Makassar, (ANTARA) - Sejumlah peneliti dan arkeolog mengembangkan penelitian fosil kerangka manusia purba modern (Homo Sapiens) diperkirakan berusia 7.200 tahun setelah ditemukan di kawasan Karst Maros-Pangkep, Wallace, Leang Panninge, Desa Wanuawaru, Kecamatan Mallawa, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan.
"Sampai saat ini masih terus diteliti. Ke depan saya berharap sekali, kita bisa membuat sampel atau melakukan tes DNA (Deoxyribonucleic Acid) bahwa penduduk utamanya Suku Bugis Makassar, apakah punya hubungan DNA atau tidak dengan penemuan kerangka ini," kata peneliti dan juga arkeolog Unhas, Iwan Sumantri, saat dihubungi di Makassar, Kamis (2/9).
Penemuan itu diawali pada 2015 dengan penelitian diinisiasi Prof Akin Duli selalu Dekan FIB Unhas bersama para peneliti dan arkelog beserta tim dari Universitas Sains Malaysia melakukan eksplorasi bagian depan lokasi teras Leang Panninge.
Hasil eksplorasi itu ditemukan fosil kerangka manusia purba modern. Sebagai bentuk penghargaan dan kesepakatan para peneliti, fosil kerangka itu dinamai "Besse", julukan khas bagi anak perempuan Suku Bugis. Namun proses ekskavasi tidak bisa dilanjutkan karena adanya suatu keterbatasan.
Pada 2017, ekskavasi dilanjutkan dengan pengupasan dinding luar lokasi kerangka itu berdiam. Pada 2018, "Besse" yang diperkirakan berusia 17-18 tahun saat meninggal, diangkat untuk diteliti lebih lanjut. Pada 2019, penelitian kembali dilanjutkan atas kerja sama Griffith University Australia, Puslit Arkenas Balar, Unhas, serta BPCB dengan melakukan perluasan dan pendalaman galian di lokasi hingga berhasil mengumpulkan lebih banyak sampel untuk pertanggalan sekaligus meneliti DNA
"Ditemukan rangka di situ, diambil pada bagian tengkorak karena masih tersimpan jejak DNA, kita ambil tulang Petros, (tulang) telinga bagian dalam di bagian pelipis tengkorak, ternyata masih ada DNA. Ini prestasi besar," katanya.
Sampel DNA itu dikirim ke Max Planck Instititue di Jerman untuk dianalisis. Hasilnya, mengandung genetik nenek moyang sama dengan orang Papua Nugini, Aborigin di Australia, serta diketahui merupakan spesies lain dari Homo Sapiens atau manusia purba Denisovan yang pernah ditemukan di Siberia pada 2010.
Ia menjelaskan tentang hal yang menjadi pertanyaan mengapa DNA "Besse" bisa bertahan di iklim tropis di Indonesia atau lokasi penemuan Leang Panninge. Tentunya, diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menemukan data baru, terkait DNA tersebut menegaskan bahwa bukan sepenuhnya penduduk asli Sulsel tetapi ada genetik lain dibawa dari luar ke Sulsel.
Persebaran manusia di kawasan Wallacea, kata dia, tentu membuka peluang menelusuri keberadaan Denisovan. Melihat lokasi tempat tinggal "Besse", secara morfologi gua yang ditempatinya bisa dijadikan tempat bermukim pada ribuan tahun lalu.
Bila melihat hasil temuan ini, pada masa itu ada perlakuan saat proses penguburan orang mati sejak 7.200 tahun lalu. Rangka ditemukan selain tengkorak remuk, ada pula beberapa potong tulang panjang dengan posisi kerangka terlipat. Ditemukan pula artefak, alat perburuan budaya kuno Suku Toalean atau Austronesian yang berdekatan dengan kerangka "Besse".
Temuan ini cukup fantastis, karena sangat jarang sekali ada DNA terawetkan di dalam kerangka Besse, sebab negara tropis sangat sulit menyimpan genom DNA, sehingga menjadi analisis DNA yang pertama di Maros, dan Indonesia.
Dilansir dari laporan jurnal Nature, yang diterbitkan pada 25 Agustus 2021, "Besse" ditemukan pada 2015 terkubur dalam posisi janin di Leang Panninge, gua prasejarah bebatuan kapur di Kabupaten Maros. Kawasan itu masih merupakan bagian wilayah Wallacea.
Posisinya fosil digambarkan dengan punggung melengkung, kepala menunduk, dan tangan dan kaki dilipat ke dekat torso. Para penulis di jurnal ini menyebut, pertama kalinya ditemukan DNA manusia purba di wilayah itu.
"Besse" juga dianggap bagian dari orang Toal, karena saat ditemukan, di sampingnya terdapat alat-alat jenis Toalean, alat yang dipakai orang Toal.
"Ini memberikan bukti kuat terkait hubungan 'Besse' dengan orang-orang Toal yang kurang dikenal ini," kata arkeolog Australian National University di Canberra, Shimona Kealy, dalam jurnal itu.
Wallacea juga dianggap sebagai daerah pintu gerbang yang dilalui nenek moyang orang Papua dan Aborigin Australia modern. Namun demikian, sangat sedikit sisa-sisa penemuan manusia purba yang ditemukan di lokasi setempat.
Suasana ekskavasi kerangka manusia purba modern berusia 7.200 tahun dinamai "Besse" di kawasan Karst Maros-Pangkep, Wallace, Leang Panninge, Desa Wanuawaru, Kecamatan Mallawa, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. ANTARA/HO-Dokumentasi Nature.
Secara terpisah, Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sulsel Laode Muhammad Aksa menegaskan pihaknya sudah berkomunikasi dengan tim peneliti kerangka tersebut, termasuk berupaya melindungi lokasi Leang Panninge, di mana "Besse" bersemayam.
"Tahun 2019 lalu, kami telah menugaskan juru pelihara untuk menjaga pelestarian, termasuk pengamanan di sana. Tahun kemarin (2020, red.) kami sudah membuat zonasi terhadap lokasi yang dilindungi itu. Sebab banyak juga kebun masyarakat di sana serta wisatawan masuk di sekitar Leang," katanya.
Pemerintah Kabupaten Maros melalui Tim Ahli Cagar Budaya telah menetapkan Leang Panninge sebagai situs cagar budaya dan dilindungi undang-undang
"Sudah ada status hukumnya. Bupati Maros juga sudah menetapkan daerah itu sebagai situs cagar budaya, dan paling penting mari kita jaga dan lestarikan bersama," tambahnya.
"Sampai saat ini masih terus diteliti. Ke depan saya berharap sekali, kita bisa membuat sampel atau melakukan tes DNA (Deoxyribonucleic Acid) bahwa penduduk utamanya Suku Bugis Makassar, apakah punya hubungan DNA atau tidak dengan penemuan kerangka ini," kata peneliti dan juga arkeolog Unhas, Iwan Sumantri, saat dihubungi di Makassar, Kamis (2/9).
Penemuan itu diawali pada 2015 dengan penelitian diinisiasi Prof Akin Duli selalu Dekan FIB Unhas bersama para peneliti dan arkelog beserta tim dari Universitas Sains Malaysia melakukan eksplorasi bagian depan lokasi teras Leang Panninge.
Hasil eksplorasi itu ditemukan fosil kerangka manusia purba modern. Sebagai bentuk penghargaan dan kesepakatan para peneliti, fosil kerangka itu dinamai "Besse", julukan khas bagi anak perempuan Suku Bugis. Namun proses ekskavasi tidak bisa dilanjutkan karena adanya suatu keterbatasan.
Pada 2017, ekskavasi dilanjutkan dengan pengupasan dinding luar lokasi kerangka itu berdiam. Pada 2018, "Besse" yang diperkirakan berusia 17-18 tahun saat meninggal, diangkat untuk diteliti lebih lanjut. Pada 2019, penelitian kembali dilanjutkan atas kerja sama Griffith University Australia, Puslit Arkenas Balar, Unhas, serta BPCB dengan melakukan perluasan dan pendalaman galian di lokasi hingga berhasil mengumpulkan lebih banyak sampel untuk pertanggalan sekaligus meneliti DNA
"Ditemukan rangka di situ, diambil pada bagian tengkorak karena masih tersimpan jejak DNA, kita ambil tulang Petros, (tulang) telinga bagian dalam di bagian pelipis tengkorak, ternyata masih ada DNA. Ini prestasi besar," katanya.
Sampel DNA itu dikirim ke Max Planck Instititue di Jerman untuk dianalisis. Hasilnya, mengandung genetik nenek moyang sama dengan orang Papua Nugini, Aborigin di Australia, serta diketahui merupakan spesies lain dari Homo Sapiens atau manusia purba Denisovan yang pernah ditemukan di Siberia pada 2010.
Ia menjelaskan tentang hal yang menjadi pertanyaan mengapa DNA "Besse" bisa bertahan di iklim tropis di Indonesia atau lokasi penemuan Leang Panninge. Tentunya, diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menemukan data baru, terkait DNA tersebut menegaskan bahwa bukan sepenuhnya penduduk asli Sulsel tetapi ada genetik lain dibawa dari luar ke Sulsel.
Persebaran manusia di kawasan Wallacea, kata dia, tentu membuka peluang menelusuri keberadaan Denisovan. Melihat lokasi tempat tinggal "Besse", secara morfologi gua yang ditempatinya bisa dijadikan tempat bermukim pada ribuan tahun lalu.
Bila melihat hasil temuan ini, pada masa itu ada perlakuan saat proses penguburan orang mati sejak 7.200 tahun lalu. Rangka ditemukan selain tengkorak remuk, ada pula beberapa potong tulang panjang dengan posisi kerangka terlipat. Ditemukan pula artefak, alat perburuan budaya kuno Suku Toalean atau Austronesian yang berdekatan dengan kerangka "Besse".
Temuan ini cukup fantastis, karena sangat jarang sekali ada DNA terawetkan di dalam kerangka Besse, sebab negara tropis sangat sulit menyimpan genom DNA, sehingga menjadi analisis DNA yang pertama di Maros, dan Indonesia.
Dilansir dari laporan jurnal Nature, yang diterbitkan pada 25 Agustus 2021, "Besse" ditemukan pada 2015 terkubur dalam posisi janin di Leang Panninge, gua prasejarah bebatuan kapur di Kabupaten Maros. Kawasan itu masih merupakan bagian wilayah Wallacea.
Posisinya fosil digambarkan dengan punggung melengkung, kepala menunduk, dan tangan dan kaki dilipat ke dekat torso. Para penulis di jurnal ini menyebut, pertama kalinya ditemukan DNA manusia purba di wilayah itu.
"Besse" juga dianggap bagian dari orang Toal, karena saat ditemukan, di sampingnya terdapat alat-alat jenis Toalean, alat yang dipakai orang Toal.
"Ini memberikan bukti kuat terkait hubungan 'Besse' dengan orang-orang Toal yang kurang dikenal ini," kata arkeolog Australian National University di Canberra, Shimona Kealy, dalam jurnal itu.
Wallacea juga dianggap sebagai daerah pintu gerbang yang dilalui nenek moyang orang Papua dan Aborigin Australia modern. Namun demikian, sangat sedikit sisa-sisa penemuan manusia purba yang ditemukan di lokasi setempat.
Secara terpisah, Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sulsel Laode Muhammad Aksa menegaskan pihaknya sudah berkomunikasi dengan tim peneliti kerangka tersebut, termasuk berupaya melindungi lokasi Leang Panninge, di mana "Besse" bersemayam.
"Tahun 2019 lalu, kami telah menugaskan juru pelihara untuk menjaga pelestarian, termasuk pengamanan di sana. Tahun kemarin (2020, red.) kami sudah membuat zonasi terhadap lokasi yang dilindungi itu. Sebab banyak juga kebun masyarakat di sana serta wisatawan masuk di sekitar Leang," katanya.
Pemerintah Kabupaten Maros melalui Tim Ahli Cagar Budaya telah menetapkan Leang Panninge sebagai situs cagar budaya dan dilindungi undang-undang
"Sudah ada status hukumnya. Bupati Maros juga sudah menetapkan daerah itu sebagai situs cagar budaya, dan paling penting mari kita jaga dan lestarikan bersama," tambahnya.