Padang (ANTARA) - Pada Jumat 20 November 2020 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim mengizinkan pemerintah daerah untuk memutuskan membuka sekolah atau kegiatan belajar tatap muka di seluruh zona risiko virus corona mulai Januari 2021.
Hal ini menjadi angin segar bagi orang tua siswa tentunya, tapi di lain sisi keputusan Menteri ini menjadi momok bagi orang tua siswa, mengingat kasus COVID 19 masih merajalela dan sekolah dapat menjadi salah satu klaster penyebaran virus tersebut.
Nadiem mengatakan keputusan pembukaan sekolah akan diberikan kepada tiga pihak yaitu, pemerintah daerah, kantor wilayah (kanwil), dan orang tua melalui komite sekolah.
Hal ini mengundang banyak perbincangan yang ramai dari orang tua maupun pelajar yang menanggapi tentang keputusan Nadiem tersebut.
Banyak juga yang menganggap keputusan Nadiem tersebut sudah tepat dan layak untuk di laksanakan di 2021 untuk melaksanakan sekolah tatap muka, namun ada juga yang menanggapi bahwa keputusan pembukaan sekolah lagi tidak efektif mengingat masih mewabahnya dan meningkatnya COVID-19di Indonesia saat ini.
Beberapa orang beranggapan jika sekolah dibuka kembali nanti di 2021, angka penyebaran corona meningkat dan penyebaran terbanyak otomatis di sekolah sehingga akan lebih baik sekolah di tutup kembali dan kembali sekolah daring.
Ini menjadi perhatian penting nantinya yang harus diperhatikan dengan matang sekali, kesalahan dalam mengambil langkah yang tepat akan menimbulkan resiko yang fatal nantinya.
Namun jika pembelajaran masih dilakukan dengan jarak jauh kembali juga menimbulkan dampak negatif, beberapa hal seperti kendala tumbuh kembang anak yang membuat anak cenderung hanya berpaku pada HP saja dan tidak tumbuh dengan lingkungannya, kondisi mental karena selalu ditekan tugas yang menumpuk dan kesehatan mata anak akan terganggu akibat selalu fokus melihat layar gawai.
Kemudian tekanan psikososial yang menyebabkan anak-anak akan cepat stres di usia muda, dan kekerasan yang tidak terdeteksi, kemudian ancaman putus sekolah karena tidak semua anak yang mampu untuk membeli hp atau alat penunjang belajar jarak jauh serta keberadaan akses jaringan internet yang tidak memadai setiap daerah, yang menyebabkan beberapa siswa harus menempuh perjalanan jauh untuk melakukan sekolah daring.
Namun jika sekolah diizinkan kembali dibuka, tingkat risiko penularan COVID-19 akan semakin meningkat dengan cepat, sifat malas yang muncul karena terbiasa dengan suasana di rumah, kondisi psikososial siswa yang cenderung sudah terbiasa untuk bertatapan dengan gawai sendiri sehingga timbul rasa malas maupun minder untuk bergaul dengan teman sebayanya.
Penerapan protokol kesehatan yang nantinya tidak bisa terealisasi dengan benar karena anak-anak cenderung lebih senang untuk bergerak bebas dan abai terhadap protokol kesehatan.
Namun Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menegaskan bahwa memperbolehkan sekolah tatap muka kembali bukan mewajibkan.
Nadiem menegaskan keputusan ada pada tiga elemen yang ditetapkan tadi, pertimbangan baik buruknya kembali sekolah tatap muka di serahkan penuh ke pemerintah daerah, kantor wilayah dan orang tua melalui komite sekolah.
Karena mengingat zona tidak lagi menjadi patokan untuk kembali melaksanakan pembelajaran tatap muka. Jika daerah tersebut sudah dirasa aman dari penyebaran virus corona sehingga tidak menimbulkan masalah baru seperti nantinya setelah sekolah di buka langsung positif corona dan sekolah kembali ditutup dan pembelajaran dilakukan secara daring.
Dengan begitu perlu pertimbangan yang matang dan beberapa hal untuk melaksanakan sekolah tatap muka dengan benar menunggu situasi dan kondisi pandemi virus ini stabil dan normal lagi, atau melaksanakan sekolah tatap muka kembali, mengingat selama ini proses belajar anak tidak menentu dan cenderung siswa tidak paham dan melaksanakan sekolah daring dengan sungguh-sungguh, karena pelajaran yang disampaikan tidak dimengerti atau pun hal lainnya.
Penulis adalah mahasiswa Biologi Unand
Hal ini menjadi angin segar bagi orang tua siswa tentunya, tapi di lain sisi keputusan Menteri ini menjadi momok bagi orang tua siswa, mengingat kasus COVID 19 masih merajalela dan sekolah dapat menjadi salah satu klaster penyebaran virus tersebut.
Nadiem mengatakan keputusan pembukaan sekolah akan diberikan kepada tiga pihak yaitu, pemerintah daerah, kantor wilayah (kanwil), dan orang tua melalui komite sekolah.
Hal ini mengundang banyak perbincangan yang ramai dari orang tua maupun pelajar yang menanggapi tentang keputusan Nadiem tersebut.
Banyak juga yang menganggap keputusan Nadiem tersebut sudah tepat dan layak untuk di laksanakan di 2021 untuk melaksanakan sekolah tatap muka, namun ada juga yang menanggapi bahwa keputusan pembukaan sekolah lagi tidak efektif mengingat masih mewabahnya dan meningkatnya COVID-19di Indonesia saat ini.
Beberapa orang beranggapan jika sekolah dibuka kembali nanti di 2021, angka penyebaran corona meningkat dan penyebaran terbanyak otomatis di sekolah sehingga akan lebih baik sekolah di tutup kembali dan kembali sekolah daring.
Ini menjadi perhatian penting nantinya yang harus diperhatikan dengan matang sekali, kesalahan dalam mengambil langkah yang tepat akan menimbulkan resiko yang fatal nantinya.
Namun jika pembelajaran masih dilakukan dengan jarak jauh kembali juga menimbulkan dampak negatif, beberapa hal seperti kendala tumbuh kembang anak yang membuat anak cenderung hanya berpaku pada HP saja dan tidak tumbuh dengan lingkungannya, kondisi mental karena selalu ditekan tugas yang menumpuk dan kesehatan mata anak akan terganggu akibat selalu fokus melihat layar gawai.
Kemudian tekanan psikososial yang menyebabkan anak-anak akan cepat stres di usia muda, dan kekerasan yang tidak terdeteksi, kemudian ancaman putus sekolah karena tidak semua anak yang mampu untuk membeli hp atau alat penunjang belajar jarak jauh serta keberadaan akses jaringan internet yang tidak memadai setiap daerah, yang menyebabkan beberapa siswa harus menempuh perjalanan jauh untuk melakukan sekolah daring.
Namun jika sekolah diizinkan kembali dibuka, tingkat risiko penularan COVID-19 akan semakin meningkat dengan cepat, sifat malas yang muncul karena terbiasa dengan suasana di rumah, kondisi psikososial siswa yang cenderung sudah terbiasa untuk bertatapan dengan gawai sendiri sehingga timbul rasa malas maupun minder untuk bergaul dengan teman sebayanya.
Penerapan protokol kesehatan yang nantinya tidak bisa terealisasi dengan benar karena anak-anak cenderung lebih senang untuk bergerak bebas dan abai terhadap protokol kesehatan.
Namun Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menegaskan bahwa memperbolehkan sekolah tatap muka kembali bukan mewajibkan.
Nadiem menegaskan keputusan ada pada tiga elemen yang ditetapkan tadi, pertimbangan baik buruknya kembali sekolah tatap muka di serahkan penuh ke pemerintah daerah, kantor wilayah dan orang tua melalui komite sekolah.
Karena mengingat zona tidak lagi menjadi patokan untuk kembali melaksanakan pembelajaran tatap muka. Jika daerah tersebut sudah dirasa aman dari penyebaran virus corona sehingga tidak menimbulkan masalah baru seperti nantinya setelah sekolah di buka langsung positif corona dan sekolah kembali ditutup dan pembelajaran dilakukan secara daring.
Dengan begitu perlu pertimbangan yang matang dan beberapa hal untuk melaksanakan sekolah tatap muka dengan benar menunggu situasi dan kondisi pandemi virus ini stabil dan normal lagi, atau melaksanakan sekolah tatap muka kembali, mengingat selama ini proses belajar anak tidak menentu dan cenderung siswa tidak paham dan melaksanakan sekolah daring dengan sungguh-sungguh, karena pelajaran yang disampaikan tidak dimengerti atau pun hal lainnya.
Penulis adalah mahasiswa Biologi Unand