Padang (ANTARA) - Di era serba digital ini, semenjak pandemi COVID-19 budaya belajar sudah jauh berubah. Guru kini terbiasa memberikan tugas melalui media sosial whatsapp, bahkan ketika peserta didik libur, guru mengirimkan tugas melalui whatsapp dan harus dikerjakan oleh peserta didik selama libur.

 Bahkan kadang-kadang tugas yang diberikan belum dipelajari di sekolah, yang dapat membuat anak menjadi tertekan.  Seiring dengan itu, orang tua terutama ibu juga tidak kalah tertekan dengan tugas anaknya karena harus mengerjakan tugas-tugas tersebut. 

Banyak orang tua yang hilang kesabaran  menghadapi permasalahan ini, sehingga gampang marah kepada anaknya. Jika hal ini terjadi berlarut-larut tentu saja berpengaruh kepada psikologis anak. Pada sisi lain, kehadiran Kurikulum Merdeka belum sepenuhnya dipahami guru, sehingga menambah beban mental peserta didik. Lantas bagaimanakah ibu yang hebat menghadapi fenomena ini?  

Mungkin banyak yang menyangka bahwa orang tua hebat adalah jika berpendidikan tinggi. Namun berbeda dengan kenyataan yang akan saya gambarkan di sini. Sosok ibu sebutlah inisialnya dengan ibu D, adalah seorang ibu yang hebat, yang mampu mengantarkan anaknya ke tingkat pendidikan tertinggi meskipun ibu D tidak menamatkan pendidikan dasar. 

Bagaimana mungkin Ibu D yang tidak tamat SD ini mampu mengantarkan anaknya ke pendidikan tertinggi? Bagaimana cara dia mendidik anaknya?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, saya akan menarasikan sebuah kisah seorang ibu rumah tangga bernama Ibu D, yang selalu menemani anaknya dalam belajar, meskipun tidak paham dengan pelajaran anaknya. Apa yang dilakukan Ibu D? Ketika anaknya duduk mengerjakan tugas, Ibu D selalu duduk di dekat anaknya menemani sampai selesai belajar. 

Anaknya tidak menanyakan pelajaran kepadanya, tetapi dia tetap duduk meskipun dalam keadaan mengantuk. Bahkan dia terkadang tertidur sedang duduk dan bermimpi dengan berbicara sendiri. Itu dilakukannya jika dia tidak bisa bersama-sama mengikuti pelajaran anaknya. Pada waktu lain, ketika dia bisa membantu anaknya belajar seperti mendengarkan hafalan, dia melakukannya dengan senang hati, bahkan ketika menghafal terutama menghafal ayat Al Quran dan hadits, dia juga menghafal bersama-sama dengan anaknya. Akibatnya, sang anak termotivasi dan mengajak ibunya berpacu, yang tentu saja anaknya lebih cepat darinya. Suasana demikian membuat anaknya merasa bangga, apalagi ketika ibunya memberikan pujian. 

Dari kisah di atas dapat diambil pelajaran bahwa pendidikan yang paling efektif adalah dengan keteladanan. Hal ini sesuai dengan teori belajar kondisional  Pavlov dan teori kognitif yang dikemukakan oleh Albert Bandura. Menurut teori kondisional, orang belajar karena dikondisikan, sehingga kondisi tersebut membentuk kebiasaannya. Kebiasaan belajar anak yang terbentuk adalah belajar dengan didampingi oleh orang tua. 

Namun,  teori kognitif Albert Bandura mempunyai pandangan yang berbeda. Dia menegaskan manusia mempunyai otak untuk mengolah informasi yang dialaminya, sehingga tidak serta merta melakukan hal yang dikondisikan. Dia perlu melihat contoh dari orang lain sebagai model prilaku yang akan ditirunya.  Ibu D telah menerapkan teori belajar kondisional dan kognitif,  meskipun tidak mengerti atau sama sekali tidak mengenal teori belajar apapun.  

 Dia tidak hanya menciptakan kondisi belajar anak yang  butuh pendampingan, namun juga memberikan contoh dengan melakukan aktivitas yang sama dengan anak. Aktivitas di atas tidak tertutup kemungkinan juga dapat dilakukan oleh seorang ayah, terutama jika dia mempunyai waktu bersama anaknya. 

Pelajaran apa yang dapat kita petik dalam kisah singkat ini? 
Anak yang hebat belum tentu lahir dari orang tua yang berpendidikan tinggi dan banyak mengetahui teori pendidikan atau teori belajar. Jika tidak diamalkan, maka ilmunya hanya tinggal di kepalanya, namun dalam realita tidak terpakai. Sebaliknya, pengalaman langsung dalam mendidik bisa menjadi ilmu yang hebat jika dapat menghayati pengalaman tersebut. Pendidikan yang baik itu adalah pendidikan yang dimulai dari diri sendiri. 

Mengerjakan terlebih dahulu atau sama-sama mengerjakan lebih baik dari hanya sekedar menyuruh peserta didik mengerjakan tugas.  Teori kondisional lebih fokus pada menyuruh, sedangkan pendidik hanya memantau dan memberikan respon terhadap prilaku peserta didik. Jika orang tua hanya menyuruh anak belajar tanpa menemani dan membantu membelajarkan anaknya, atau sebaliknya jika orang tua mengerjakan tugas anaknya, besar kemungkinan anak akan menjadi malas belajar. 

Apakah teori ini juga berlaku saat ini terutama dalam penerapan kurikikulum Merdeka yang baru saja diluncurkan oleh Mendikbudristek pada tanggal 11 Februari 2022.  Kurikulum Merdeka menekankan pembelajaran berbasis murid? Teori belajar konstruktivisme Vygotsy merupakan teori yang popular untuk diterapkan di dalam pendekatan belajar berbasis murid. Saya tidak sependapat jika ada orang tua yang mengerjakan tugas anak, sementara anak tidak melakukan apa-apa dengan tugasnya. Dia bahkan tidak mencoba untuk memahami tugasnya, sehingga kualitas pendidikan akan menurun.

 Sebaliknya,  saya menegaskan perlunya interaksi orang tua dengan anak dan harus dilakukan secara intensif terkait dengan tugas-tugas sekolahnya. Melalui interaksi tersebut, anak membangun pengetahuannya secara bertahap. Sebagai konsekuensinya, kemungkinan anak dan orang tua membutuhkan waktu yang lebih lama dalam menyelesaikan tugas, karena dia harus mencari dulu, membaca, memahami, baru kemudian mengerjakan tugasnya, tetapi anak mempunyai pengalaman belajar lebih banyak dibandingkan dengan tugas yang dikerjakan oleh orang tua. Oleh karena itu, kesabaran orang tua sangat penting dalam membantu anak membangun pengetahuaannya. Orang tua yang sabar dan tenang akan memberikan hawa sejuk kepada anaknya, sehingga anak dapat mengerjakan tugasnya dengan tenang dan nyaman. Orang tua hebat saat ini bukan saja mampu menemani anaknya belajar, tetapi juga menciptakan rasa nyaman dan tenang kepada anaknya saat mengerjakan tugas dengan meningkatkan interaksi.


Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa orang tua hebat tidak akan membiarkan anaknya belajar sendiri tanpa ditemani. Dia peduli dengan tugas anaknya dan juga terlibat dengan kegiatannya, sehingga suasana keakraban juga akan terbangun. Di samping menerapkan teori belajar kondisional dan kognitif, teori yang paling cocok dengan kurikulum Merdeka adalah teori konstruktivisme, yang memungkinkan anak menjadi pekerja keras melalui bantuan orang tua karena dia secara langsung terlibat dalam setiap kegiatan penyelesaian tugas. Dengan kata lain, anak mendapatkan pengalaman belajar yang lebih dengan banyak berinteraksi dengan orang tuanya. 

Penulis merupakan Dosen Pendidikan Bahasa Inggris Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora Universitas PGRI Sumatera Barat


 

Pewarta :  Dr. Yelfiza, M.Pd
Editor : Ikhwan Wahyudi
Copyright © ANTARA 2024