Padang (ANTARA) - Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Sumatera Barat Khairul Fahmi menilai sikap Presiden Joko Widodo yang menolak pemeriksaan hakim Mahkamah Konstitusi terkait pengubahan putusan Nomor 103/PUU-XX/2022 merupakan haknya sebagai kepala negara.
"Itu kan haknya presiden ya. Itu tergantung situasi dan kondisi yang mengabulkan pemeriksaan terkait hal itu," kata Khairul Fahmi di Padang, Sumatera Barat, Senin.
Menurut Khairul, kasus pengubahan frasa "dengan demikian" menjadi "ke depan" dalam putusan MK Nomor 103/PUU-XX/2022 itu merupakan sebuah jalan keluar untuk menyelesaikan masalah tersebut. Bahkan, lanjutnya, tidak semua hal harus dibawa ke ranah pidana.
Selain itu, alasan Presiden Jokowi menolak adanya pemeriksaan polisi terhadap para hakim tersebut juga terkait dengan muruah lembaga konstitusi. Kemudian, apabila seorang hakim dapat diperiksa dengan semudah itu, maka bisa menimbulkan masalah di kemudian hari.
"Kalau hakim diperiksa semudah itu, ya ini kan repot juga nanti," tambahnya.
Saat ini, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) sedang menangani perkara perubahan substansi putusan MK tersebut.
Oleh karena itu, ia berpandangan apabila sidang etik melalui mekanisme sidang MKMK dijalankan dengan transparan dan sesuai koridornya maka tidak ada persoalan.
Secara terpisah, Ketua MKMK I Dewa Gede Palguna menyatakan Hakim Konstitusi Guntur Hamzah terbukti melanggar Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi akibat mengubah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 103/PUU-XX/2022.
"Menyatakan hakim terduga terbukti melakukan pelanggaran terhadap kode etik dan perilaku hakim konstitusi sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama, dalam hal ini bagian dari penerapan prinsip integritas," ujar I Dewa Gede Palguna dalam Sidang Putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi RI Perkara No. 1/MKMK/T/02/2023.
"Itu kan haknya presiden ya. Itu tergantung situasi dan kondisi yang mengabulkan pemeriksaan terkait hal itu," kata Khairul Fahmi di Padang, Sumatera Barat, Senin.
Menurut Khairul, kasus pengubahan frasa "dengan demikian" menjadi "ke depan" dalam putusan MK Nomor 103/PUU-XX/2022 itu merupakan sebuah jalan keluar untuk menyelesaikan masalah tersebut. Bahkan, lanjutnya, tidak semua hal harus dibawa ke ranah pidana.
Selain itu, alasan Presiden Jokowi menolak adanya pemeriksaan polisi terhadap para hakim tersebut juga terkait dengan muruah lembaga konstitusi. Kemudian, apabila seorang hakim dapat diperiksa dengan semudah itu, maka bisa menimbulkan masalah di kemudian hari.
"Kalau hakim diperiksa semudah itu, ya ini kan repot juga nanti," tambahnya.
Saat ini, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) sedang menangani perkara perubahan substansi putusan MK tersebut.
Oleh karena itu, ia berpandangan apabila sidang etik melalui mekanisme sidang MKMK dijalankan dengan transparan dan sesuai koridornya maka tidak ada persoalan.
Secara terpisah, Ketua MKMK I Dewa Gede Palguna menyatakan Hakim Konstitusi Guntur Hamzah terbukti melanggar Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi akibat mengubah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 103/PUU-XX/2022.
"Menyatakan hakim terduga terbukti melakukan pelanggaran terhadap kode etik dan perilaku hakim konstitusi sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama, dalam hal ini bagian dari penerapan prinsip integritas," ujar I Dewa Gede Palguna dalam Sidang Putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi RI Perkara No. 1/MKMK/T/02/2023.