Muaro, (Antaranews Sumbar) - Songket hasil tenun masyarakat Nagari Unggan, Sumpur Kudus, Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat, dipasarkan hingga ke daerah lain seperti Payakumbuh dan Bukittinggi.
"Kami sekarang menjual songket ke beberapa toko di Payakumbuh dan Bukittinggi, pengiriman sekitar dua kali dalam sebulan," kata salah seorang penenun di Nagari Unggan Asnita (41), di Muaro, Rabu.
Harga jual songket dari Nagari Unggan berkisar Rp300 ribu hingga Rp3,7 juta, tergantung ukuran serta motif pada kain.
Penenun lainnya, Mirna Oktavia (29), menyebutkan ada dua motif kain yang terkenal dari songket Unggan, yaitu Lansek Manih, dan Unggan Saribu Bukik.
Mereka menilai hasil kain dari tenun mempunyai kualitas yang lebih bagus, tahan lama, dan dikerjakan secara teliti.
"Salah satu kelebihan songket Unggan adalah tekstur benang di kain lebih rapat dan padat," klaim Asnita.
Bertenun menjadi alternatif bagi para para ibu rumah tangga dan remaja perempuan di Unggan, sebagai alternatif ekonomi karena mayoritas mata pencaharian adalah bertani.
Sedikitnya di nagari berpenduduk 700 Kepala Keluarga (KK) itu, penenun sebanyak 260 orang.
Salah satu yang menjadi wadah pertemun para penenun adalah gedung Sentra tenun songket unggan, binaan Kementerian Perindustrian RI.
Menurut petugas pelayanan sentra tenun Sri Janestu (21), gedung itu dibangun pada 2016 dan diresmikan pada 2017.
Meskipun demikian, penenun di Unggan mengharapkan adanya promosi serta pemasaran yang lebih luas.
Sementara Wali Nagari Unggan Radial, mengatakan pihaknya telah membentuk Badan Usaha Milik Nagari untuk mendukung pemasaran.
"BUMNag nya sudah dibentuk, namun anggaran belum ada. Tahun ini sudah diajukan anggaran Rp40 juta rupiah," katanya.
Pada bagian lain, Ketua Lembaga Pengelola Hutan Nagari (LPHN) Unggan, Markatab, juga memberikan dukungannya untuk pengembangan tenun.
LPHN merupakan lembaga yang fokus untuk pengelolaan hutan, didampingi Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi.
"Kami juga mendukung kemajuan songket ini, seperti membantu kebutuhan pewarna alami kain," katanya.
Fasilitator LKI Warsi Sijunjung, Yudi Fernandes, mengatakan ketika ekonomi telah mandiri, itu akan mengubah pola masyarakat untuk tidak hanya mengekspolrasi hutan," katanya.(*)
"Kami sekarang menjual songket ke beberapa toko di Payakumbuh dan Bukittinggi, pengiriman sekitar dua kali dalam sebulan," kata salah seorang penenun di Nagari Unggan Asnita (41), di Muaro, Rabu.
Harga jual songket dari Nagari Unggan berkisar Rp300 ribu hingga Rp3,7 juta, tergantung ukuran serta motif pada kain.
Penenun lainnya, Mirna Oktavia (29), menyebutkan ada dua motif kain yang terkenal dari songket Unggan, yaitu Lansek Manih, dan Unggan Saribu Bukik.
Mereka menilai hasil kain dari tenun mempunyai kualitas yang lebih bagus, tahan lama, dan dikerjakan secara teliti.
"Salah satu kelebihan songket Unggan adalah tekstur benang di kain lebih rapat dan padat," klaim Asnita.
Bertenun menjadi alternatif bagi para para ibu rumah tangga dan remaja perempuan di Unggan, sebagai alternatif ekonomi karena mayoritas mata pencaharian adalah bertani.
Sedikitnya di nagari berpenduduk 700 Kepala Keluarga (KK) itu, penenun sebanyak 260 orang.
Salah satu yang menjadi wadah pertemun para penenun adalah gedung Sentra tenun songket unggan, binaan Kementerian Perindustrian RI.
Menurut petugas pelayanan sentra tenun Sri Janestu (21), gedung itu dibangun pada 2016 dan diresmikan pada 2017.
Meskipun demikian, penenun di Unggan mengharapkan adanya promosi serta pemasaran yang lebih luas.
Sementara Wali Nagari Unggan Radial, mengatakan pihaknya telah membentuk Badan Usaha Milik Nagari untuk mendukung pemasaran.
"BUMNag nya sudah dibentuk, namun anggaran belum ada. Tahun ini sudah diajukan anggaran Rp40 juta rupiah," katanya.
Pada bagian lain, Ketua Lembaga Pengelola Hutan Nagari (LPHN) Unggan, Markatab, juga memberikan dukungannya untuk pengembangan tenun.
LPHN merupakan lembaga yang fokus untuk pengelolaan hutan, didampingi Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi.
"Kami juga mendukung kemajuan songket ini, seperti membantu kebutuhan pewarna alami kain," katanya.
Fasilitator LKI Warsi Sijunjung, Yudi Fernandes, mengatakan ketika ekonomi telah mandiri, itu akan mengubah pola masyarakat untuk tidak hanya mengekspolrasi hutan," katanya.(*)