Padang (ANTARA) - Sumatera memiliki dua sumber/mekanisme gempa tektonik.  Pertama adalah gempa subduksi lempeng Indo-Australia yang menghasilkan megathrust Simeulue, Nias, Mentawai dan Enggano.  Kedua, pergeseran mendatar (strike-slip) di sepanjang sesar Semangko.  Sesar Semangko ini berada di sepanjang pulau Sumatera, mulai dari Aceh sampai ke Lampung.  Ia berimpit atau berdekatan dengan Bukit Barisan.  Gempa yang terjadi pagi tadi yang berepisentrum 16 - 19 km timur laut Pasaman Barat dengan gempa utama berkekuatan M6,1 adalah gempa yang terjadi di sesar Semangko.  

Di Sumatera Barat Sesar Semangko ini terdiri dari empat segmen, yakni Segmen Sumpur yang merupakan lanjutan dari segmen Angkola dan Barumun, kemudian segmen Sianok, segmen Sumani dan segmen Suliti di Solok Selatan yang berhubungan dengan segmen Siulak di Kerinci.

Gempa yang terjadi di segmen Sumpur cukup mengejutkan  bagi masyarakat.  Tapi bagi ahli kebumian tidak mengejutkan.  Bahkan penulis sering mengingatkan pemerintah dan masyarakat untuk mewaspadai segmen ini.  Sebab, gempa terakhir terjadi di sini sudah cukup lama, yakni tahun 1977 dengan kekuatan M5,5.  Dengan kekuatan 5.5 ini sebetulnya cukup berbahaya.  Sebab, gempa darat kedalaman pusat gempanya bukan dangkal lagi, tapi sangat dangkal.  Kebanyakan gempa darat dengan mekanisme strike-slipini kedalaman pusat gempanya di bawah 20 km.  Padahal dalam penggolongan kedalaman pusat gempa, gempa dangkal adalah yang kedalamannya 0 – 60 km. Pada waktu itu (1977), dengan hanya bermagnitudo 5.5 sudah lebih 700 bangunan hancur, dan ada 6 orang yang meninggal.

Nah, gempa tadi pagi dengan kekuatan terbesarnya 6.1, kedalaman pusat gempanya yang dirilis oleh BMKG adalah 10 km.  Ini jelas sangat dangkal kedalamannya.  Kemudian dari laporan berbagai relawan dan tim tanggap bencana disimpulkan bahwa intensitas gempa di sekitar lokasi (episentrum) adalah V MMI (Modified Mercally Intensity).  Intensitas dengan satuan MMI ini adalah ukuran kerusakan dan yang dirasakan orang.  Di kota Padang intensitasnya III MMI. 

Seperti yang biasa terjadi, sebuah gempa kuat dan sangat kuat akan selalu diikuti oleh sejumlah gempa susulan.  Sampai sore ini sudah lebih 20 gempa susulan terjadi.  Pertanyaan yang sering muncul adalah, apakah aka nada gempa susulan yang lebih besar.  Tentu maksudnya lebih besar dari yang 6.1 tadi.  Itu mungkin saja terjadi.  Dari data yang ada, di segmen ini gempa terkuat yang pernah terjadi adalah M6.9.  Tapi, kalau muncul gempa susulan yang lebih besar dari 6.1, maka gempa itu bukan gempa susulan.  Itu gempa utama.  Yang sebelumnya berarti gempa pendahuluan.  Tapi, kecil kemungkinan keluar gempa yang lebih besar.  Artinya, menurut penulis gempa 6.1 tadi pagi merupakan gempa utama.

Kita tetap bisa bersyukur, dengan magnitudo 6.1 intensitas di sekitar lokasi episentrum V MMI.  Ada dua kemungkinan intensitasnya tidak lebih dari V.  Pertama, daerah di sekitar episentrum tidak begitu padat dengan penduduk dan bangunan.  Kedua, banyak bangunan yang memenuhi standar, yakni peraturan bangunan aman gempa.

Selanjutnya, perlu diketahui bahwa (pusat) gempa  bisa bermigrasi.  Migrasi pusat gempa tentu saja ke segmen yang bersebelahan.  Segmen Sumpur ini bertetangga dengan segmen Barumun dan Angkola di utara, serta swgmen Sianok di selatan.  Nampaknya segmen Barumun dan Angkola perlu waspada. Sebab, sudah cukup lama tidak terjadi gempa di kedua segmen ini.  Adapun tentang segmen Sianok, meskipun sudah terjadi gempa 15 tahun yang lalu, tepatnya tanggal 6 Maret 2007 dengan kekuatan 6.5, bisa saja terjadi lagi.  Sebab, periode ulang gempa kuat di sesar Semangko ini, khususnya di wilayah Sumatera Barat waktunya pendek dan acak.  Ingat saja, ketika 6 Maret 2007 itu, bersamaan dengan segmen Sianok, juga aktif segmen Sumani, juga dengan kekuatan 6.5.  Padahal tiga tahun sebelumnya, 2004 di segmen ini, terjadi gempa yang berepisentrum di sekitar Batipuh, yang menimbulkan sejumlah korban jiwa dan merusak sejumlah bangunan.

Karena itu, mitigasi harus terus diupayakan, tidak hanya menghadapi kemungkinan gempa dari megathrust Mentawai, tapi juga dari sesar Semangko.  Mitigasi struktural/fisik dan non fisik harus dilakukan dengan baik.  Khususnya dalam mitigasi struktural, penting sekali untuk membuat bangunan mengacu kepada aturan yang sudah ditetapkan oleh Kementerian PUPR melalui peraturan bangunan aman gempa (SNI).  Bangunan yang sesuai dengan standar yang sudah ditetapkan in syaa Allah tidak roboh/hancur, sehingga orang yang berada di dalamnya selamat.  Selama ini yang sering menimbulkan korban adalah bangunan, yakni bangunan yang tidak memenuhi standar.  Karena itu popular ungkapan: “bukan gempanya…., tapi bangunannya”.  Artinya sangat jarang gempa membunuh (langsung).  Yang membunuh itu adalah bangunan.  Bangunan yang roboh/hancur karena tidak memenuhi peraturan bangunan aman gempa.

Selain itu, mitigasi non fisik seperti antara lain sosialisasi dan simulasi perlu juga dilakukan.

Penulis merupakan Geophysicist (geodinamik-tektonik)

 


Pewarta :  Dr. Ir. Badrul Mustafa Kemal, DEA
Editor : Ikhwan Wahyudi
Copyright © ANTARA 2024