Padang (ANTARA) - Merintis usaha pembuatan tas dari nol, kini Anasrizal pemilik usaha konveksi Baceno yang berlokasi di Kota Padang terbilang sukses dengan keuntungan bersih hingga Rp10 juta per bulan yang melibatkan 10 karyawan.
Pria asal Sungai Limau Kabupaten Padang Pariaman itu memulai karirnya dengan bekerja pada kakak kandung yang juga pengusaha konveksi di Kawasan Ulak Karang Padang selama 10 tahun pada 1978-1988.
10 tahun bekerja dengan kakak, kemampuan Anasrizal membuat tas kian terasah hingga akhirnya pada penghujung 1987 ia memilih merintis usaha konveksi sendiri.
“Keinginan itu juga didorong oleh sang kakak yang menjadi inspirasi bagi saya untuk maju dan mandiri, termasuk istri,” ujarnya.
Dengan modal awal Rp175 ribu berasal dari tabungannya pada pertengahan 1989 ia pun memulai usaha konveksi dengan skala kecil.
Anasrizal memilih menyewa sepetak rumah di Jalan Bahari, Kampuang Tangah, Ulak Karang Padang, yang dijadikan sebagai tempat tinggal sekaligus tempat usaha konveksi.
“Untuk mesin jahit ketika itu saya sudah punya. Saya beli ketika masih bekerja di tempat konveksi kakak. Untuk tipe mesinnya masih 'dangdut' yaitu digerakkan dengan menggoyangkan kaki,” ujarnya.
Meski sudah memproduksi tas sendiri, ternyata tak mudah untuk memasarkannya. Bahkan ketika dijual ke Pasar Raya Padang, tak satu pun ada toko tas yang berminat. Berbagai alasan secara halus diungkapkan pemilik toko untuk menolak tas yang diproduksinya.
Kendati semua toko tas menolak, Anasrizal tak langsung menyerah. Saban hari ia pun terus mendatangi satu persatu toko tas yang ada di kawasan Pasar Raya Padang namun sayangnya hasilnya di luar dugaan.
Anasrizal pun kembali mendatangi beberapa toko tas di Pasar Raya Padang. Salah satunya toko tas di Pasar Fase VII yang berada di kompleks pertokoan Padang Teater. Kedatangannya kala itu, katanya, penuh dengan harapan, apalagi saat itu ia butuh uang untuk biaya makan keluarga.
“Karena butuh biaya untuk makan, saya tawarkan dengan harga murah, satu lusin Rp50 ribu, dan ada lima lusin yang saya punya. Pemilik toko berminat. Dari Rp50 ribu per lusin itu, saya dapat Rp2.000 untuk satu tas. Itu hanya upah dan bukan untung," kata bapak tujuh orang anak itu mengenang.
Meski tak berkembang, tapi sebagian dari hasil usaha tersebut dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari. Namun di pertengahan 1989, usaha yang baru mulai bangkit itu kembali diterpa persoalan pendapatan yang tak sesuai dengan kebutuhan, hingga akhirnya Anasrizal pun terpaksa menjadi pelaku usaha konveksi musiman.
“Saya buat tas hanya ketika tahun ajaran baru sekolah. Di luar itu, saya kembali bekerja dengan kakak. Maklum, ketika itu masih gamang untuk mandiri, meskipun istri sudah memotivasi dan juga ikut membantu mencari toko tas langganan yang menampung tas yang saya produksi. Istri pun ketika itu juga mengerti, kenapa saya kembali bekerja dengan kakak saya,” ujar Anasrizal.
Sebelum usaha konveksinya besar seperti sekarang ini, Anasrizal empat kali jatuh bangun. Penyebabnya, selain tidak punya modal yang cukup besar, persaingan pasar ketika itu juga sulit. Bahkan tak mudah untuk meraih simpati pemilik toko yang mau menampung tas yang diproduksi.
Usahanya mulai bangkit saat mendapatkan tawaran dari distributor tas di Pasar Raya Padang yang siap mendukung semua kebutuhan bahan baku untuk membuat tas, asalkan semua tas yang diproduksi harus dijual kepada distributor tersebut.
Pinjaman Lunak
Usaha Anasrizal untuk merintis konveksi tas terus menampakkan hasil. Bahkan ia pun terus berusaha mencari pinjaman modal usaha kepada berbagai bank.
Namun karena prosesnya cukup rumit, keinginan untuk mendapatkan pinjaman dari bank gagal, hingga akhirnya di 2003 ia mendapat informasi adanya pinjaman lunak dari Semen Padang.
Pada awal 2004 Anasrizal bertemu dengan seorang karyawan PT Semen Padang yang sudah pensiun beberapa tahun lalu. Namanya Syafrizal yang merupakan teman sekolah adiknya.
Ia pun kemudian menanyakan soal program pinjaman lunak di Semen Padang. Gayung pun bersambut, ternyata Syafrizal merupakan orang yang tepat di saat dirinya sedang membutuhkan bantuan pinjaman lunak untuk memodal usahanya.
“Pinjaman lunak di Semen Padang itu ternyata bagian dari pekerjaan Syafrizal. Dengan senang hati, Syafrizal langsung membantu saya, termasuk membantu membuatkan surat permohonan pinjaman modal usaha ke Semen Padang,” katanya.
Sejak 2004 hingga sekarang, sudah lima kali Anasrizal mendapatkan pinjaman modal usaha dari CSR Semen Padang. Pada pinjaman pertama tahun 2004, yaitu sebesar Rp7 juta dengan lama cicilan dua tahun. Semua pinjaman itu dimanfaatkannya untuk beli bahan tas.
Begitu modal usaha sudah ada, hubungan Anasrizal dengan distributor tas di Pasar Raya pun berakhir. Namun di balik itu, pesanan pembuatan tas untuk seminar dari berbagai instansi pun mulai meningkat dan sejalan dengan pendapatannya, sehingga tak butuh waktu dua tahun bagi Anasrizal untuk melunasi pinjaman ke CSR Semen Padang.
Hanya dalam waktu 19 bulan ia bisa melunasi. Begitu lunas, ia pun kembali mengajukan pinjaman untuk periode kedua dengan besar modal yang dipinjam lebih dari dua kali lipat dengan pinjaman pertama yaitu sebesar Rp15 juta.
"Kata pihak CSR Semen Padang ketika itu, saya bisa dapat pinjaman modal Rp15 juta, karena grafik usaha saya cukup bagus,” ujarnya.
Tak puas dengan perkembangan usahanya yang terus menanjak, Anasrizal kemudian kembali mengajukan pinjaman ke CSR Semen Padang untuk ketiga kalinya. Bahkan pada pinjaman ke tiga tersebut, jumlahnya mencapai Rp30 juta. Setelah lunas, ia pun kembali mengajukan pinjaman sebesar Rp40 juta, dan Rp50 juta untuk tahap kelima.
Uang dari pinjaman itu kemudian dibelikannya ke mesin jahit sebanyak tiga unit dengan merek Brother dan Tipical yang merupakan mesin jahit kualitas bagus. Sedangkan sisanya, digunakan untuk membeli bahan tas.
“Semua pinjaman saya gunakan untuk mengembangkan usaha. Bahkan tak ada satu persen pun yang digunakan untuk biaya makan,” katanya lagi.
Tinggal dan berusaha di Jalan Veteran yang merupakan jalur lintas yang cukup padat, ternyata menjadi peluang bagi Anasrizal dan keluarganya untuk terus maju dan berkembang. Bahkan seiring perkembangan usaha konveksi Tas Baceno, ia pun perlahan-lahan namun pasti juga melakukan ekspansi ke usaha lainnya, yaitu kuliner.
Saat ini Anasrizal sudah punya rumah makan Mak Yuih yang lokasinya berada di samping kiri tempat usaha konveksi Tas Baceno.
“Rumah makan itu dikelola oleh istri dan anak saya. Semua karyawan di Rumah Makan Mak Yuih juga orang kampung saya," ungkap Anasrizal.
Bertahan
Di tengah pandemi saat ini usaha konveksi Tas Baceno, Anasrizal memang tak begitu mulus, namun untuk bisa tetap bertahan. Ia pun terpaksa merumahkan beberapa orang karyawannya.
"Selama ini konveksi Tas Baceno hanya melayani pesanan instansi, seperti tas untuk seminar, pertemuan, dan lainnya. Jadi karena pandemi hampir semua instansi tidak ada lagi mengadakan seminar dan tentunya berdampak kepada usaha saya. Makanya untuk sementara, karyawan saya rumahkan dulu," katanya.
Namun begitu ia masih bersyukur karena masih ada usaha rumah makan yang bisa menopang kebutuhannya sekeluarga.
"Rumah Makan Mak Yuih ini siang hingga sore saya manfaatkan untuk jualan nasi, malamnya saya manfaatkan untuk jual lontong malam. Ini dilakukan agar ekonomi saya tetap survive di tengah pandemi saat ini," ujarnya.
Sementara itu istri Anasrizal, Yusni Mardalena, mengatakan, selain rumah makan, mereka pun juga mempunyai sejumlah aset berupa satu unit rumah di Muaro Kasang, dan satu bidang tanah di Jalan Bypass Pariaman dan di Ketaping. Untuk luas bidang tanah tersebut masing-masing 300 meter persegi.
“Apa yang ada saat ini merupakan buah dari kerja keras suami saya yang selama tiga dekade terus berusaha untuk maju dan berkembang. Dan tentu semuanya itu juga dibarengi dengan doa kepada Allah Subhanahu Wa Taála. Alhamdulillah, doa yang kami panjatkan kepada Yang maha Kuasa itu dikabulkan,” kata Yusni.
Pria asal Sungai Limau Kabupaten Padang Pariaman itu memulai karirnya dengan bekerja pada kakak kandung yang juga pengusaha konveksi di Kawasan Ulak Karang Padang selama 10 tahun pada 1978-1988.
10 tahun bekerja dengan kakak, kemampuan Anasrizal membuat tas kian terasah hingga akhirnya pada penghujung 1987 ia memilih merintis usaha konveksi sendiri.
“Keinginan itu juga didorong oleh sang kakak yang menjadi inspirasi bagi saya untuk maju dan mandiri, termasuk istri,” ujarnya.
Dengan modal awal Rp175 ribu berasal dari tabungannya pada pertengahan 1989 ia pun memulai usaha konveksi dengan skala kecil.
Anasrizal memilih menyewa sepetak rumah di Jalan Bahari, Kampuang Tangah, Ulak Karang Padang, yang dijadikan sebagai tempat tinggal sekaligus tempat usaha konveksi.
“Untuk mesin jahit ketika itu saya sudah punya. Saya beli ketika masih bekerja di tempat konveksi kakak. Untuk tipe mesinnya masih 'dangdut' yaitu digerakkan dengan menggoyangkan kaki,” ujarnya.
Meski sudah memproduksi tas sendiri, ternyata tak mudah untuk memasarkannya. Bahkan ketika dijual ke Pasar Raya Padang, tak satu pun ada toko tas yang berminat. Berbagai alasan secara halus diungkapkan pemilik toko untuk menolak tas yang diproduksinya.
Kendati semua toko tas menolak, Anasrizal tak langsung menyerah. Saban hari ia pun terus mendatangi satu persatu toko tas yang ada di kawasan Pasar Raya Padang namun sayangnya hasilnya di luar dugaan.
Anasrizal pun kembali mendatangi beberapa toko tas di Pasar Raya Padang. Salah satunya toko tas di Pasar Fase VII yang berada di kompleks pertokoan Padang Teater. Kedatangannya kala itu, katanya, penuh dengan harapan, apalagi saat itu ia butuh uang untuk biaya makan keluarga.
“Karena butuh biaya untuk makan, saya tawarkan dengan harga murah, satu lusin Rp50 ribu, dan ada lima lusin yang saya punya. Pemilik toko berminat. Dari Rp50 ribu per lusin itu, saya dapat Rp2.000 untuk satu tas. Itu hanya upah dan bukan untung," kata bapak tujuh orang anak itu mengenang.
Meski tak berkembang, tapi sebagian dari hasil usaha tersebut dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari. Namun di pertengahan 1989, usaha yang baru mulai bangkit itu kembali diterpa persoalan pendapatan yang tak sesuai dengan kebutuhan, hingga akhirnya Anasrizal pun terpaksa menjadi pelaku usaha konveksi musiman.
“Saya buat tas hanya ketika tahun ajaran baru sekolah. Di luar itu, saya kembali bekerja dengan kakak. Maklum, ketika itu masih gamang untuk mandiri, meskipun istri sudah memotivasi dan juga ikut membantu mencari toko tas langganan yang menampung tas yang saya produksi. Istri pun ketika itu juga mengerti, kenapa saya kembali bekerja dengan kakak saya,” ujar Anasrizal.
Sebelum usaha konveksinya besar seperti sekarang ini, Anasrizal empat kali jatuh bangun. Penyebabnya, selain tidak punya modal yang cukup besar, persaingan pasar ketika itu juga sulit. Bahkan tak mudah untuk meraih simpati pemilik toko yang mau menampung tas yang diproduksi.
Usahanya mulai bangkit saat mendapatkan tawaran dari distributor tas di Pasar Raya Padang yang siap mendukung semua kebutuhan bahan baku untuk membuat tas, asalkan semua tas yang diproduksi harus dijual kepada distributor tersebut.
Pinjaman Lunak
Usaha Anasrizal untuk merintis konveksi tas terus menampakkan hasil. Bahkan ia pun terus berusaha mencari pinjaman modal usaha kepada berbagai bank.
Namun karena prosesnya cukup rumit, keinginan untuk mendapatkan pinjaman dari bank gagal, hingga akhirnya di 2003 ia mendapat informasi adanya pinjaman lunak dari Semen Padang.
Pada awal 2004 Anasrizal bertemu dengan seorang karyawan PT Semen Padang yang sudah pensiun beberapa tahun lalu. Namanya Syafrizal yang merupakan teman sekolah adiknya.
Ia pun kemudian menanyakan soal program pinjaman lunak di Semen Padang. Gayung pun bersambut, ternyata Syafrizal merupakan orang yang tepat di saat dirinya sedang membutuhkan bantuan pinjaman lunak untuk memodal usahanya.
“Pinjaman lunak di Semen Padang itu ternyata bagian dari pekerjaan Syafrizal. Dengan senang hati, Syafrizal langsung membantu saya, termasuk membantu membuatkan surat permohonan pinjaman modal usaha ke Semen Padang,” katanya.
Sejak 2004 hingga sekarang, sudah lima kali Anasrizal mendapatkan pinjaman modal usaha dari CSR Semen Padang. Pada pinjaman pertama tahun 2004, yaitu sebesar Rp7 juta dengan lama cicilan dua tahun. Semua pinjaman itu dimanfaatkannya untuk beli bahan tas.
Begitu modal usaha sudah ada, hubungan Anasrizal dengan distributor tas di Pasar Raya pun berakhir. Namun di balik itu, pesanan pembuatan tas untuk seminar dari berbagai instansi pun mulai meningkat dan sejalan dengan pendapatannya, sehingga tak butuh waktu dua tahun bagi Anasrizal untuk melunasi pinjaman ke CSR Semen Padang.
Hanya dalam waktu 19 bulan ia bisa melunasi. Begitu lunas, ia pun kembali mengajukan pinjaman untuk periode kedua dengan besar modal yang dipinjam lebih dari dua kali lipat dengan pinjaman pertama yaitu sebesar Rp15 juta.
"Kata pihak CSR Semen Padang ketika itu, saya bisa dapat pinjaman modal Rp15 juta, karena grafik usaha saya cukup bagus,” ujarnya.
Tak puas dengan perkembangan usahanya yang terus menanjak, Anasrizal kemudian kembali mengajukan pinjaman ke CSR Semen Padang untuk ketiga kalinya. Bahkan pada pinjaman ke tiga tersebut, jumlahnya mencapai Rp30 juta. Setelah lunas, ia pun kembali mengajukan pinjaman sebesar Rp40 juta, dan Rp50 juta untuk tahap kelima.
Uang dari pinjaman itu kemudian dibelikannya ke mesin jahit sebanyak tiga unit dengan merek Brother dan Tipical yang merupakan mesin jahit kualitas bagus. Sedangkan sisanya, digunakan untuk membeli bahan tas.
“Semua pinjaman saya gunakan untuk mengembangkan usaha. Bahkan tak ada satu persen pun yang digunakan untuk biaya makan,” katanya lagi.
Tinggal dan berusaha di Jalan Veteran yang merupakan jalur lintas yang cukup padat, ternyata menjadi peluang bagi Anasrizal dan keluarganya untuk terus maju dan berkembang. Bahkan seiring perkembangan usaha konveksi Tas Baceno, ia pun perlahan-lahan namun pasti juga melakukan ekspansi ke usaha lainnya, yaitu kuliner.
Saat ini Anasrizal sudah punya rumah makan Mak Yuih yang lokasinya berada di samping kiri tempat usaha konveksi Tas Baceno.
“Rumah makan itu dikelola oleh istri dan anak saya. Semua karyawan di Rumah Makan Mak Yuih juga orang kampung saya," ungkap Anasrizal.
Bertahan
Di tengah pandemi saat ini usaha konveksi Tas Baceno, Anasrizal memang tak begitu mulus, namun untuk bisa tetap bertahan. Ia pun terpaksa merumahkan beberapa orang karyawannya.
"Selama ini konveksi Tas Baceno hanya melayani pesanan instansi, seperti tas untuk seminar, pertemuan, dan lainnya. Jadi karena pandemi hampir semua instansi tidak ada lagi mengadakan seminar dan tentunya berdampak kepada usaha saya. Makanya untuk sementara, karyawan saya rumahkan dulu," katanya.
Namun begitu ia masih bersyukur karena masih ada usaha rumah makan yang bisa menopang kebutuhannya sekeluarga.
"Rumah Makan Mak Yuih ini siang hingga sore saya manfaatkan untuk jualan nasi, malamnya saya manfaatkan untuk jual lontong malam. Ini dilakukan agar ekonomi saya tetap survive di tengah pandemi saat ini," ujarnya.
Sementara itu istri Anasrizal, Yusni Mardalena, mengatakan, selain rumah makan, mereka pun juga mempunyai sejumlah aset berupa satu unit rumah di Muaro Kasang, dan satu bidang tanah di Jalan Bypass Pariaman dan di Ketaping. Untuk luas bidang tanah tersebut masing-masing 300 meter persegi.
“Apa yang ada saat ini merupakan buah dari kerja keras suami saya yang selama tiga dekade terus berusaha untuk maju dan berkembang. Dan tentu semuanya itu juga dibarengi dengan doa kepada Allah Subhanahu Wa Taála. Alhamdulillah, doa yang kami panjatkan kepada Yang maha Kuasa itu dikabulkan,” kata Yusni.