Jakarta, (ANTARA) - PT Pertamina (Persero) mengembangkan bahan bakar pesawat dengan campuran minyak kelapa sawit sebagai upaya menurunkan emisi karbon sektor transportasi udara.
Produk bernama Bioavtur J2.4 tersebut dibuat oleh Kilang Pertamina Internasional di Cilacap, Jawa Tengah.
"Melalui tahap pengembangan yang komprehensif, Bioavtur J2.4 terbukti menunjukkan performa yang setara dengan bahan bakar avtur fosil," kata Sekretaris Perusahaan Subholding Refining & Petrochemical Pertamina Ifki Sukarya dalam keterangannya di Jakarta, Rabu.
Sejak 2014, Pertamina telah merintis penelitian dan pengembangan bioavtur melalui Kilang Dumai dan Kilang Cilacap.
Saat ini, performa bioavtur sudah optimal dengan perbedaan kinerja hanya 0,2-0,6 persen dari kinerja avtur fosil.
Produk Bioavtur J2.4 buatan Pertamina mengandung bahan bakar nabati dari minyak inti kelapa sawit sebanyak 2,4 persen melalui teknologi katalis.
Kontribusi perseroan dalam mengembangkan bahan bakar nabati pesawat tersebut dilakukan meliputi dua tahap penting.
Tahap pertama ditandai dengan proses Hydrodecarboxylation dengan target awal adalah produksi diesel biohidrokarbon dan bioavtur dalam skala laboratorium.
Sedangkan tahap kedua ditandai dengan proses Hydrodeoxygenation berupa diesel biohidrokarbon yang lebih efisien. Pada 2020, Kilang Dumai berhasil memproduksi diesel biohidrokarbon yang 100 persen berasal dari bahan baku nabati, yaitu Refined Bleached Deodorized Palm Oil (RBDPO).
RBDPO adalah minyak kelapa sawit yang sudah melalui proses penyulingan untuk menghilangkan asam lemak bebas serta penjernihan untuk menghilangkan warna dan bau.
Tahap awal tersebut menjadi langkah penting pengembangan produk hijau, termasuk diesel hijau dan bioavtur.
Ifki menyampaikan bahwa bioavtur yang dihasilkan Kilang Cilacap melalui bahan baku inti kelapa sawit dengan avtur fosil.
Saat ini, kapasitas produksi bioavtur di Kilang Cilacap mencapat 8.000 barel per hari. Pertamina berkomitmen akan terus meningkat angka produksi bioavtur dengan melihat kebutuhan pasar mulai 2023.
"Pengembangan Bioavtur J2.4 Pertamina selaras dengan peta jalan energi bersih Kementerian ESDM terkait pencampuran bahan bakar nabati hingga 5 persen pada tahun 2025, termasuk untuk moda transportasi udara," ujar Ifki.
Produk Bioavtur J2.4 ini akan melewati masa pengujian selama sembilan hari menggunakan pesawat CN-235-220 milik PT Dirgantara Indonesia.
Pesawat uji itu take-off dan mendarat di Bandara Husein Sastranegara, Bandung, Jawa Barat. Dalam masa uji terbang, pesawat akan melakukan pengisian bahan bakar dengan bioavtur J2.4 di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten.
Sebelumnya, produk bioavtur ini telah dua kali uji statik di test-cell milik PT. Garuda Maintenance Facility (GMF) AeroAsia dengan menggunakan bahan bakar avtur Jet A1 dan bioavtur (J2.0 dan J2.4) pada mesin CFM56-3, yaitu pada 23-24 Desember 2020 dan 24-25 Mei 2021.
Hasil uji tersebut menunjukkan bahwa performansi mesin yang menggunakan bioavtur (J2.0 dan J2.4) memberikan korelasi yang sama dengan menggunakan Jet A1.
Berdasarkan keberhasilan uji statistik, maka tahap selanjutnya adalah melakukan uji terbang untuk memastikan penggunaan bioavtur secara teknis dan keamanan dapat diimplementasikan dengan baik.
Produk bernama Bioavtur J2.4 tersebut dibuat oleh Kilang Pertamina Internasional di Cilacap, Jawa Tengah.
"Melalui tahap pengembangan yang komprehensif, Bioavtur J2.4 terbukti menunjukkan performa yang setara dengan bahan bakar avtur fosil," kata Sekretaris Perusahaan Subholding Refining & Petrochemical Pertamina Ifki Sukarya dalam keterangannya di Jakarta, Rabu.
Sejak 2014, Pertamina telah merintis penelitian dan pengembangan bioavtur melalui Kilang Dumai dan Kilang Cilacap.
Saat ini, performa bioavtur sudah optimal dengan perbedaan kinerja hanya 0,2-0,6 persen dari kinerja avtur fosil.
Produk Bioavtur J2.4 buatan Pertamina mengandung bahan bakar nabati dari minyak inti kelapa sawit sebanyak 2,4 persen melalui teknologi katalis.
Kontribusi perseroan dalam mengembangkan bahan bakar nabati pesawat tersebut dilakukan meliputi dua tahap penting.
Tahap pertama ditandai dengan proses Hydrodecarboxylation dengan target awal adalah produksi diesel biohidrokarbon dan bioavtur dalam skala laboratorium.
Sedangkan tahap kedua ditandai dengan proses Hydrodeoxygenation berupa diesel biohidrokarbon yang lebih efisien. Pada 2020, Kilang Dumai berhasil memproduksi diesel biohidrokarbon yang 100 persen berasal dari bahan baku nabati, yaitu Refined Bleached Deodorized Palm Oil (RBDPO).
RBDPO adalah minyak kelapa sawit yang sudah melalui proses penyulingan untuk menghilangkan asam lemak bebas serta penjernihan untuk menghilangkan warna dan bau.
Tahap awal tersebut menjadi langkah penting pengembangan produk hijau, termasuk diesel hijau dan bioavtur.
Ifki menyampaikan bahwa bioavtur yang dihasilkan Kilang Cilacap melalui bahan baku inti kelapa sawit dengan avtur fosil.
Saat ini, kapasitas produksi bioavtur di Kilang Cilacap mencapat 8.000 barel per hari. Pertamina berkomitmen akan terus meningkat angka produksi bioavtur dengan melihat kebutuhan pasar mulai 2023.
"Pengembangan Bioavtur J2.4 Pertamina selaras dengan peta jalan energi bersih Kementerian ESDM terkait pencampuran bahan bakar nabati hingga 5 persen pada tahun 2025, termasuk untuk moda transportasi udara," ujar Ifki.
Produk Bioavtur J2.4 ini akan melewati masa pengujian selama sembilan hari menggunakan pesawat CN-235-220 milik PT Dirgantara Indonesia.
Pesawat uji itu take-off dan mendarat di Bandara Husein Sastranegara, Bandung, Jawa Barat. Dalam masa uji terbang, pesawat akan melakukan pengisian bahan bakar dengan bioavtur J2.4 di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten.
Sebelumnya, produk bioavtur ini telah dua kali uji statik di test-cell milik PT. Garuda Maintenance Facility (GMF) AeroAsia dengan menggunakan bahan bakar avtur Jet A1 dan bioavtur (J2.0 dan J2.4) pada mesin CFM56-3, yaitu pada 23-24 Desember 2020 dan 24-25 Mei 2021.
Hasil uji tersebut menunjukkan bahwa performansi mesin yang menggunakan bioavtur (J2.0 dan J2.4) memberikan korelasi yang sama dengan menggunakan Jet A1.
Berdasarkan keberhasilan uji statistik, maka tahap selanjutnya adalah melakukan uji terbang untuk memastikan penggunaan bioavtur secara teknis dan keamanan dapat diimplementasikan dengan baik.