Padang (ANTARA) - Syafri Antoni (35) tidak pernah bermimpi akan punya brand atau merek pakaian sablon sendiri. Apalagi sampai menggantungkan hidup pada hal itu. Namun, nasib memang tidak pernah bisa diprediksi.
Merek itu, "Inyiak", ia rintis pada 2014 dengan modal nekad. Saat itu ia tidak punya kompetensi apa-apa terkait dunia sablon menyablon. Satu-satunya pengalaman yang ia miliki adalah saat membantu temannya dari Medan untuk menaikkan film (salah satu proses dalam sablon). Itupun hanya sekali.
Setelah itu proses belajarnya dilakukan dengan "cara keras", otodidak. Melihat lalu mencoba-coba sendiri. Tidak terhitung jumlah kesalahan yang ia lakukan selama proses belajar itu. Entah berapa kali pula ia hampir saja menyerah karena kesulitan uang untuk membeli bahan.
Beberapa peralatan dan bahan untuk menyablon memang berharga lumayan mahal. Apalagi untuk Syafri yang sehari-hari hanya bekerja serabutan. Karena itu setiap kali melakukan kesalahan, ia harus memutar otak lebih keras untuk mencari biaya pengganti. Tidak jarang jalan keluarnya adalah meminjam pada teman.
Tetapi pengalaman selalu menjadi guru yang paling hebat. Kesalahan yang pernah dilakukan, bukan akhir dari segalanya. Malah sebuah berkah yang tertunda. Berkat kesalahan-kesalahan itulah, Syafri menjadi lebih memahami bagaimana proses sablon yang efektif. Bagaimana cara meningkatkan kualitas tanpa mengurangi kecepatan dalam bekerja.
Banyak hal-hal kecil, hal sederhana, yang ia temui saat melakukan kesalahan menjadi pelajaran paling berharga sehingga ia menemukan kepercayaan diri dalam bisnis sablon dengan merek sendiri.
Saat itulah pria yang akrab disapa Abenk itu berpikir untuk merintis sebuah merek sendiri. Ia berpikir, dengan kreativitas yang dimiliki, sangat sayang bila hanya menerima pesanan sablon dari konsumen.
Jika ia memiliki merek sendiri, ia bisa memproduksi pakaian sablon dan menjualnya tanpa bergantung kepada pesanan. Kalaupun tidak langsung laku, pakaian itu toh tidak akan basi seperti kuliner? Ia masih bisa menyimpannya untuk dijual kembali nanti.
Semua ia pertaruhkan pada satu kata, kreativitas.
Kerja keras itu tidak sia-sia. Meski harus menyulap kamar tidurnya menjadi ruang kerja, tetapi pesanan dari konsumen mulai masuk. Pakaian merek "Inyiak" miliknya juga mulai dilirik terutama oleh wisatawan yang melancong ke Padang.
Dinas Pariwisata dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Padang juga menunjukkan kepedulian terhadap kreativitasnya dalam merintis merek sendiri dengan memberikan pembinaan.
Apalagi, Dinas Pariwisata juga memfasilitasi agar Uda-Uni Kota Padang yang dipilih setiap tahun ikut menggunakan dan mempromosikan pakaian merek lokal. Berkat itu, merek "Inyiak" makin dikenal oleh masyarakat.
Berlahan tapi pasti, Abenk mulai menapaki tangga sebagai pengusaha muda. Ia juga mulai belajar mengelola keuangan untuk menabung guna membeli alat sablon sedikit demi sedikit. Sekarang, ia telah memiliki semua peralatan yang dibutuhkan untuk menyablon.
Bahkan alat seperti screen stretcher yang jarang dimiliki oleh penyablon di Sumbar telah dimilikinya. Dengan alat itu ia bisa memasang kain ke papan screen sendiri sehingga tidak perlu membeli atau mengupah ke tempat lain. Dengan begitu, biaya produksi bisa lebih hemat.
Kreativitas segalanya
Bisnis sablon adalah bisnis tentang ketelitian dan presisi. Bisnis merek baju adalah bisnis sablon plus kreativitas. Kata terakhir bahkan menjadi nyawa atau roh dari bisnis itu.
Materi berupa baju kaus hingga teknik sablon untuk hampir semua merek lokal, rata-rata sama. Baju yang masih polos didatangkan dari Bandung karena kualitas dan harga yang relatif lebih murah dari pada produk konveksi lokal. Baju itu memiliki beberapa tingkatan kualitas, sesuai kebutuhan atau pesanan.
Teknik sablon yang digunakan adalah cutting dan manual. Syafri lebih merekomendasikan teknik manual, karena hasilnya yang lebih baik dan tahan lama. Merek-merek ternama menurutnya juga masih mempertahankan teknik tersebut.
"Perbedaan dari merek itu hanya kreativitasnya. Sebagian besar bermain pada susunan kata yang unik dan menarik perhatian," kata Syafri.
Kata-kata itu yang paling umum adalah menyatakan cinta pada daerah. Misalnya I Love Padang atau I Love Bukittinggi. Rata-rata yang membeli pakaian dengan kata-kata itu adalah wisatawan. Penanda bahwa mereka pernah ke Sumbar, atau sebagai oleh-oleh.
Kata-kata lain yang sering digunakan adalah Urang Awak atau nama suku seperti "Piliang" atau Chaniago". Ada pula yang mengeksplorasi bahasa dialek daerah.
Hal yang sama juga dilakukan oleh Syafri. Merek Inyiak yang dirintisnya juga mengandalkan pada kreativitas mengolah kata-kata menjadi unik. Yang dibeli konsumen bukan bajunya, tetapi kreativitas yang disablon di atas baju.
Agar memiliki pembeda dari merek lain, termasuk belasan merek lokal yang ada di Sumbar. Syafri mulai bermain di area art, lukisan di baju. Tidak hanya mengandalkan permainan kata, ia mencoba menghadirkan relief lukisan yang berkaitan dengan Sumbar.
Salah satu hasilnya adalah "Sikerei". Relief lukisan dukun dari Kepulauan Mentawai. Relief lukisan itu relatif masih jarang digunakan di Sumbar karena prosesnya jauh lebih rumit. Dengan menggunakan itu merek "Inyiak" bisa tampil beda.
Syafri pun tidak mau berspekulasi untuk membuat relief itu. Ia menggandeng seorang rekan yang mahir membuat tatoo. Selain bisa bagi-bagi rezki, hasilnya juga lebih bagus ketimbang ia membuat sendiri.
Pada 2017, Syafri sembat menyewa sebuah toko di Jalan Samudra, Pantai Padang. Lokasi itu merupakan salah satu lokasi wisata andalan di ibu kota Provinsi Sumatera Barat. Ia berharap toko itu akan bisa mendongkrak penjualan.
Namun ternyata ia kesulitan membagi waktu antara bekerja di bengkel kerjanya yang ada di Pasar Raya Blok I lantai 3 dengan toko di Pantai Padang.
Setiap kali ada pesanan dalam jumlah banyak, ia terpaksa menutup toko sehingga menjadi tidak efektif. Ia kemudian memutuskan menutup toko itu dan beralih pemasaran melalui media sosial sehingga produksi dan penjualan bisa seimbang.
Wakil Gubernur Sumbar Nasrul Abit mendukung penuh pengembangan usaha kreatif di daerah itu. Apalagi pelaku usahanya adalah generasi muda yang memiliki kreativitas tidak terbatas.
"Sekarang tidak saatnya lagi generasi muda hanya berharap menjadi PNS. Peluangnya sekarang sangat kecil sekali. Banyak peluang lain yang bisa dilirik seperti membangun merek pakaian itu," katanya.
Ia yakin masih banyak "lapangan" lain yang bisa digarap generasi muda yang memiliki tekad dan keinginan kuat untuk maju, membuka lapangan kerja sendiri.
Pemerintah, katanya, sangat memperhatikan sektor usaha kreatif itu. Bahkan saat ini, ada wacana untuk meningkatkan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) menjadi kementerian.
Ia mengajak generasi muda untuk bisa menjadi ujung tombak penggerak ekonomi daerah dengan segala semangat dan kreatifitas yang dimiliki.*
Merek itu, "Inyiak", ia rintis pada 2014 dengan modal nekad. Saat itu ia tidak punya kompetensi apa-apa terkait dunia sablon menyablon. Satu-satunya pengalaman yang ia miliki adalah saat membantu temannya dari Medan untuk menaikkan film (salah satu proses dalam sablon). Itupun hanya sekali.
Setelah itu proses belajarnya dilakukan dengan "cara keras", otodidak. Melihat lalu mencoba-coba sendiri. Tidak terhitung jumlah kesalahan yang ia lakukan selama proses belajar itu. Entah berapa kali pula ia hampir saja menyerah karena kesulitan uang untuk membeli bahan.
Beberapa peralatan dan bahan untuk menyablon memang berharga lumayan mahal. Apalagi untuk Syafri yang sehari-hari hanya bekerja serabutan. Karena itu setiap kali melakukan kesalahan, ia harus memutar otak lebih keras untuk mencari biaya pengganti. Tidak jarang jalan keluarnya adalah meminjam pada teman.
Tetapi pengalaman selalu menjadi guru yang paling hebat. Kesalahan yang pernah dilakukan, bukan akhir dari segalanya. Malah sebuah berkah yang tertunda. Berkat kesalahan-kesalahan itulah, Syafri menjadi lebih memahami bagaimana proses sablon yang efektif. Bagaimana cara meningkatkan kualitas tanpa mengurangi kecepatan dalam bekerja.
Banyak hal-hal kecil, hal sederhana, yang ia temui saat melakukan kesalahan menjadi pelajaran paling berharga sehingga ia menemukan kepercayaan diri dalam bisnis sablon dengan merek sendiri.
Saat itulah pria yang akrab disapa Abenk itu berpikir untuk merintis sebuah merek sendiri. Ia berpikir, dengan kreativitas yang dimiliki, sangat sayang bila hanya menerima pesanan sablon dari konsumen.
Jika ia memiliki merek sendiri, ia bisa memproduksi pakaian sablon dan menjualnya tanpa bergantung kepada pesanan. Kalaupun tidak langsung laku, pakaian itu toh tidak akan basi seperti kuliner? Ia masih bisa menyimpannya untuk dijual kembali nanti.
Semua ia pertaruhkan pada satu kata, kreativitas.
Kerja keras itu tidak sia-sia. Meski harus menyulap kamar tidurnya menjadi ruang kerja, tetapi pesanan dari konsumen mulai masuk. Pakaian merek "Inyiak" miliknya juga mulai dilirik terutama oleh wisatawan yang melancong ke Padang.
Dinas Pariwisata dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Padang juga menunjukkan kepedulian terhadap kreativitasnya dalam merintis merek sendiri dengan memberikan pembinaan.
Apalagi, Dinas Pariwisata juga memfasilitasi agar Uda-Uni Kota Padang yang dipilih setiap tahun ikut menggunakan dan mempromosikan pakaian merek lokal. Berkat itu, merek "Inyiak" makin dikenal oleh masyarakat.
Berlahan tapi pasti, Abenk mulai menapaki tangga sebagai pengusaha muda. Ia juga mulai belajar mengelola keuangan untuk menabung guna membeli alat sablon sedikit demi sedikit. Sekarang, ia telah memiliki semua peralatan yang dibutuhkan untuk menyablon.
Bahkan alat seperti screen stretcher yang jarang dimiliki oleh penyablon di Sumbar telah dimilikinya. Dengan alat itu ia bisa memasang kain ke papan screen sendiri sehingga tidak perlu membeli atau mengupah ke tempat lain. Dengan begitu, biaya produksi bisa lebih hemat.
Kreativitas segalanya
Bisnis sablon adalah bisnis tentang ketelitian dan presisi. Bisnis merek baju adalah bisnis sablon plus kreativitas. Kata terakhir bahkan menjadi nyawa atau roh dari bisnis itu.
Materi berupa baju kaus hingga teknik sablon untuk hampir semua merek lokal, rata-rata sama. Baju yang masih polos didatangkan dari Bandung karena kualitas dan harga yang relatif lebih murah dari pada produk konveksi lokal. Baju itu memiliki beberapa tingkatan kualitas, sesuai kebutuhan atau pesanan.
Teknik sablon yang digunakan adalah cutting dan manual. Syafri lebih merekomendasikan teknik manual, karena hasilnya yang lebih baik dan tahan lama. Merek-merek ternama menurutnya juga masih mempertahankan teknik tersebut.
"Perbedaan dari merek itu hanya kreativitasnya. Sebagian besar bermain pada susunan kata yang unik dan menarik perhatian," kata Syafri.
Kata-kata itu yang paling umum adalah menyatakan cinta pada daerah. Misalnya I Love Padang atau I Love Bukittinggi. Rata-rata yang membeli pakaian dengan kata-kata itu adalah wisatawan. Penanda bahwa mereka pernah ke Sumbar, atau sebagai oleh-oleh.
Kata-kata lain yang sering digunakan adalah Urang Awak atau nama suku seperti "Piliang" atau Chaniago". Ada pula yang mengeksplorasi bahasa dialek daerah.
Hal yang sama juga dilakukan oleh Syafri. Merek Inyiak yang dirintisnya juga mengandalkan pada kreativitas mengolah kata-kata menjadi unik. Yang dibeli konsumen bukan bajunya, tetapi kreativitas yang disablon di atas baju.
Agar memiliki pembeda dari merek lain, termasuk belasan merek lokal yang ada di Sumbar. Syafri mulai bermain di area art, lukisan di baju. Tidak hanya mengandalkan permainan kata, ia mencoba menghadirkan relief lukisan yang berkaitan dengan Sumbar.
Salah satu hasilnya adalah "Sikerei". Relief lukisan dukun dari Kepulauan Mentawai. Relief lukisan itu relatif masih jarang digunakan di Sumbar karena prosesnya jauh lebih rumit. Dengan menggunakan itu merek "Inyiak" bisa tampil beda.
Syafri pun tidak mau berspekulasi untuk membuat relief itu. Ia menggandeng seorang rekan yang mahir membuat tatoo. Selain bisa bagi-bagi rezki, hasilnya juga lebih bagus ketimbang ia membuat sendiri.
Pada 2017, Syafri sembat menyewa sebuah toko di Jalan Samudra, Pantai Padang. Lokasi itu merupakan salah satu lokasi wisata andalan di ibu kota Provinsi Sumatera Barat. Ia berharap toko itu akan bisa mendongkrak penjualan.
Namun ternyata ia kesulitan membagi waktu antara bekerja di bengkel kerjanya yang ada di Pasar Raya Blok I lantai 3 dengan toko di Pantai Padang.
Setiap kali ada pesanan dalam jumlah banyak, ia terpaksa menutup toko sehingga menjadi tidak efektif. Ia kemudian memutuskan menutup toko itu dan beralih pemasaran melalui media sosial sehingga produksi dan penjualan bisa seimbang.
Wakil Gubernur Sumbar Nasrul Abit mendukung penuh pengembangan usaha kreatif di daerah itu. Apalagi pelaku usahanya adalah generasi muda yang memiliki kreativitas tidak terbatas.
"Sekarang tidak saatnya lagi generasi muda hanya berharap menjadi PNS. Peluangnya sekarang sangat kecil sekali. Banyak peluang lain yang bisa dilirik seperti membangun merek pakaian itu," katanya.
Ia yakin masih banyak "lapangan" lain yang bisa digarap generasi muda yang memiliki tekad dan keinginan kuat untuk maju, membuka lapangan kerja sendiri.
Pemerintah, katanya, sangat memperhatikan sektor usaha kreatif itu. Bahkan saat ini, ada wacana untuk meningkatkan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) menjadi kementerian.
Ia mengajak generasi muda untuk bisa menjadi ujung tombak penggerak ekonomi daerah dengan segala semangat dan kreatifitas yang dimiliki.*