Kota Pekanbaru (ANTARA) - Pengurus Sahabat HAM untuk Sumatera, menyebutkan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang melanda Provinsi Riau khususnya, telah mengganggu Hak Azazi Manusia (HAM) enam juta penduduk daerah itu.
"HAM yang terganggu akibat asap yakni kebebasan untuk hidup dan memperoleh udara segar seperti tercantum dalam pasal 28 A UUD 1945 tentang hak hidup yang telah mengganggu kesehatan itu, " kata Arni Anggraeni, dari Sahabat HAM untuk Sumatera, dalam keterangannya di Pekanbaru, Senin.
Menurut Anggraeni, udara yang tercemar zat beracun telah mengakibatkan penyakit seperti infeksi saluran pernafasan (ISPA), hingga infeksi kulit, iritasi mata, asma dan memicu jantung sehingga penduduk daerah ini juga mengalami banyak kerugian materil.
Penduduk Riau dan banyak daerah lainnya di Indonesia juga mengalami kerugian cukup banyak, katanya, karena asap juga mengganggu kebebasan bergerak dan beraktivitas.
"Buktinya sejumlah wilayah seperti Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur dan Riau, yang terkena dampak asap mengambil tindakan seperti penundaan penerbangan, hingga sejumlah sekolah yang diliburkan dan tentunya akses pendidikan jadi terganggu," katanya.
Padahal, katanya, kasus karhutla ini bukan yang pertama kali terjadi sebab pada 1997 dan 2015 juga telah melanda wilayah Indonesia sehingga dibutuhkan program tetap yang sistematis menghentikan karhutla itu disamping penegakan hukum terhadap pelaku pembakaran hutan itu.
Aditia B Santoso, Direktur LBH Pekanbaru mengatakan, penegakan hukum perdata dan pidana terhadap kasus ini diindikasi masih lemah. Terbukti, dari bukti empiris 18 korporasi yang dinyatakan bersalah, tiga korporasi yang naik persidangan dan hanya satu yang berhasil diberikan putusan.
"Putusan yang dijatuhkan kepada korporasi yang bersalah hanya dikenai pasal kelalaian, padahal kita tahu hutan ini dibakar secara sengaja selama beberapa periode, namun masih tetap terjadi dan terus terjadi dan penegakan hukum untuk ini masih lemah," kata Aditia.
Sementara itu, tindakan hukum yang dilakukan oleh pihak yang berwenang dinilai Aditia tidak menimbulkan efek jera, apalagi banyak kasus yang tidak selesai penegakan hukumnya dengan alasan tidak cukupnya bukti atau lahan tersebut bersengketa dengan masyarakat.
Selain itu sanksi denda biaya perbaikan dan pemulihan lahan yang dikenakan pun tidak dieksekusi dengan baik.
Oleh karena itu, banyaknya tambahnya, kelalaian dan kelemahan dalam penegakan hukum untuk kasus karhutla ini, diharapkan ke depan mampu dikawal masyarakat terhadap eksekusi putusan tersebut.
"HAM yang terganggu akibat asap yakni kebebasan untuk hidup dan memperoleh udara segar seperti tercantum dalam pasal 28 A UUD 1945 tentang hak hidup yang telah mengganggu kesehatan itu, " kata Arni Anggraeni, dari Sahabat HAM untuk Sumatera, dalam keterangannya di Pekanbaru, Senin.
Menurut Anggraeni, udara yang tercemar zat beracun telah mengakibatkan penyakit seperti infeksi saluran pernafasan (ISPA), hingga infeksi kulit, iritasi mata, asma dan memicu jantung sehingga penduduk daerah ini juga mengalami banyak kerugian materil.
Penduduk Riau dan banyak daerah lainnya di Indonesia juga mengalami kerugian cukup banyak, katanya, karena asap juga mengganggu kebebasan bergerak dan beraktivitas.
"Buktinya sejumlah wilayah seperti Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur dan Riau, yang terkena dampak asap mengambil tindakan seperti penundaan penerbangan, hingga sejumlah sekolah yang diliburkan dan tentunya akses pendidikan jadi terganggu," katanya.
Padahal, katanya, kasus karhutla ini bukan yang pertama kali terjadi sebab pada 1997 dan 2015 juga telah melanda wilayah Indonesia sehingga dibutuhkan program tetap yang sistematis menghentikan karhutla itu disamping penegakan hukum terhadap pelaku pembakaran hutan itu.
Aditia B Santoso, Direktur LBH Pekanbaru mengatakan, penegakan hukum perdata dan pidana terhadap kasus ini diindikasi masih lemah. Terbukti, dari bukti empiris 18 korporasi yang dinyatakan bersalah, tiga korporasi yang naik persidangan dan hanya satu yang berhasil diberikan putusan.
"Putusan yang dijatuhkan kepada korporasi yang bersalah hanya dikenai pasal kelalaian, padahal kita tahu hutan ini dibakar secara sengaja selama beberapa periode, namun masih tetap terjadi dan terus terjadi dan penegakan hukum untuk ini masih lemah," kata Aditia.
Sementara itu, tindakan hukum yang dilakukan oleh pihak yang berwenang dinilai Aditia tidak menimbulkan efek jera, apalagi banyak kasus yang tidak selesai penegakan hukumnya dengan alasan tidak cukupnya bukti atau lahan tersebut bersengketa dengan masyarakat.
Selain itu sanksi denda biaya perbaikan dan pemulihan lahan yang dikenakan pun tidak dieksekusi dengan baik.
Oleh karena itu, banyaknya tambahnya, kelalaian dan kelemahan dalam penegakan hukum untuk kasus karhutla ini, diharapkan ke depan mampu dikawal masyarakat terhadap eksekusi putusan tersebut.