Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi III DPR RI Arteria Dahlan mengatakan bahwa pidana mati merupakan upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat dan hanya diterapkan untuk pelaku tindak pidana kejahatan berat.
“Penerapan pidana mati hanya diterapkan untuk pidana tertentu, yakni bagi pelaku tindak pidana kejahatan berat, makar, pembunuhan berencana, korupsi, narkotika, tindak pidana HAM berat, dan terorisme,” kata Arteria ketika menyampaikan paparan dalam webinar bertajuk “Hukuman Mati Bagi Koruptor … Terimplementasikankah?” yang disiarkan melalui platform Zoom Meeting dan dipantau dari Jakarta, Kamis.
Pemberian sanksi pidana kepada pelaku kejahatan umumnya bertujuan untuk menjadi sarana utama dalam mengatur dan memperbaiki perilaku para pelaku tindak pidana. Akan tetapi, pidana mati tidak memiliki tujuan tersebut.
Arteria mengatakan bahwa penerapan pidana mati di dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) hanya diterapkan untuk pidana tertentu dan dilakukan secara bersyarat oleh para aparat penegak hukum sehingga penjatuhan pidana mati tidak dapat dilakukan secara serta-merta.
“Yang bersangkutan itu harus diberikan ruang untuk grasi ataupun sampai PK (Peninjauan Kembali, red.). Untuk yang namanya grasi jangka waktunya berapa, yang PK jangka waktunya berapa,” tutur dia.
Apabila pelaku tindak pidana menjalani masa kurungan selama 10 tahun dan ternyata mampu memperbaiki diri atau kembali menjadi sosok yang sebagaimana diharapkan oleh para aparat penegak hukum, maka pelaku tindak pidana tidak perlu menjalani pidana mati dan hukuman tersebut dapat diganti menjadi perampasan kemerdekaan.
“Jadi, walaupun nanti tuntutan jaksanya pidana mati, vonis hakimnya pidana mati, belum tentu yang bersangkutan akan terkena sanksi pidana mati,” ucap Arteria.
Ia mengatakn pentingnya untuk tetap bersifat selektif, hati-hati, dan berorientasi jauh kepada kepentingan pelaku tindak pidana ketika merumuskan pengaturan mengenai pidana mati.
“Pendekatannya nanti akan agak berbeda pasca-kita (DPR dan pemerintah, red.) sudah melahirkan yang namanya RKUHP,” kata Arteria.
“Penerapan pidana mati hanya diterapkan untuk pidana tertentu, yakni bagi pelaku tindak pidana kejahatan berat, makar, pembunuhan berencana, korupsi, narkotika, tindak pidana HAM berat, dan terorisme,” kata Arteria ketika menyampaikan paparan dalam webinar bertajuk “Hukuman Mati Bagi Koruptor … Terimplementasikankah?” yang disiarkan melalui platform Zoom Meeting dan dipantau dari Jakarta, Kamis.
Pemberian sanksi pidana kepada pelaku kejahatan umumnya bertujuan untuk menjadi sarana utama dalam mengatur dan memperbaiki perilaku para pelaku tindak pidana. Akan tetapi, pidana mati tidak memiliki tujuan tersebut.
Arteria mengatakan bahwa penerapan pidana mati di dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) hanya diterapkan untuk pidana tertentu dan dilakukan secara bersyarat oleh para aparat penegak hukum sehingga penjatuhan pidana mati tidak dapat dilakukan secara serta-merta.
“Yang bersangkutan itu harus diberikan ruang untuk grasi ataupun sampai PK (Peninjauan Kembali, red.). Untuk yang namanya grasi jangka waktunya berapa, yang PK jangka waktunya berapa,” tutur dia.
Apabila pelaku tindak pidana menjalani masa kurungan selama 10 tahun dan ternyata mampu memperbaiki diri atau kembali menjadi sosok yang sebagaimana diharapkan oleh para aparat penegak hukum, maka pelaku tindak pidana tidak perlu menjalani pidana mati dan hukuman tersebut dapat diganti menjadi perampasan kemerdekaan.
“Jadi, walaupun nanti tuntutan jaksanya pidana mati, vonis hakimnya pidana mati, belum tentu yang bersangkutan akan terkena sanksi pidana mati,” ucap Arteria.
Ia mengatakn pentingnya untuk tetap bersifat selektif, hati-hati, dan berorientasi jauh kepada kepentingan pelaku tindak pidana ketika merumuskan pengaturan mengenai pidana mati.
“Pendekatannya nanti akan agak berbeda pasca-kita (DPR dan pemerintah, red.) sudah melahirkan yang namanya RKUHP,” kata Arteria.