Jakarta (ANTARA) - Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) membina sebanyak 118 sekolah adat yang tersebar dari Sabang sampai Merauke demi menciptakan kesetaraan dan kesempatan pendidikan di Indonesia.
“Kemendikbudristek terus berupaya memberikan layanan pendidikan kepada semua anak bangsa tanpa terkecuali termasuk untuk anak-anak masyarakat adat,” kata Direktur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat Kemendikbudristek Sjamsul Hadi di Jakarta, Selasa.
Pendirian sekolah adat bertujuan untuk menyediakan sarana belajar budaya yang vital dan berkelanjutan sehingga menjadi tempat mengembangkan kemampuan dan kapasitas pelaku atau pengelola pemajuan kebudayaan.
Upaya ini sekaligus merupakan wadah mengoptimalkan ruang publik menjadi ruang interaksi budaya sehingga budaya masyarakat tetap terjaga.
Sebanyak 21 anak dari tiga sekolah adat di Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur; Banyuwangi, Jawa Timur; dan Jambi pun menjadi peserta upacara peringatan Hardiknas 2023 yang berlangsung di kantor Kemendikbudristek, Jakarta.
Sjamsul menuturkan pembelajaran yang dijalankan di sekolah adat sebagai salah satu pendidikan alternatif bagi masyarakat adat pada kenyataannya sejalan dengan prinsip Kurikulum Merdeka.
“Dukungan yang sudah kami berikan bagi sekolah adat antara lain penyusunan kurikulum kontekstual bagi sekolah adat yang bekerja sama dengan Pusat Kurikulum dan Pembelajaran Kemendikbudristek,” ujarnya.
Kehadiran sekolah adat ini pun direspons dengan baik oleh anak-anak masyarakat adat, seperti Herman yang merupakan anak sekolah adat Sekola Sumba yang mengaku senang karena mendapatkan pelajaran menganyam dan menenun.
Herman yang bergabung di Sekola Sumba sejak 2019 tersebut sempat mengenyam pendidikan formal hingga kelas 2 SMP, namun jarang masuk sekolah karena kehidupan sehari-harinya juga membantu pekerjaan orang tua.
“Saya senang bersekolah di sekolah adat. Kami ingin belajar supaya pintar jadi kami ikut belajar sama Pak Guru,” kata Herman.
Kisah Herman berbeda dengan Nisa yaitu anak Sekolah Adat Pesinauan Osing, Banyuwangi, Jawa Timur, karena menjalani dua jenis pendidikan sekaligus yakni pendidikan formal di SMK dan sekolah adat.
Pemilik nama lengkap Shoula Nisa Lailatus Syiam yang kini menjadi siswi kelas X di SMKN 1 Banyuwangi bercerita bahwa ia ingin masuk Sekolah Adat Pesinauan Osing karena ingin mengetahui lebih dalam tentang adat desa Kemiren, Banyuwangi.
Menariknya, Nisa ternyata juga menjadi guru di Sekolah Adat Pesinauan Osing dengan mengajarkan tari tradisional kepada anak-anak sekolah adat tersebut yang selaras dengan jurusannya di SMK yakni Seni Tari.
Pada Senin hingga Jumat, Nisa biasanya bersekolah di SMKN 1 Banyuwangi lalu pergi ke sekolah adat pada hari Ahad atau hari libur lain.
"Kalau di sekolah adat saya sebagai mentor tari. Saya ajarkan anak-anak mulai dari olah tubuh lalu olah rasa,” ujarnya,"
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Kemendikbud bina 118 sekolah adat untuk ciptakan kesetaraan pendidikan
“Kemendikbudristek terus berupaya memberikan layanan pendidikan kepada semua anak bangsa tanpa terkecuali termasuk untuk anak-anak masyarakat adat,” kata Direktur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat Kemendikbudristek Sjamsul Hadi di Jakarta, Selasa.
Pendirian sekolah adat bertujuan untuk menyediakan sarana belajar budaya yang vital dan berkelanjutan sehingga menjadi tempat mengembangkan kemampuan dan kapasitas pelaku atau pengelola pemajuan kebudayaan.
Upaya ini sekaligus merupakan wadah mengoptimalkan ruang publik menjadi ruang interaksi budaya sehingga budaya masyarakat tetap terjaga.
Sebanyak 21 anak dari tiga sekolah adat di Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur; Banyuwangi, Jawa Timur; dan Jambi pun menjadi peserta upacara peringatan Hardiknas 2023 yang berlangsung di kantor Kemendikbudristek, Jakarta.
Sjamsul menuturkan pembelajaran yang dijalankan di sekolah adat sebagai salah satu pendidikan alternatif bagi masyarakat adat pada kenyataannya sejalan dengan prinsip Kurikulum Merdeka.
“Dukungan yang sudah kami berikan bagi sekolah adat antara lain penyusunan kurikulum kontekstual bagi sekolah adat yang bekerja sama dengan Pusat Kurikulum dan Pembelajaran Kemendikbudristek,” ujarnya.
Kehadiran sekolah adat ini pun direspons dengan baik oleh anak-anak masyarakat adat, seperti Herman yang merupakan anak sekolah adat Sekola Sumba yang mengaku senang karena mendapatkan pelajaran menganyam dan menenun.
Herman yang bergabung di Sekola Sumba sejak 2019 tersebut sempat mengenyam pendidikan formal hingga kelas 2 SMP, namun jarang masuk sekolah karena kehidupan sehari-harinya juga membantu pekerjaan orang tua.
“Saya senang bersekolah di sekolah adat. Kami ingin belajar supaya pintar jadi kami ikut belajar sama Pak Guru,” kata Herman.
Kisah Herman berbeda dengan Nisa yaitu anak Sekolah Adat Pesinauan Osing, Banyuwangi, Jawa Timur, karena menjalani dua jenis pendidikan sekaligus yakni pendidikan formal di SMK dan sekolah adat.
Pemilik nama lengkap Shoula Nisa Lailatus Syiam yang kini menjadi siswi kelas X di SMKN 1 Banyuwangi bercerita bahwa ia ingin masuk Sekolah Adat Pesinauan Osing karena ingin mengetahui lebih dalam tentang adat desa Kemiren, Banyuwangi.
Menariknya, Nisa ternyata juga menjadi guru di Sekolah Adat Pesinauan Osing dengan mengajarkan tari tradisional kepada anak-anak sekolah adat tersebut yang selaras dengan jurusannya di SMK yakni Seni Tari.
Pada Senin hingga Jumat, Nisa biasanya bersekolah di SMKN 1 Banyuwangi lalu pergi ke sekolah adat pada hari Ahad atau hari libur lain.
"Kalau di sekolah adat saya sebagai mentor tari. Saya ajarkan anak-anak mulai dari olah tubuh lalu olah rasa,” ujarnya,"
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Kemendikbud bina 118 sekolah adat untuk ciptakan kesetaraan pendidikan