Purworejo (ANTARA) - Pernyataan Raja Keraton Agung Sejagat (SAD) Totok Santosa Hadiningrat yang dipanggil Sinuwun tentang sejarah "staatsblad" Atlantik merupakan hal yang "ngoyoworo" (mengada-ada) kata sejarawan Purworejo Soekoso D.M.

"Ngoyoworo sejarahnya, referensinya dari Raja Firaun hingga ada perjanjian antara Ranawijaya yang mewakili Majapahit, Syailendra, Sanjaya, Mataram Hindu dan Sriwijaya dan Majapahit untuk menandatangani staatsblad Atlanti," kata sejarawan Purworejo Soekoso D.M. di Purworejo, Rabu.

Berdasarkan cerita Raja SAD saat sidang kerajaan Minggu (12/1) intinya pada 500 tahun setelah berakhirnya Majapahit 1518 akan dikembalikan ke nusantara atau tanah Jawa.

"Menurut dia 500 tahun itu hitungannya pada 2018. Staatsblad itu tidak ada, dilihat dari bahasanya saja katanya perjanjiannya ditandatangani di Malaka dengan Portugis, istilah staatsblad itu Belanda, kalau Portugis tidak ada. Kalau memang hal itu betul di sejarah nasional kita pasti ada. Oleh karena itu Sang Raja itu mengada-ada," katanya.

Ia menuturkan dalam sejarah memang Mataram Hindu abad 7-9, awalnya dinasti Sanjaya, kemudian didatangi dari Syailendra, Balaputadewa. Akhirnya ada perang kecil kemudian ada perkawinan antara Balaputradewa dengan Pramudawardani yang kemudian membuat Borobudur, Prambanan dan seterusnya itu Mataram Hindu.
Baca juga: Kasus Keraton Agung Sejagat, polisi libatkan guru besar sejarah
Kemudian ada bencana alam besar awal abad ke-11 yakni Gunung Merapi meletus besar maka hancurlah Mataram Hindu dan sebagian kadernya masih bisa lari ke Jatim.

Selanjutnya di Jawa Timur muncul Sendok, Darmawangsa dan seterusnya sampai terjadi Kediri kemudian terakhir menjadi Majapahit abad 12-15.

Ia menuturkan Majapahit berakhir tahun 1400 saka atau 1478 Masehi.
Baca juga: Ternyata Raja dan Permaisuri Keraton Agung Sejagat memiliki KTP Jakarta dan indekos di Yogyakarta
"Kalau pernyataan Raja KAS berorientasi pada berakhirnya Majapahit bukan 1518 seharusnya 1478 dan ini selisihnya 40 tahun, maka banyak yang tidak logis," katanya.

Kemudian zaman Mataram Islam tahun 1755 diintervensi Belanda dan dipecah menjadi Surakarta dan Yogyakarta.

Ia mengatakan Purworejo ini termasuk wilayah Bagelen di bawah kerajaan Surakarta tetapi praktiknya orang-orang masih setia Yogyakarta.

"Dilihat dari kemasyarakatannya dulu sini masih sepi, artinya belum banyak orang dan sisa kerajaan sama sekali tidak ada," katanya. 
Baca juga: Warga resah hingga viral di medsos, Raja dan Permaisuri Keraton Agung Sejagat ditahan polisi
Baca juga: Keraton Agung Sejagat sedot perhatian warga hingga jadi tempat wisata dadakan
Baca juga: Muncul Keraton Agung Sejagat di Purworejo Jawa Tengah, polisi segera klarifikasi

Pewarta : Heru Suyitno
Editor : Joko Nugroho
Copyright © ANTARA 2024