Jakarta (ANTARA) - Stres adalah sesuatu yang wajar, tapi waspadalah bila rasa tertekan ini berkepanjangan dan mengganggu aktivitas Anda. Kelelahan tak cuma menimpa orang yang bekerja, tapi dirasakan orangtua yang merasa jenuh ketika mengurus anak alias parental burnout.
Seperti apa tanda-tandanya?
Psikolog anak Saskhya Aulia Prima menuturkan beberapa pertanda parental burnout, diantaranya adalah merasa lelah secara fisik dan mental, merasa berjarak dengan anak. Orang yang mengalami parental burnout pun merasa tak lagi pantas jadi orangtua dan terbebani. Mengasuh anak tak lagi menyenangkan dan memberi kebahagiaan.
"Kalau kita tidak senang ketemu anak, kalau berinteraksi sama anak jadi gampang marah, merasa jadi orangtua seperti berat banget, saya tidak bisa jadi orangtua.. Kalau ada pikiran seperti itu, butuh konsultasi kepada ahli," kata Saskhya di gelar wicara daring bertajuk “Ibu Sehat, Keluarga Sehat”, Jumat (4/9) malam.
Jika itu terjadi, beristirahatlah sejenak dan cari waktu untuk diri demi melepas rasa penat.
Jika emosi sering terpantik saat mengasuh anak, coba tahan kemarahan dan ambil napas panjang untuk menenangkan diri. Cara ini berfungsi untuk "menipu" otak yang berpikir kemarahan sudah reda karena napas kembali teratur.
"Kalau mau marah, napas kita cepat. Coba tarik napas dalam dan hembuskan pelan-pelan sekitar lima kali sampai napas stabil dan kita siap untuk menghadapi anak," ujar dia.
Ada juga orang yang bisa lebih tenang setelah minum segelas air, atau bicara kepada diri sendiri untuk tidak "meledak", bahkan menghitung mundur hingga emosi kembali stabil.
Selain itu, berilah belas kasih kepada diri sendiri. Hargai pencapaian sekecil apapun dan nikmati ketidaksempurnaan. Tak perlu merasa selalu ada yang kurang dalam cara mendidik anak di tengah pandemi COVID-19.
"Atur pola pikir dan ekspektasi. Kita harus bersyukur bisa tetap bertahan, pikirkan mana yang bisa kita kontrol saja," katanya.
Anda bisa mencoba memeluk diri sendiri, lalu berterimakasih karena Anda bisa melewati hari-hari tanpa kendala yang berarti. Cari hal-hal yang bisa disyukuri di tengah masa adaptasi kebiasaan baru.
Penyanyi Raisa Andriana juga berbagi pengalamannya sebagai orangtua muda di tengah pandemi.
Raisa, yang mengaku dirinya termasuk pencemas, sempat merasa khawatir sebagai seorang ibu. Kadang dia berpikir apakah upayanya mengasuh sudah cukup untuk tumbuh kembang buah hati yang masih balita.
Mengingat ruang gerak yang terbatas, dia tak bisa mengajak putrinya ke tempat-tempat yang bisa membantu perkembangan anak.
"Aku merasa khawatir anak tidak cukup terstimulasi di rumah, lebih ke mom guilt," tutur Raisa.
Sisi baiknya, dia sudah memahami apa saja hal yang memicu kecemasannya. Saat itu terjadi, dia sudah tahu solusi yang harus dilakukan sehingga stres tidak menumpuk.
"Aku mengatasi stres dengan me time, juga bercerita ke orang-orang yang tidak menghakimi."
Dia berprinsip, kondisi jiwa raga yang optimal akan membantunya menciptakan rumah tangga yang bahagia.
"Sekarang rumah jadi tempat yang sangat penting. Kebahagiaan yang kudapat dari luar, dari pekerjaan, dari orang lain, paling enak dihabiskan di rumah," ujar dia.
Seperti apa tanda-tandanya?
Psikolog anak Saskhya Aulia Prima menuturkan beberapa pertanda parental burnout, diantaranya adalah merasa lelah secara fisik dan mental, merasa berjarak dengan anak. Orang yang mengalami parental burnout pun merasa tak lagi pantas jadi orangtua dan terbebani. Mengasuh anak tak lagi menyenangkan dan memberi kebahagiaan.
"Kalau kita tidak senang ketemu anak, kalau berinteraksi sama anak jadi gampang marah, merasa jadi orangtua seperti berat banget, saya tidak bisa jadi orangtua.. Kalau ada pikiran seperti itu, butuh konsultasi kepada ahli," kata Saskhya di gelar wicara daring bertajuk “Ibu Sehat, Keluarga Sehat”, Jumat (4/9) malam.
Jika itu terjadi, beristirahatlah sejenak dan cari waktu untuk diri demi melepas rasa penat.
Jika emosi sering terpantik saat mengasuh anak, coba tahan kemarahan dan ambil napas panjang untuk menenangkan diri. Cara ini berfungsi untuk "menipu" otak yang berpikir kemarahan sudah reda karena napas kembali teratur.
"Kalau mau marah, napas kita cepat. Coba tarik napas dalam dan hembuskan pelan-pelan sekitar lima kali sampai napas stabil dan kita siap untuk menghadapi anak," ujar dia.
Ada juga orang yang bisa lebih tenang setelah minum segelas air, atau bicara kepada diri sendiri untuk tidak "meledak", bahkan menghitung mundur hingga emosi kembali stabil.
Selain itu, berilah belas kasih kepada diri sendiri. Hargai pencapaian sekecil apapun dan nikmati ketidaksempurnaan. Tak perlu merasa selalu ada yang kurang dalam cara mendidik anak di tengah pandemi COVID-19.
"Atur pola pikir dan ekspektasi. Kita harus bersyukur bisa tetap bertahan, pikirkan mana yang bisa kita kontrol saja," katanya.
Anda bisa mencoba memeluk diri sendiri, lalu berterimakasih karena Anda bisa melewati hari-hari tanpa kendala yang berarti. Cari hal-hal yang bisa disyukuri di tengah masa adaptasi kebiasaan baru.
Penyanyi Raisa Andriana juga berbagi pengalamannya sebagai orangtua muda di tengah pandemi.
Raisa, yang mengaku dirinya termasuk pencemas, sempat merasa khawatir sebagai seorang ibu. Kadang dia berpikir apakah upayanya mengasuh sudah cukup untuk tumbuh kembang buah hati yang masih balita.
Mengingat ruang gerak yang terbatas, dia tak bisa mengajak putrinya ke tempat-tempat yang bisa membantu perkembangan anak.
"Aku merasa khawatir anak tidak cukup terstimulasi di rumah, lebih ke mom guilt," tutur Raisa.
Sisi baiknya, dia sudah memahami apa saja hal yang memicu kecemasannya. Saat itu terjadi, dia sudah tahu solusi yang harus dilakukan sehingga stres tidak menumpuk.
"Aku mengatasi stres dengan me time, juga bercerita ke orang-orang yang tidak menghakimi."
Dia berprinsip, kondisi jiwa raga yang optimal akan membantunya menciptakan rumah tangga yang bahagia.
"Sekarang rumah jadi tempat yang sangat penting. Kebahagiaan yang kudapat dari luar, dari pekerjaan, dari orang lain, paling enak dihabiskan di rumah," ujar dia.