Padang, (Antaranews Sumbar) -  Gempa merupakan jenis bencana yang bisa menelan korban jiwa cukup banyak  karena  datangnya tiba-tiba dan  dampaknya meliputi wilayah yang luas.
     Bencana gempa juga dapat diikuti oleh potensi bencana lain seperti tsunami dan kebakaran sehingga  menimbulkan kerugian yang  besar, baik jiwa maupun harta benda.
    Dalam empat bulan terakhir Indonesia berduka karena secara berturut-turut diguncang gempa cukup kuat menelan korban jiwa hingga kerugian harta benda.
   Pada 29 Juli 2018 gempa darat berkekuatan 6,4 Skala Richter mengguncang bumi Lombok dan Sumbawa. Berdasarkan data yang dihimpun dari  Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), korban meninggal hingga  tercatat 515 orang, sedangkan luka-luka mencapai 7.145 orang. 
   Sementara rumah rusak mencapai 73.843 unit dan 798 fasilitas umum dan sosial mengalami kerusakan  dengan kerugian mencapai Rp7,7 triliun.
  Saat proses pemulihan dampak gempa Lombok masih berlangsung, pada 28 September 2018 gempa berkekuatan 7,4 Skala Richter mengguncang Palu dan sekitarnya di  Sulawesi Tengah.
   Gempa tersebut juga diikuti gelombang tsunami setinggi  tiga meter dan berdasarkan data BNPB hingga 6 Oktober 2018   terdapat 1.649 orang meninggal, 2.549 orang luka berat, korban hilang 265 orang, korban tertimbun 152 orang.
    Di Palu hingga saat ini 62.359 jiwa masih mengungsi tersebar di 147 titik.
   Seringnya wilayah Indonesia diguncang gempa membuat semua pihak harus berpikir bagaimana meningkatkan kapasitas individual dalam menghadapinya karena gempa termasuk bencana alam yang tidak bisa diperkirakan waktunya kapan akan terjadi.
   Menurut Pakar gempa Universitas Andalas (Unand)  Padang, Dr Badrul Mustafa  kapasitas individual menjadi salah satu kunci seseorang bisa selamat dari bencana gempa dan tsunami.
   "Kapasitas individual yang dimaksud adalah pemahaman seseorang tentang bencana sehingga  tahu apa yang harus dilakukan saat gempa dan tsunami terjadi," kata dia.
    Badrul memaparkan belajar gempa dan tsunami yang terjadi di Palu kapasitas individual dalam memahami bencana mulai dari sebelum bencana terjadi, saat bencana tiba dan setelah bencana melanda.
   Ia memberi contoh orang yang memiliki pemahaman yang baik tentang gempa dan tsunami sebelum bencana terjadi sudah paham apa tanda-tandanya dan apa yang harus dilakukan jika bencana datang.
   Jadi kalau di daerah yang rawan maka kapasitas individu termasuk memahami seperti apa bangunan yang ramah gempa dan sesuai standar.
   Kemudian kapasitas individu harus menular kepada lingkungan sehingga semua pihak akan bersinergi saling untuk saling menyelamatkan.
   Ia menilai  kalau seseorang paham maka tahu kemana harus menyelamatkan diri saat gempa terjadi dan apa yang harus dilakukan.
    Untuk kapasitas individual ini bisa belajar dari Jepang  karena walaupun sering diguncang gempa namun kerugian tidak terlalu besar karena warganya jauh  lebih siap, ujarnya.
   Salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kapasitas individual adalah  mitigasi prabencana di daerah rawan gempa untuk meminimalkan korban jiwa.
     Ketika  mitigasi prabencana dilakukan dengan baik,  bila  gempa datang kerugian Insya Allah akan lebih kecil, kata dia.
   Ia membagi  mitigasi prabencana terbagi dua  yakni mitigasi fisik dan non fisik. 
    Mitigasi fisik adalah memastikan bangunan yang ada memenuhi standar, terutama bangunan untuk kepentingan publik yang  terhimpun orang dengan jumlah yang banyak.
    Mitigasi non fisik adalah membangun kapasitas masyarakat dalam merespons bencana  yang  datang, sekaligus mengurangi kerentanannya, lanjut dia.
   Menurutnya jika masyarakat sudah memahami pentingnya mitigasi prabencana ini maka  bangunan yang dibuat akan ramah gempa.
   Ia memberi contoh saat Sumbar diguncang gempa pada 2009 maka seharusnya setelah kejadian itu semua bangunan yang dibuat sudah harus memenuhi standar ramah gempa.
   Akan tetapi  berdasarkan laporan mahasiswa Jurusan Teknik Sipil Unand yang melaksanakan KKN Tematik Kebencanaan di sebuah desa di Pariaman, masih ditemukan bangunan  yang tidak memenuhi standar yang ada. 
   Tidak hanya itu juga dijumpai  masyarakat  membangun rumah tidak melalui orang yang kompeten dan   semuanya diserahkan kepada tukang. 
   Bahkan, ada rumah yang tadinya tidak bertingkat, kemudian dijadikan bertingkat di bagian belakang dan  urusan ini juga diserahkan kepada tukang bukan kepada insinyur teknik sipil  yang paham struktur bangunan.
    "Kalau begini,  bangunan yang dihasilkan tidak sesuai standar,  bangunan yang tidak memenuhi standar berisiko hancur oleh gempa sedang dan kuat," ujarnya.
   Selain itu Badrul  menyarankan agar pembangunan konstruksi rumah sakit  sekolah dan sekolah  harus lebih kuat dari bangunan lain agar lebih tahan gempa karena fungsi dua bangunan tersebut amat vital.
    Dua bangunan itu harus kuat, sekolah jadi tempat generasi penerus belajar, mereka harus mendapat prioritas keselamatan, sedangkan rumah sakit perannya vital jika ada korban setelah gempa akan diobati di sana, kata dia .
    Menurut dia di Jepang konstruksi rumah sakit dan sekolah setara kekuatannya dengan istana negara karena pentingnya bangunan tersebut.
     Untuk sekolah selain bangunannya harus kokoh jika terjadi tsunami setelah gempa tentu dapat dimanfaatkan sebagai lokasi evakuasi sementara jika bangunannya dibuat bertingkat, katanya.
    Sementara untuk rumah sakit selain melindungi pasien yang sedang dirawat juga dapat dijadikan sarana evakuasi dan pusat penanganan korban.
    Oleh sebab itu pelaksana proyek pembangunan rumah sakit dan sekolah harus memahami soal ini sehingga kualitas bangunan yang dibuat benar-benar kokoh dan tidak ada anggaran yang disunat, ujarnya.
     Kekuatan Bangunan
    Pada sisi lain  Badrul mengemukakan  bangunan yang ramah gempa di daerah rawan  akan dapat meminimalkan korban jiwa.
    "Gempa itu bisa dibilang  jarang membunuh, yang membunuh itu umumnya bangunan, tapi juga tidak semua bangunan yang roboh," kata dia
      Menurutnya jika  bangunan dibangun sesuai standar yang ditetapkan oleh Kementerian PU, dipastikan  tidak roboh dan paling maksimal hanya rusak ringan atau sedang.
      "Bangunan yang tidak roboh dihantam gempa dengan dampak sampai IX MMI dapat disebut ramah gempa," kata dia.
      Ia mengatakan bangunan ramah gempa bukan berarti bangunan tersebut tidak rusak oleh gempa besar, tapi  tidak roboh. 
    "Dengan tidak robohnya bangunan tersebut, maka kemungkinan orang yang berada di dalam bangunan tersebut selamat," katanya.
     Ia melihat  bangunan yang roboh oleh  gempa, yang  kemudian menimbulkan korban jiwa, umumnya tidak memenuhi standar.
     Dimana saja gempa terjadi, umumnya bangunan yang  roboh adalah yang tidak memenuhi standar, ada bangunan beton tembok tapi tidak punya tulangan,  atau ukuran atau jenis tulangannya tidak sesuai, kata dia.
     Karena itu sudah saatnyaa  semua pemangku kepentingan  terkait  dan masyarakat  berupaya meningkatkan kapasitas individual agar siap menghadapi gempa guna menekan korban jiwa dan kerugian materil. 
***
 

Pewarta : Ikhwan Wahyudi
Editor : Miko Elfisha
Copyright © ANTARA 2024