Jakarta (ANTARA) - Kecintaan Shieny Aprilia pada game terus ada hingga dia dewasa, sampai akhirnya dia mewujudkan hobinya itu lewat perusahaan game Agate International.

"Membuat game itu profesi paling menyenangkan di dunia," kata Shieny penuh semangat, saat berbincang dengan Antara lewat sambungan telepon beberapa waktu lalu.

"Tujuannya (mengembangkan game) untuk membuat orang bersenang-senang. Dalam prosesnya memang susah membuat game yang seru, tapi, menyenangkan, kita memikirkan apa yang membuat orang lain senang," kata Shieny.

Shieny, yang kini berusia 32 tahun, sudah jatuh hati pada dunia game digital sejak dia kecil. Cita-citanya, ingin membuat game sendiri jika sudah dewasa.

Ketika mengenyam pendidikan di Teknik Informatika, Institut Teknologi Bandung (ITB), dia bertemu dengan teman-teman yang memiliki hobi yang sama. Hobi bermain game pun disalurkan lewat cara yang produktif, mereka mengikuti kompetisi tentang game.

Menjelang lulus kuliah, cita-cita Shieny masih belum berubah, dia masih tertarik untuk membuat game sendiri.

"Masih mau bikin game sendiri," kata Shieny.

Usai kuliah, dia mendirikan PT Agate International, studio dan pengembang lokal berbasis di Bandung, yang cukup produktif mengembangkan game lokal antara lain "Game Dilan" dari novel berseri "Dilan" karya Pidi Baiq dan "Valthirian Arc: Hero School Story" yang dipasarkan ke mancanegara.

Shieny masih jelas mengingat game pertama buatannya, bersama teman-temannya, berjudul "PonPoron" yang dimainkan lewat konsol XBox. Game itu turut dipamerikan dalam pameran yang diadakan pada 2008 silam di Indonesia.

Di sana, untuk pertama kalinya Shieny merasakan apresiasi dan keseruan orang lain memainkan game buatannya.

Setelah game tersebut, dia dan teman-temannya mantap mendirikan Agate International, bersama perusahaan tersebut, mereka mengembangkan game pertama bernama "English Defender".

Tapi, yang paling berkesan bagi Shieny bukan hanya game yang pertama kali diciptakan, melainkan game bernama "Up In Flames", yang mereka luncurkan bersama Chilingo, penerbit game "Angry Birds".

Shieny saat itu menjadi satu-satunya perempuan dalam tim pengembangan "Up In Flames" yang berjumlah lima orang.


Perempuan dalam industri game
Shieny tidak menampik ada gagasna yang begitu populer di masyarakat bahwa game adalah untuk laki-laki. Pandangan itu juga berlaku di dunia pengembangan game, bahwa game untuk laki-laki maka yang membuatnya juga laki-laki.

Padahal, anggapan tersebut tidak sepenuhnya benar, meski pun memang komposisi laki-laki yang terlibat pengembangan game masih lebih banyak dibandingkan perempuan, setidaknya di perusahaan yang ia dirikan.

Shieny beruntung, ketika dia memutuskan untuk menggeluti pengembangan game, orang-orang di sekitarnya tidak pernah memandangnya sebelah mata. Dia malah mendapatkan masukan-masukan yang positif, mengingat industri game di Indonesia pun belum terlalu jamak.

Dia pun ingin mengubah pandangan-pandangan bahwa bermain game tidak produktif, hanya membuang-buang waktu.

"Justru, kita bisa bikin aktivitas bermain game makin berfaedah. Bagaimana cara supaya industri game bukan hanya seru-seruan, tapi, bisa memberi faedah untuk orang lain," kata Shieny, yang kini menjabat sebagai Chief Operating Officer di Agate.

Sementara, jika dilihat rilisan game secara umum, game yang tersedia untuk laki-laki dan perempuan cukup berimbang.

"Jenis game sekarang beragam dan perempuan pun banyak yang bermain game," kata dia.

Kesempatan untuk para perempuan bergabung dalam dunia pengembangan game menurut Shieny sangat besar karena industri pun butuh mengembangkan game-game yang menargetkan pasar perempuan.

"Supaya aspirasinya juga tersampaikan. Potensinya sangat ada," kata Shieny.

Pandemi virus corona bagi dunia game
Ketika orang-orang harus berada di dalam rumah dalam masa physical distancing, menjaga jarak, untuk mengurangi penyebaran virus corona, game malah menjadi primadona untuk mengisi waktu agar tidak merasa bosan.

Perubahan kebiasaan tersebut juga dirasakan Agate International, secara umum, mereka mengalami kenaikan traffic hingga dua kali lipat selama periode work from home, bekerja dari rumah, sejak Maret lalu.

Dampak yang tidak terlalu negatif juga memicu Shieny dan Agate untuk semakin berkontribusi pada masyarakat lewat cara yang paling dekat dengan kemampuan mereka, yaitu mendapatkan hiburan saat bermain game di rumah.

Agate beberapa waktu lalu meluncurkan kampanye "fun from home", berupa insentif bagi konsumen mereka, seperti "items" atau "gems" gratis agar lebih banyak orang yang bisa menikmati konten.

Meski pun sedang cukup berjaya saat ini, bagi Shieny, industri game lokal masih memiliki banyak pekerjaan rumah, terutama yang berkaitan dengan pendanaan dan sumber daya manusia.

Kedua hal tersebut dinilainya masih menjadi isu besar bagi industri game lokal.

Pendanaan untuk para pembuat game, seperti dikatakan Shieny, masih cukup kecil dibandingkan dengan industri lain, misalnya produksi film, meski pun pangsa pasar game di Indonesia cukup berpotensi untuk terus tumbuh.

Sementara dari segi talenta atau sumber daya manusia, Shieny mengakui belum banyak yang memiliki kemampuan yang bisa mengembangkan game yang kompetitif di pasar global. Berbicara pasar game, menurut Shieny bukan cuma untuk dipasarkan di Indonesia, melainkan tingkat dunia.

Pasalnya, orang Indonesia pun turut menikmati bermain game buatan asing.

Urusan pendanaan dan talenta bagi Shieny saling berkaitan, pendanaan sedikit karena sumber daya manusianya terbatas. Dan sebaliknya, karena talenta yang ada tidak banyak, maka pendanaan yang digelontorkan pun sedikit.

Masih banyak mimpi-mimpi Shieny untuk industri game di Indonesia. Suatu saat nanti, dia ingin Indonesia bisa populer karena produktif mengeluarkan game dalam skala global, seperti Nintendo yang membuat Jepang kesohor sebagai produsen game.

 

Pewarta : Natisha Andarningtyas
Editor : Hendra Agusta
Copyright © ANTARA 2024