengan Pemkot Bukittinggi, mampu menambah ruang.
 
"Tempat untuk belajar selalu menjadi gangguan dan persoalan saat ini, sertifikat tanah yang belum diberikan ke Yayasan diyakini menghambat pembangunan penambahan ruang belajar di prodi baru, ada sekitar tiga prodi baru yang segera diluncurkan," kata dia.
 
Ia menegaskan mahasiswa umumnya menolak rencana pemindahan kampus ke Kabupaten Agam yang nantinya juga berdampak kepada faktor ekonomi warga di sekitar kampus saat ini.
 
"Bahwa sesungguhnya Dewan Pembina Yayasan Fort De Kock sudah melarang kami untuk melakukan segala aksi dan reaksi, karena Dewan Pembina masih memiliki energi untuk menghadapi ini semua, namun kami selaku mahasiswa memiliki peran sosial kontrol untuk itu," katanya.
 
Menurutnya permasalahan itu sudah menjadi ranah kepentingan mahasiswa dan masyarakat banyak.
 
"Sebab kami hanya terdampak, kami telah sepakat untuk menolak kepindahan kampus Universitas Fort De Kock ke Agam, dan mendesak Yayasan Fort De Kock agar segera penambahan fasilitas Gedung belajar, jika terhalangnya pembangunan ini karena sertipikat belum dikuasai oleh Yayasan kami, maka secara jelas kami ikut merasakan dampaknya," kata dia.
 
Menurutnya, mahasiswa tidak memenuhi undangan dari Pemkot Bukittinggi untuk berdialog karena hanya meminta bertemu langsung dengan Wali Kota agar segera menyerahkan Sertipikat yang sudah menjadi hak milik Yayasan Fort De Kock.
 
"Sekiranya Pemkot mau berdialog, kiranya pihak Pemkot tersebut mengundang Yayasan Fort De Kock itu sendiri, yang sudah terang benderang yang menggugat Pemkot, bukan kami mahasiswa," kata dia.
 
Ia juga menjawab alasan Pemkot yang menyatakan tidak bisa serta merta menyerahkan sertipikat tersebut karena ada masalah hukum.
 
"Setahu kami masalah hukum sudah final dan sudah berkekuatan hukum tetap, dimana dari uji hasil dua proses perikatan jual beli yang ada, yang diakui oleh pengadilan adalah jual beli antara Syafri ST Pangeran selaku pemilik tanah dengan Yayasan Fort De Kock, yaitu dengan keluarnya keputusan Mahkamah Agung Nomor : 2108 K/Pdt/2022 yang sudah dieksekusi oleh Pengadilan Negeri Bukittinggi pada 14 Oktober 2022," katanya menjelaskan.
 
Sebelumnya, Pemkot Bukittinggi telah mengundang perwakilan mahasiswa untuk berdialog sebagai respon terkait demonstrasi yang dilakukan.
 
"Kami kecewa juga, sebelumnya rekan mahasiswa berdemo menuntut dipertemukan dengan Wali Kota, setelah dijadwalkan dan diundang, ternyata mereka membatalkan," kata Sekretaris Daerah Kota (Sekdako) Bukittinggi, Martias Wanto.
 
Ia mengatakan sertifikat tanah yang dibeli Pemkot sejak 2007 bernomor 655 itu tidak bisa diberikan begitu saja kepada pihak manapun sesuai permintaan mahasiswa saat berdemo pada Rabu (05/07) lalu, karena bertentangan dengan hukum.
 
"Sama artinya dengan menyerahkan aset pemerintah, ini tidak dibenarkan, Pemkot Bukittinggi tidak memiliki hubungan langsung dengan Fort De Kock karena sama-sama berstatus pembeli dari penjual atas nama Syafri Sutan Pangeran," kata dia.
 
Ia menjelaskan permasalahan ini sudah diekspos ke BPK dan KPK dan memang tidak diarahkan untuk memberikan sertifikat tanah.

Pewarta : Alfatah
Editor : Siri Antoni
Copyright © ANTARA 2024