Jakarta (ANTARA) - Pemilihan kepala daerah (pilkada) kembali digelar pada 2020, sesungguhnya pemilihan lima tahunan itu merupakan sesuatu yang normal dan sebuah rutinitas biasa saja dari demokrasi di tingkat daerah.

Pilkada serentak yang akan digelar di 270 daerah yang awalnya direncanakan pemungutan suaranya pada September 2020, dan Komisi Pemilihan Umum telah memulai tahapan penyelenggaraan sejak Oktober 2019.

Namun pada 2020, ternyata Pilkada jadi berbeda dan tidak biasa dibandingkan penyelenggaraan-penyelenggaraan periode sebelumnya oleh karena saat ini dunia termasuk Indonesia sedang dilanda pandemik COVID-19.

Sejak awal Januari, wabah ini awalnya terkonfirmasi berkembang di China hingga menjadi episentrum penyebaran, kemudian sejumlah negara lain ikut mengonfirmasi kasus yang sama.

Wabah ini ternyata menular dengan cepat melalui tetesan kecil atau droplet dari orang yang positif terjangkit COVID-19, dan kasus pertama di Indonesia dilaporkan pada awal Maret lalu.

Setelah kasus pertama tersebut, jumlah masyarakat yang positif COVID-19 kian hari kian meningkat, dan membuat pemerintah menyatakan status darurat bencana, sementara WHO pun menetapkan COVID-19 sebagai pandemik untuk dunia.

Mempertimbangkan situasi tersebut, KPU pada 21 Maret 2020 memutuskan untuk menunda tahapan pemilihan kepala daerah provinsi, kabupaten dan wali kota (pilkada) serentak sebagai upaya pencegahan penyebaran COVID-19.

Penundaan itu tertuang dalam Keputusan Nomor: 179/PL.02-Kpt/01/KPU/III/2020 dan Surat Edaran Nomor 8 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Keputusan KPU tersebut.

"Tahapan ditunda berdasarkan pernyataan resmi Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO terkait COVID-19 sebagai pandemi global," kata Ketua KPU Arief Budiman dalam surat edarannya.

Kemudian, penundaan itu juga berdasarkan pernyataan Presiden Joko Widodo tentang penyebaran COVID-19 sebagai bencana nasional non-alam, serta keputusan Kepala BNPB terkait perpanjangan status keadaan tertentu darurat bencana wabah penyakit akibat virus Corona di Indonesia.

Setelah ditunda selama tiga bulan lamanya karena mengingat kondisi ketika itu, akhirnya pemerintah, DPR dan penyelenggara pemilu sepakat memutuskan kembali melanjutkan tahapan, kemudian hari pemungutan juga bergeser menjadi 9 Desember 2020.

Tahapan Pilkada kembali dimulai pada hari ini Senin 15 Juni 2020, meskipun kurva COVID-19 belum melewati puncak pandemik atau belum melandai di Indonesia.

Pemerintah, DPR dan penyelenggara pemilu memiliki pertimbangan untuk menggelar kembali tahapan pilkada di tengah pandemik, salah satunya yakni soal tidak ada yang bisa memastikan bahwa pandemik akan segera berakhir atau benar-benar dapat berakhir.

Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengatakan Pilkada bisa dilaksanakan di tengah pandemik, hal itu berkaca dari negara lain yang berhasil menyelenggarakannya seperti Korea Selatan.

Korea Selatan kata dia sukses menyelenggarakan pemilu legislatifnya meski sedang berada dalam situasi pandemik COVID-19.

"Pemilu legislatif nasional di Korea Selatan terlaksana pada tanggal 15 April lalu, tapi tahapan-tahapannya sudah dimulai dari Januari, Februari, Maret pada saat puncak pandemik di Korea dan justru angkanya sedang meningkat pada saat itu,” ujarnya.

Apa yang dilakukan oleh Korea Selatan menjadi mungkin diterapkan di Pemilihan Kepala Daerah Serentak 2020 Indonesia dengan belajar sejumlah langkah pencegahan sehingga pemilu tidak menimbulkan klaster baru COVID-19.

Tidak asal

Pemerintah, DPR dan penyelenggara pemilu sudah mempertimbangkan menggulirkan lagi tahapan Pilkada, tahapan yang kembali berjalan pertengahan Juni 2020 ini tidak asal dimulai begitu saja.

Tripartit dari penyelenggaraan pemilu tersebut mempersiapkan banyak hal sebelum memulai kembali Pilkada serentak dalam kondisi pandemik COVID-19.

KPU menyiapkan aturan dan teknis Pilkada yang aman dari penyebaran COVID-19, beberapa penyesuaian dilakukan agar tidak terjadi penyebaran wabah ketika tahapan yang berhubungan dengan interaksi tatap muka.

Seperti, KPU memberlakukan protokol kesehatan ketat sejak verifikasi faktual, pencocokan data pemilih dan kegiatan lainnya yang memerlukan interaksi langsung antara penyelenggara dengan masyarakat.

Dalam melaksanakan tugasnya di lapangan, penyelenggara tingkat Ad-Hoc akan memakai alat pelindung diri lengkap dan peralatan serta protokol kesehatan lainnya.

KPU juga menyesuaikan format penyelenggaraan kampanye agar tidak menjadi potensi penularan COVID-19 pada tahapan tersebut. Kampanye tatap muka dibatasi dengan jumlah tertentu sesuai protokol kesehatan dan mendorong kampanye melalui media dalam jaringan.

Untuk pemungutan suara, KPU menambah jumlah tempat pemungutan suara sehingga jumlah setiap TPS tidak terlalu banyak dan menyebabkan tumpukan massa.

TPS juga mengatur batas kapasitas orang yang berada di dalam untuk persiapan mencoblos, kemudian juga menyiapkan bilik khusus bagi pemilih dengan keluhan kesehatan.

Ketua KPU Arief Budiman mengatakan pasien COVID-19 yang sedang dirawat tetap dapat memilih, namun tidak harus ke TPS melainkan mendapatkan pelayanan pemungutan suara di tempat mereka sedang dirawat, hal ini meminimalkan potensi penularan antarpemilih.

"Petugas yang akan datang memakai pakaian pelindung lengkap ke rumah sakit-rumah sakit rujukan," ucap dia.

Sementara itu, dari sisi pemerintah dan DPR mendukung penuh penyelenggaraan agar tidak tersendat dari soal aturan teknis sampai dengan jaminan terkait anggaran yang diperlukan sesuai kebutuhan dan ketepatan waktu pencairan.

Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian meminta kepala daerah di 270 daerah untuk segera mencairkan hibah yang tertuang dalam Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) untuk Pemilihan kepala daerah serentak 2020.

“Tolong rekan-rekan kepala daerah, usulan atau NPHD yang sudah disepakati segera dicairkan, berapapun dicairkan kepada penyelenggara KPU maupun Bawaslu daerah agar mereka betul-betul memiliki nafas, ruang fiskal untuk melanjutkan tahapan yang direncanakan 15 Juni ini," tuturnya.

Mendagri juga meminta agar pelaksanaan Pilkada dan pencairan NPHD tidak diperumit dengan politik transaksional. Pasalnya, menurut dia meski berskala kontestasi lokal, Pilkada menjadi pesta demokrasi di terbesar yang diselenggarakan di 270 daerah dan hal itu juga berimbas pada stabilitas politik nasional.

“Demi bangsa dan negara agar kegiatan-kegiatan ini bisa berjalan, jangan sampai terjadi transaksional, politik kepentingan kepada penyelenggara dari rekan-rekan kepala daerah," ujarnya.

Menunda

Meski tahapan Pilkada sudah mulai digulirkan kembali, Koalisi masyarakat sipil untuk demokrasi yang tergabung dari beberapa lembaga seperti Netgrit, Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan beberapa lembaga lainnya menilai Pilkada sebaiknya ditunda kembali.

Pendapat tersebut berlandaskan pada soal kesehatan masyarakat yang tidak bisa diabaikan dalam situasi seperti pandemik kali ini apalagi setiap tahapan Pilkada menyita banyak interaksi tatap muka, menunda beberapa bulan ke depan hingga pertengahan Juni 2021 dinilai menjadi langkah yang lebih bijak.

Pandemik dari virus tersebut Indonesia belum melewati masa puncaknya, sementara tahapan disarankan dimulai kembali setelah kurva COVID-19 melandai, jumlah pasien mulai berkurang dan temuan kasus baru terus turun.

Kemudian masyarakat saat ini juga sedang fokus menjaga keamanan diri dari wabah dan berupaya memulihkan kondisi ekonomi mereka.

"Jadi dengan pertimbangan objektif, tidak perlu ragu untuk menunda pelaksanaan Pilkada pada 2021 saja," ujar Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini.

Pewarta : Boyke Ledy Watra
Editor : Joko Nugroho
Copyright © ANTARA 2024