Padang (ANTARA) - Setiap bahan pangan memiliki umur simpan yang berbeda-beda. Pangan yang disimpan dalam jangka waktu yang lama, akan mengalami perubahan baik perubahan fisik maupun kimia. Perubahan fisik yang sering kita amati pada pangan adalah pembusukan. Pembusukan timbul karena adanya kontaminasi dari mikroba patogen.
Kontaminasi tersebut mengakibatkan perubahan struktur maupun tekstur pada pangan. Mikroba patogen sangat berbahaya bagi kesehatan. Selain perubahan fisik, pangan yang disimpan dalam waktu yang lama tanpa menerapkan teknologi pengolahan pangan yang benar, akan dapat mempengaruhi sifat organoleptik pangan seperti warna, bau ataupun rasa. Dampak negatif jika pangan tidak menerapkan prinsip rekayasa proses adalah terjadinya berbagai perubahan pada produk pangan, seperti penurunan nilai gizi serta mutu sensori pangan.
Siapa yang tidak mengenal Rendang? Pangan ini cukup familiar di kalangan masyarakat Sumatera barat, baik Pariaman, Padang ataupun wilayah sekitarnya. Rendang atau dikenal dengan “Randang” di daerah Sumbar sangat identik dengan rasa rempahnya yang khas, warnanya yang coklat, dagingnya yang empuk. Bumbu rendang dengan kandungan rempah-rempah pilihan membuat pangan ini memiliki rasa dan aroma yang khas ketika disantap.
Tidak hanya bagi masyarakat Sumbar, rendang juga diminati oleh masyarakat luar Sumatera Barat. Mengapa tidak, rendang adalah salah satu menu favorit di rumah makan Padang yang selalu kita temui. Seperti kita tahu, masyarakat minang sebagian besar sudah merantau dari zaman dahulunya, dan menyebar di berbagai wilayah, tidak hanya di dalam negeri, tetapi beberapa juga dapat di jumpai di luar negeri.
Selama ini rendang dikenal sebagai pangan yang cukup awet karena kandungan air pada pangan ini cukup rendah. Perlu kita ketahui air pada produk pangan merupakan salah satu faktor yang dapat memicu tumbuhnya mikroba pembusuk pada pangan. Kandungan air ini dimanfaatkan oleh mikroba pembusuk pangan (mikroba patogen) untuk tumbuh.
Berbagai penelitian menyebutkan, alasan mengapa rendang cukup awet disimpan pada suhu ruang (kurang lebih 7-10 hari), hal ini disebabkan karena selain kandungan air yang rendah karena proses pemanasan, faktor lain yang juga mempengaruhi keawetan produk ini adalah kandungan rempah pada bumbu rendang seperti merica, ketumbar, jahe, bawang putih, dan bumbu lainnya yang memiliki aktivitas antimikroba sehingga pertumbuhan mikroba patogen pembusuk pangan menjadi terhambat. Ketika tidak adanya pertumbuhan mikroba pembusuk pangan, tentunya pangan tersebut akan memiliki umur simpan yang lebih lama.
Namun, berbagai upaya terus dilakukan agar produk pangan rendang ini dapat disimpan dalam waktu yang lebih lama. Seiring dengan kemajuan teknologi pengolahan pangan, banyak penelitian yang dilakukan untuk memperpanjang umur simpan produk pangan. Umur simpan rendang dapat diperpanjang dalam waktu yang semakin lama (5-6 bulan penyimpanan atau lebih) yaitu dengan menerapkan prinsip-prinsip rekayasa pangan.
Teknik rekayasa proses dapat menambah nilai mutu pada produk pangan, baik sari segi aspek kualitas, rasa maupun gizi. Seperti kita ketahui daging merupakan bahan pangan yang memiliki kandungan air yang cukup tinggi sehingga pada kondisi ini mikroba patogen yang dominan sebagai pembusuk adalah bakteri. Daging dan produk olahannya yang telah rusak dapat mengandung bakteri patogen (bakteri yang dapat menyebabkan penyakit).
Contoh bakteri yang bersifat patogen pada daging adalah Salmonella sp. yang dapat menyebabkan gangguan pencernaan, Clostridium perfringens yang dapat menyebabkan sakit perut dan diare, Staphylococcus aureus yang menghasilkan racun enterotoksin yang dapat menyebabkan gejala keracunan seperti kekejangan pada perut dan muntah-muntah, dan Clostridium botulinum yang dapat menyebabkan keracunan fatal ditandai dengan lesu, sakit kepala, pusing, muntah dan diare.
Sejak zaman dahulu masyarakat telah menerapkan salah satu teknik rekayasa proses pada pangan yaitu teknik pemanasan (heating). Pemberian suhu tinggi pada pengolahan dan pengawetan pangan didasarkan kepada kenyataan bahwa pemberian panas yang cukup dapat membunuh sebagian besar mikroba dan menginaktifkan enzim. Pemanasan mengakibatkan efek mematikan terhadap mikroba. Efek yang ditimbulkannya tergantung dari intensitas panas dan lamanya. Semakin tinggi suhu yang diberikan, maka pertumbuhan mikroba patogen semakin terhambat. Namun penggunaan suhu yang terlalu tinggi tidak dapat diterapkan pada produk rendang ini, karena dapat mempengaruhi aspek rasa dan kualitas produk ini.
Pengolahan rendang dilakukan dengan menggunakan Teknik Shewing (menggulai). Stewing adalah mengolah bahan makanan yang terlebih dahulu ditumis bumbunya, dan direbus dengan cairan yang berbumbu dengan api sedang. Pada proses stewing ini, cairan yang dapat digunakan yaitu susu, santan, dan kaldu. Dalam pembuatan rendang oleh masyarakat Minang, cairan yang digunakan tentunya adalah santan yang menambah cita rasa gurih dan aroma pada produk pangan ini. Cairan dapat dikentalkan sebelum atau selama proses stewing berlangsung.
Untuk mengolah makanan dengan teknik ini, perlu memperhatikan beberapa hal, diantaranya adalah daging harus diblansir (blansing) terlebih dahulu dalam air mendidih, agar kotorannya hilang. Blansing merupakan suatu cara pemanasan pendahuluan atau perlakuan pemanasan tipe pasteurisasi yang dilakukan pada suhu kurang dari 1000C selama beberapa menit, dengan menggunakan air panas atau uap. Biasanya suhu yang digunakan sekitar 82 – 93 oC selama 3 – 5 menit. Potongan daging juga dapat mempengaruhi waktu pemasakan.
Untuk memperpanjang umur simpan dalam waktu yang lebih lama, tidak hanya dalam waktu 1-2 minggu, pangan ini juga dapat bertahan dalam waktu 6 bulan atau bahkan hampir 1 tahun. Salah satu teknik rekayasa pangan yang dapat diaplikasikan pada produk rendang ini adalah teknik freezing pada produk rendang yang menggunakan teknologi smart packaging yaitu menggunakan Pengemas vakum (vacuum sealer).
Pentingnya kita mengetahui, mikroba pembusuk pangan tidak hanya mengandalkan air yang terkandung dalam bahan pangan untuk tumbuh, tetapi juga memanfaatkan Oksigen (O2) untuk berkembang biak. Pengurangan kadar O2 pada pangan dapat dilakukan dengan mengaplikasikan teknik vakum pada pangan. Untuk semakin memperpanjang umur simpan rendang, teknik penyimpanan dengan kemasan Vakum dapat dikombinasikan dengan teknik freezing (pembekuan). Teknik pembekuan mempunyai dua prinsip, yang pertama yaitu Suhu yang sangat rendah dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme dan memperlambat aktivitas enzim dan reaksi kimiawi. Prinsip kedua yaitu terjadinya pembentukan kristal es pada pangan, sehingga dapat menurunkan ketersediaan air bebas di dalam pangan, hal ini lah yang mengakibatkan pertumbuhan mikroorganisme menjadi terhambat.
Pada skala domestik, pangan yang akan dibekukan diletakkan di dalam freezer, dimana akan terjadi proses pindah panas yang berlangsung secara konduksi (untuk pengeluaran panas dari produk). Proses ini berlangsung selama beberapa jam, tergantung pada kondisi bahan pangan yang akan dibekukan. Di industri pangan, telah dikembangkan metode pembekuan lainnya untuk mempercepat proses pembekuan yang memungkinkan produk membeku dalam waktu yang pendek.
Pembekuan cepat akan menghasilkan kristal es berukuran kecil sehingga akan meminimalkan kerusakan tekstur bahan yang dibekukan. Selain itu, proses pembekuan cepat juga menyebabkan terjadinya kejutan dingin (freeze shock) pada mikroorganisme dan tidak terjadi tahap adaptasi mikroorganisme dengan perubahan suhu sehingga mengurangi risiko pertumbuhan mikroorganisme selama proses pembekuan berlangsung.
Penulis adalah Mahasiswa Magister Ilmu Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor
Kontaminasi tersebut mengakibatkan perubahan struktur maupun tekstur pada pangan. Mikroba patogen sangat berbahaya bagi kesehatan. Selain perubahan fisik, pangan yang disimpan dalam waktu yang lama tanpa menerapkan teknologi pengolahan pangan yang benar, akan dapat mempengaruhi sifat organoleptik pangan seperti warna, bau ataupun rasa. Dampak negatif jika pangan tidak menerapkan prinsip rekayasa proses adalah terjadinya berbagai perubahan pada produk pangan, seperti penurunan nilai gizi serta mutu sensori pangan.
Siapa yang tidak mengenal Rendang? Pangan ini cukup familiar di kalangan masyarakat Sumatera barat, baik Pariaman, Padang ataupun wilayah sekitarnya. Rendang atau dikenal dengan “Randang” di daerah Sumbar sangat identik dengan rasa rempahnya yang khas, warnanya yang coklat, dagingnya yang empuk. Bumbu rendang dengan kandungan rempah-rempah pilihan membuat pangan ini memiliki rasa dan aroma yang khas ketika disantap.
Tidak hanya bagi masyarakat Sumbar, rendang juga diminati oleh masyarakat luar Sumatera Barat. Mengapa tidak, rendang adalah salah satu menu favorit di rumah makan Padang yang selalu kita temui. Seperti kita tahu, masyarakat minang sebagian besar sudah merantau dari zaman dahulunya, dan menyebar di berbagai wilayah, tidak hanya di dalam negeri, tetapi beberapa juga dapat di jumpai di luar negeri.
Selama ini rendang dikenal sebagai pangan yang cukup awet karena kandungan air pada pangan ini cukup rendah. Perlu kita ketahui air pada produk pangan merupakan salah satu faktor yang dapat memicu tumbuhnya mikroba pembusuk pada pangan. Kandungan air ini dimanfaatkan oleh mikroba pembusuk pangan (mikroba patogen) untuk tumbuh.
Berbagai penelitian menyebutkan, alasan mengapa rendang cukup awet disimpan pada suhu ruang (kurang lebih 7-10 hari), hal ini disebabkan karena selain kandungan air yang rendah karena proses pemanasan, faktor lain yang juga mempengaruhi keawetan produk ini adalah kandungan rempah pada bumbu rendang seperti merica, ketumbar, jahe, bawang putih, dan bumbu lainnya yang memiliki aktivitas antimikroba sehingga pertumbuhan mikroba patogen pembusuk pangan menjadi terhambat. Ketika tidak adanya pertumbuhan mikroba pembusuk pangan, tentunya pangan tersebut akan memiliki umur simpan yang lebih lama.
Namun, berbagai upaya terus dilakukan agar produk pangan rendang ini dapat disimpan dalam waktu yang lebih lama. Seiring dengan kemajuan teknologi pengolahan pangan, banyak penelitian yang dilakukan untuk memperpanjang umur simpan produk pangan. Umur simpan rendang dapat diperpanjang dalam waktu yang semakin lama (5-6 bulan penyimpanan atau lebih) yaitu dengan menerapkan prinsip-prinsip rekayasa pangan.
Teknik rekayasa proses dapat menambah nilai mutu pada produk pangan, baik sari segi aspek kualitas, rasa maupun gizi. Seperti kita ketahui daging merupakan bahan pangan yang memiliki kandungan air yang cukup tinggi sehingga pada kondisi ini mikroba patogen yang dominan sebagai pembusuk adalah bakteri. Daging dan produk olahannya yang telah rusak dapat mengandung bakteri patogen (bakteri yang dapat menyebabkan penyakit).
Contoh bakteri yang bersifat patogen pada daging adalah Salmonella sp. yang dapat menyebabkan gangguan pencernaan, Clostridium perfringens yang dapat menyebabkan sakit perut dan diare, Staphylococcus aureus yang menghasilkan racun enterotoksin yang dapat menyebabkan gejala keracunan seperti kekejangan pada perut dan muntah-muntah, dan Clostridium botulinum yang dapat menyebabkan keracunan fatal ditandai dengan lesu, sakit kepala, pusing, muntah dan diare.
Sejak zaman dahulu masyarakat telah menerapkan salah satu teknik rekayasa proses pada pangan yaitu teknik pemanasan (heating). Pemberian suhu tinggi pada pengolahan dan pengawetan pangan didasarkan kepada kenyataan bahwa pemberian panas yang cukup dapat membunuh sebagian besar mikroba dan menginaktifkan enzim. Pemanasan mengakibatkan efek mematikan terhadap mikroba. Efek yang ditimbulkannya tergantung dari intensitas panas dan lamanya. Semakin tinggi suhu yang diberikan, maka pertumbuhan mikroba patogen semakin terhambat. Namun penggunaan suhu yang terlalu tinggi tidak dapat diterapkan pada produk rendang ini, karena dapat mempengaruhi aspek rasa dan kualitas produk ini.
Pengolahan rendang dilakukan dengan menggunakan Teknik Shewing (menggulai). Stewing adalah mengolah bahan makanan yang terlebih dahulu ditumis bumbunya, dan direbus dengan cairan yang berbumbu dengan api sedang. Pada proses stewing ini, cairan yang dapat digunakan yaitu susu, santan, dan kaldu. Dalam pembuatan rendang oleh masyarakat Minang, cairan yang digunakan tentunya adalah santan yang menambah cita rasa gurih dan aroma pada produk pangan ini. Cairan dapat dikentalkan sebelum atau selama proses stewing berlangsung.
Untuk mengolah makanan dengan teknik ini, perlu memperhatikan beberapa hal, diantaranya adalah daging harus diblansir (blansing) terlebih dahulu dalam air mendidih, agar kotorannya hilang. Blansing merupakan suatu cara pemanasan pendahuluan atau perlakuan pemanasan tipe pasteurisasi yang dilakukan pada suhu kurang dari 1000C selama beberapa menit, dengan menggunakan air panas atau uap. Biasanya suhu yang digunakan sekitar 82 – 93 oC selama 3 – 5 menit. Potongan daging juga dapat mempengaruhi waktu pemasakan.
Untuk memperpanjang umur simpan dalam waktu yang lebih lama, tidak hanya dalam waktu 1-2 minggu, pangan ini juga dapat bertahan dalam waktu 6 bulan atau bahkan hampir 1 tahun. Salah satu teknik rekayasa pangan yang dapat diaplikasikan pada produk rendang ini adalah teknik freezing pada produk rendang yang menggunakan teknologi smart packaging yaitu menggunakan Pengemas vakum (vacuum sealer).
Pentingnya kita mengetahui, mikroba pembusuk pangan tidak hanya mengandalkan air yang terkandung dalam bahan pangan untuk tumbuh, tetapi juga memanfaatkan Oksigen (O2) untuk berkembang biak. Pengurangan kadar O2 pada pangan dapat dilakukan dengan mengaplikasikan teknik vakum pada pangan. Untuk semakin memperpanjang umur simpan rendang, teknik penyimpanan dengan kemasan Vakum dapat dikombinasikan dengan teknik freezing (pembekuan). Teknik pembekuan mempunyai dua prinsip, yang pertama yaitu Suhu yang sangat rendah dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme dan memperlambat aktivitas enzim dan reaksi kimiawi. Prinsip kedua yaitu terjadinya pembentukan kristal es pada pangan, sehingga dapat menurunkan ketersediaan air bebas di dalam pangan, hal ini lah yang mengakibatkan pertumbuhan mikroorganisme menjadi terhambat.
Pada skala domestik, pangan yang akan dibekukan diletakkan di dalam freezer, dimana akan terjadi proses pindah panas yang berlangsung secara konduksi (untuk pengeluaran panas dari produk). Proses ini berlangsung selama beberapa jam, tergantung pada kondisi bahan pangan yang akan dibekukan. Di industri pangan, telah dikembangkan metode pembekuan lainnya untuk mempercepat proses pembekuan yang memungkinkan produk membeku dalam waktu yang pendek.
Pembekuan cepat akan menghasilkan kristal es berukuran kecil sehingga akan meminimalkan kerusakan tekstur bahan yang dibekukan. Selain itu, proses pembekuan cepat juga menyebabkan terjadinya kejutan dingin (freeze shock) pada mikroorganisme dan tidak terjadi tahap adaptasi mikroorganisme dengan perubahan suhu sehingga mengurangi risiko pertumbuhan mikroorganisme selama proses pembekuan berlangsung.
Penulis adalah Mahasiswa Magister Ilmu Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor