Padang (ANTARA) - Bagi sebuah bangsa, olahraga bukan sekadar urusan menyehatkan raga. Tetapi, olahraga juga dapat menjadi pilar penyangga berdirinya bangsa itu sendiri. Lewat olahraga, nasionalisme dapat digelembungkan dan kesetiaan pada bangsa bisa dipelihara.
Untuk mendukung klaim itu, kita dapat mengingat ulang pengalaman kita saat menyaksikan atlet-atlet nasional Indonesia sedang berjuang di laga internasional. Saat itu, emosi kita teraduk-aduk. Seolah bukan hanya mereka yang sedang bertanding, tetapi dalam imajinasi kita, seluruh bangsa Indonesia yang sedang berjuang.
Kemenangan mereka adalah kemenangan kita semua. Sebaliknya, kekalahan mereka akan menancapkan paku kesedihan pada jiwa seluruh bangsa. Mereka adalah wajah-wajah Indonesia. Duta yang mewakili kita sebagai bangsa.
Bila kita buka lembar-lembar sejarah masa lalu, ketika kita menemukan berita tentang atlet-atlet yang berhasil juara di berbagai ajang olahraga internasional, kebanggaan kita pun juga meruap. Saat itu, kita membayangkan Indonesia dengan cara berbeda, bukan sekadar bangsa yang biasa, melainkan bangsa yang unggul dan digdaya.
Di sisi berbeda, sejarah kekalahan para atlet di berbagai panggung internasional juga membawa kita pada lorong perasaan penuh duka. Mengecil rasa kebanggaan kita sebagai bangsa. Kita melihat Indonesia sebagai bangsa yang lebih kerdil dari bangsa lainnya.
Mempertimbangkan peran penting olahraga dalam menggelembungkan dan mengempiskan spirit kebangsaan itu, pengelolaan bidang olah raga mestinya tidak boleh di pandang sebelah mata. Usaha untuk mengolahragakan bangsa tidak bisa ditempatkan sebagai praktik formalitas atau main-main. Ia harus dikelola dan ditangani secara serius.
Di sekolah misalnya, pelajaran olahraga semestinya dapat menjadi ajang untuk penggalian minat dan bakat siswa. Sekolah perlu dikelola agar bisa menemukan banyak wonder kids di berbagai bidang olah raga yang dapat di gembleng lebih lanjut sasana yang dikelola secara khusus.
Penghargaan lebih harus diberikan kepada sekolah atau guru yang dapat menemukan anak-anak berbakat tersebut. Sehingga, berbagai upaya kreatif akan dilakukan sekolah untuk siswa-siswi yang memiliki talenta istimewa di bidang olahraga. Sebagai misal, mereka akan bekerjasama dengan para pencari bakat olah raga profesional.
Tentu, untuk dapat melihat dan menilai bakat siswa di bidang olahraga, juga harus ditunjang oleh sarana prasarana olahraga di sekolah. Termasuk kebijakan-kebijakan di bidang pendidikan yang menempatkan olah raga sebagai bidang pelajaran bergengsi. Sebagai misal, pemangku kepentingan terkait perlu menggeser standar yang prestasi siswa tidak semata pada capaian-capaian kognitif, namun juga perlu mengarusutamakan capaian-capaian di bidang yang lain, khususnya di bidang olah raga.
Tidak hanya di sekolah, usaha untuk menemukan bibit-bibit unggul dan pengelolaan olahraga juga harus dikelola secara serius pada level meso dan makro. Perlu ada perubahan yang lebih mendasar dalam mengukur kinerja berbagai lembaga pemerintah yang menaungi bidang olahraga.
Dalam hal ini, capaian kinerja mereka tidak sekedar capaian dalam menyelenggarakan even olahraga, tetapi lebih pada kemampuan untuk menemukan bibit-bibit unggul di setiap daerah. Juga termasuk proses pendampingan yang dilakukan agar para atlet berbakat itu dapat menjadi bintang pada olah raga yang mereka geluti.
Tidak hanya itu, kinerja lembaga-lembaga tersebut mestinya juga diukur dari capaian mereka dalam menyediakan berbagai fasilitas yang memungkinkan para atlet yang berbakat tersebut untuk terus mengembangkan diri. Sebagai misal, para pemain bola untuk meningkatkan kualitasnya tidak sekedar membutuhkan bola dan lapangan. Mereka butuh untuk meningkatkan stamina, kekuatan otot, kecerdasan menganalisa, dan sebagainya. Usaha pembinaan semestinya juga dilakukan sampai ke sana.
Tentu, usaha tersebut tidak bisa dilakukan oleh satu pihak. Sekolah, lembaga pemerintah, organisasi masyarakat, juga perusahaan-perusahaan swasta harus melakukannya secara bersama-masa. Masing-masing dapat berkontribusi sesuai kapasitasnya masing-masing.
Visi bersama dan dirigen yang mengelola dan memimpin berbagai pihak agar dapat berkolaborasi sangat dibutuhkan. Dalam hal ini para pemangku kepentingan dengan hirarki yang lebih tinggi yang mungkin dapat melakukan, walaupun tidak selalu harus demikian.
Kita bisa melihat, Papua Football Academy sebagai contohnya. Kiprah lembaga ini masih kita tunggu hasilnya. Tetapi rancangan pengelolaan lembaga ini secara konsep relatif ideal. Ia nampak didasarkan pada pembacaan terhadap realitas bahwa daerah Papua sebagai gudang para pemain sepak bola. Ditambah dengan asumsi bahwa tentu banyak putra Papua yang memiliki bakat dalam permainan oleh bola itu.
Di Akademi tersebut, anak-anak berbakat sepak bola akan digembleng secara profesional dengan fasilitas yang memadai. Sehingga bakat yang alami itu dapat diakselerasi dan dilipatgandakan dengan sejumlah rekayasa berdasarkan ilmu pengetahuan dan dukungan teknologi. Tidak hanya dalam hal sepak bola, berbagai kebutuhan anak-anak di Akademi juga dipenuhi secara terintegrasi.
Berkaca dari itu, untuk menemukan dan mengolah bakat putra putri di Indonesia di bidang olah raga, akademi-akademi serupa Papua Football Academy mestinya dibangun di banyak daerah. Semakin banyak semakin baik, sejauh ia di kelola secara profesional. Dan yang perlu dicatat, ia melibatkan pemerintah dan banyak pihak. Adapun ukuran keberhasilan program ini bukan sekadar terlibat dalam even, tetapi diukur dari keberhasilannya dalam melahirkan atlet berbakat di panggung internasional.
Indonesia tidak sekadar butuh sekolah-sekolah profesi yang melahirkan militer dan polisi, dokter dan akuntan, pamong praja dan pilot pesawat, tetapi Indonesia juga butuh sekolah-sekolah profesi yang berorientasi yang melahirkan atlet-atlet olahraga. Mengapa? Karena di era media sosial yang interaksi sosial antar bangsa begitu dekat, ketika sebuah peristiwa dapat mudah diakses oleh semua orang, capaian atlet olah raga di kancah internasional kerap menjadi peluru dengan dua ujung. Bila mereka menang akan menguatkan nasionalisme, sebaliknya bila kalah warga sebuah bangsa akan tercuri harga dirinya.
Penulis merupakan Dosen Psikologi Sosial di Universitas Andalas/Mahasiswa S3 Ilmu Psikologi UGM
Untuk mendukung klaim itu, kita dapat mengingat ulang pengalaman kita saat menyaksikan atlet-atlet nasional Indonesia sedang berjuang di laga internasional. Saat itu, emosi kita teraduk-aduk. Seolah bukan hanya mereka yang sedang bertanding, tetapi dalam imajinasi kita, seluruh bangsa Indonesia yang sedang berjuang.
Kemenangan mereka adalah kemenangan kita semua. Sebaliknya, kekalahan mereka akan menancapkan paku kesedihan pada jiwa seluruh bangsa. Mereka adalah wajah-wajah Indonesia. Duta yang mewakili kita sebagai bangsa.
Bila kita buka lembar-lembar sejarah masa lalu, ketika kita menemukan berita tentang atlet-atlet yang berhasil juara di berbagai ajang olahraga internasional, kebanggaan kita pun juga meruap. Saat itu, kita membayangkan Indonesia dengan cara berbeda, bukan sekadar bangsa yang biasa, melainkan bangsa yang unggul dan digdaya.
Di sisi berbeda, sejarah kekalahan para atlet di berbagai panggung internasional juga membawa kita pada lorong perasaan penuh duka. Mengecil rasa kebanggaan kita sebagai bangsa. Kita melihat Indonesia sebagai bangsa yang lebih kerdil dari bangsa lainnya.
Mempertimbangkan peran penting olahraga dalam menggelembungkan dan mengempiskan spirit kebangsaan itu, pengelolaan bidang olah raga mestinya tidak boleh di pandang sebelah mata. Usaha untuk mengolahragakan bangsa tidak bisa ditempatkan sebagai praktik formalitas atau main-main. Ia harus dikelola dan ditangani secara serius.
Di sekolah misalnya, pelajaran olahraga semestinya dapat menjadi ajang untuk penggalian minat dan bakat siswa. Sekolah perlu dikelola agar bisa menemukan banyak wonder kids di berbagai bidang olah raga yang dapat di gembleng lebih lanjut sasana yang dikelola secara khusus.
Penghargaan lebih harus diberikan kepada sekolah atau guru yang dapat menemukan anak-anak berbakat tersebut. Sehingga, berbagai upaya kreatif akan dilakukan sekolah untuk siswa-siswi yang memiliki talenta istimewa di bidang olahraga. Sebagai misal, mereka akan bekerjasama dengan para pencari bakat olah raga profesional.
Tentu, untuk dapat melihat dan menilai bakat siswa di bidang olahraga, juga harus ditunjang oleh sarana prasarana olahraga di sekolah. Termasuk kebijakan-kebijakan di bidang pendidikan yang menempatkan olah raga sebagai bidang pelajaran bergengsi. Sebagai misal, pemangku kepentingan terkait perlu menggeser standar yang prestasi siswa tidak semata pada capaian-capaian kognitif, namun juga perlu mengarusutamakan capaian-capaian di bidang yang lain, khususnya di bidang olah raga.
Tidak hanya di sekolah, usaha untuk menemukan bibit-bibit unggul dan pengelolaan olahraga juga harus dikelola secara serius pada level meso dan makro. Perlu ada perubahan yang lebih mendasar dalam mengukur kinerja berbagai lembaga pemerintah yang menaungi bidang olahraga.
Dalam hal ini, capaian kinerja mereka tidak sekedar capaian dalam menyelenggarakan even olahraga, tetapi lebih pada kemampuan untuk menemukan bibit-bibit unggul di setiap daerah. Juga termasuk proses pendampingan yang dilakukan agar para atlet berbakat itu dapat menjadi bintang pada olah raga yang mereka geluti.
Tidak hanya itu, kinerja lembaga-lembaga tersebut mestinya juga diukur dari capaian mereka dalam menyediakan berbagai fasilitas yang memungkinkan para atlet yang berbakat tersebut untuk terus mengembangkan diri. Sebagai misal, para pemain bola untuk meningkatkan kualitasnya tidak sekedar membutuhkan bola dan lapangan. Mereka butuh untuk meningkatkan stamina, kekuatan otot, kecerdasan menganalisa, dan sebagainya. Usaha pembinaan semestinya juga dilakukan sampai ke sana.
Tentu, usaha tersebut tidak bisa dilakukan oleh satu pihak. Sekolah, lembaga pemerintah, organisasi masyarakat, juga perusahaan-perusahaan swasta harus melakukannya secara bersama-masa. Masing-masing dapat berkontribusi sesuai kapasitasnya masing-masing.
Visi bersama dan dirigen yang mengelola dan memimpin berbagai pihak agar dapat berkolaborasi sangat dibutuhkan. Dalam hal ini para pemangku kepentingan dengan hirarki yang lebih tinggi yang mungkin dapat melakukan, walaupun tidak selalu harus demikian.
Kita bisa melihat, Papua Football Academy sebagai contohnya. Kiprah lembaga ini masih kita tunggu hasilnya. Tetapi rancangan pengelolaan lembaga ini secara konsep relatif ideal. Ia nampak didasarkan pada pembacaan terhadap realitas bahwa daerah Papua sebagai gudang para pemain sepak bola. Ditambah dengan asumsi bahwa tentu banyak putra Papua yang memiliki bakat dalam permainan oleh bola itu.
Di Akademi tersebut, anak-anak berbakat sepak bola akan digembleng secara profesional dengan fasilitas yang memadai. Sehingga bakat yang alami itu dapat diakselerasi dan dilipatgandakan dengan sejumlah rekayasa berdasarkan ilmu pengetahuan dan dukungan teknologi. Tidak hanya dalam hal sepak bola, berbagai kebutuhan anak-anak di Akademi juga dipenuhi secara terintegrasi.
Berkaca dari itu, untuk menemukan dan mengolah bakat putra putri di Indonesia di bidang olah raga, akademi-akademi serupa Papua Football Academy mestinya dibangun di banyak daerah. Semakin banyak semakin baik, sejauh ia di kelola secara profesional. Dan yang perlu dicatat, ia melibatkan pemerintah dan banyak pihak. Adapun ukuran keberhasilan program ini bukan sekadar terlibat dalam even, tetapi diukur dari keberhasilannya dalam melahirkan atlet berbakat di panggung internasional.
Indonesia tidak sekadar butuh sekolah-sekolah profesi yang melahirkan militer dan polisi, dokter dan akuntan, pamong praja dan pilot pesawat, tetapi Indonesia juga butuh sekolah-sekolah profesi yang berorientasi yang melahirkan atlet-atlet olahraga. Mengapa? Karena di era media sosial yang interaksi sosial antar bangsa begitu dekat, ketika sebuah peristiwa dapat mudah diakses oleh semua orang, capaian atlet olah raga di kancah internasional kerap menjadi peluru dengan dua ujung. Bila mereka menang akan menguatkan nasionalisme, sebaliknya bila kalah warga sebuah bangsa akan tercuri harga dirinya.
Penulis merupakan Dosen Psikologi Sosial di Universitas Andalas/Mahasiswa S3 Ilmu Psikologi UGM