Berada di arah tenggara Gunung Marapi Sumatera Barat, sebuah perkampungan nan elok membentang dengan menebarkan pesona alam dan kearifan lokalnya.
Perkampungan tersebut dikenal dengan nama Pariangan, berada di daerah pemerintahan Kabupaten Tanah Datar, sebuah nagari atau daerah pemerintahan setingkat desa yang biasa dikenal dengan sebutan Nagari Tuo.
Bukan tanpa alasan mengapa daerah itu disebut dengan nama Nagari Tuo, berdasarkan tambo yang berangkat dari tradisi lisan masyarakat Minangkabau, disebutkan bahwa Pariangan merupakan daerah pertama yang menjadi permukiman di masa dahulu.
'Dari mano asa titiak palito, di baliak telong nan batali, dari mano asa niniak moyang kito, Dari lereang Gunuang Marapi'. Sekilas, pantun tersebut menceritakan bahwa asal usul nenek moyang masyarakat adalah dari daerah lereng Gunung Marapi.
Selain itu, di dalam tambo atau cerita rakyat itu juga disebutkan bahwa nenek moyang masyarakat Minangkabau berasal dari keturunan Iskandar Zulkarnain.
Versi tambo menceritakan bahwa Sultan Iskandar Zulkarnain memiliki tiga orang anak, yaitu Sultan Suri Maharajo Dirajo, Sultan Maharajo Alif dan Sultan Maharajo Depang.
Dalam perjalanan, ketiganya berpisah dan Sultan Suri Maharajo Dirajo bersama pengikutnyalah yang akhirnya berlayar hingga tiba di daerah Gunung Marapi. Tempat mereka pertama kali bermukim itulah nantinya yang menjadi cikal bakal dari keberadaan Nagari Pariangan.
Sejarah Pariangan Dalam Perspektif Arkeologis
Lain dengan versi tambo, peninggalan arkeologis yang ada di Pariangan mengindikasikan bahwasanya di daerah tersebut sudah mulai eksis sejak zaman zaman sebelum Islam, terutama sejak zaman Hindu Budha.
Arkeolog dari Balai Arkeologi (Balar) Sumatera Utara, Taufiqurrahman Setiawan mengatakan daerah Pariangan cukup potensial dalam menyimpan peninggalan sejarah dari zaman praislam.
Salah satu tinggalan arkeologi di daerah itu yang masih dapat disaksikan adalah keberadaan Prasasti Pariangan yang berada di daerah Biaro, tidak jauh dari Masjid Ishlah.
Menurut dia, kedatangannya ke Pariangan bersama beberapa peneliti berangkat dari rekomendasi dan laporan yang sebelumnya disampaikan oleh pihak Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sumbar.
Pada rekomendasi itu disebutkan bahwa pada salah satu daerah di Pariangan, tepatnya daerah Biaro pernah ditemukan bata hasil pembakaran yang diduga merupakan bagian dari struktur bangunan sebagai tempat pemujaan.
Setelah melakukan ekskavasi atau penggalian selama beberapa hari pada kawasan yang diduga tempat keberadaan struktur tersebut, pihaknya baru menemukan beberapa pecahan bata dan gerabah.
Setidaknya terdapat dua kotak penggalian yang disiapkan untuk mengumpulkan temuan tersebut, akan tetapi berdasarkan temuan yang ada, menurutnya belum dapat menjadi titik awal untuk melakukan penggalian lebih lanjut.
Sekalipun demikian, setelah melakukan ekskavasi sejak tanggal 11 hingga 18 September itu, tidak tertutup kemungkinan di masa yang akan datang penelitian tersebut akan dilanjutkan dengan melakukan penggalian pada titik yang berbeda.
Dugaan Adanya Tempat Pemujaan
Berdasarkan kajian topinimi atau asal usul nama daerah, lokasi tempat penelitian tersebut bernama Biaro. Istilah biaro sendiri berasal dari kata biara atau vihara yang pada zaman praislam digunakan sebagai tempat pemujaan.
Menurut Taufiq, keberadaan Prasasti Pariangan yang ada di daerah tersebut diduga kuat juga memiliki hubungan dengan keberadaan bangunan sebagai tempat pemujaan ataupun bangunan penting lainnya.
"Biasanya prasasti itu menceritakan tentang sebuah peristiwa atau memuat tentang keberadaan sebuah bangunan penting, sebab Pariangan pada zaman dahulu dikenal sebagai daerah khusus," ujarnya.
Akan tetapi, kondisi dari Prasasti Pariangan saat ini tidaklah cukup baik untuk dapat dibaca, sebagian besar aksaranya berada dalam kondisi rusak sehingga susah untuk menggali lebih banyak informasi.
Pelestarian dan Kesadaran Masyarakat
Salah seorang peneliti dari BPCB Sumbar yang ikut dalam kegiatan ekskavasi tersebut, Dodi Chandra mengatakan, pihak BPCB sebelumnya sudah memulai aktifitas pendataan di kawasan Pariangan semenjak tahun 2016 lalu.
Dari pendataan yang dilakukan tersebut, salah satu objek yang direkomendasikan untuk diteliti lebih lanjut adalah dugaan adanya struktur bangunan yang ada di daerah Biaro.
Dodi menyebutkan, berdasarkan laporan masyarakat setempat, di kawasan tempat dilakukannya ekskavasi saat ini sebelumnya pernah ditemukan beberapa buah bata saat menggali tanah untuk membangun pondasi rumah.
Selain itu ketika menggali tanah guna pembuatan sumur untuk puskesmas pembantu dan pembangunan sekolah yang ada di dekatnya juga ditemukan beberapa bata. Bata-bata tersebut berbeda dengan bata yang ada saat ini, karena memiliki ukuran yang lebih besar dan tebal, seumpama bata pada struktur candi.
Pada saat bata itu ditemukan, menurutnya masyarakat belum begitu paham terkait arti penting dari temuan tersebut. Akan tetapi di kemudian hari, laporan tersebut menjadi salah satu alasan untuk dilakukannya penelitian saat ini.
Dugaan lain yang memperkuat alasan dilakukannya penelitian ini adalah pada situs yang ada di Ponggongan juga ditemukan hal serupa. Di daerah itu ditemukan struktur bangunan tidak jauh dari prasasti.
Ia menambahkan, selain kegiatan penelitian yang dilakukan dengan melibatkan banyak pihak ini, ke depannya perlu dilanjutkan dengan sosialisasi terkait cagar budaya kepada masyarakat.
"Ke depannya diharapkan masyarakat juga dapat ikut melestarikan tinggalan cagar budaya yang merupakan warisan leluhur untuk generasi yang akan datang," katanya.
Sementara itu salah seorang tokoh masyarakat yang juga pemilik lahan tempat dilakukannya ekskavasi, Datuak Gagah menyambut baik penelitian yang dilakukan tersebut.
Menurutnya, segala temuan dalam ekskavasi yang dilakukan di atas tanah kaum suku Dalimo Singkek tersebut silahkan diteliti guna pengembangan ilmu pengetahuan dan pengembangan sejarah Pariangan.
"Kami dari Kaum Datuak Gagah ke depannya akan terus membuka peluang bagi peneliti maupun akademisi yang ingin meneliti Biaro untuk kepentingan ilmu pengetahuan di masa yang akan datang," katanya. (*)
Perkampungan tersebut dikenal dengan nama Pariangan, berada di daerah pemerintahan Kabupaten Tanah Datar, sebuah nagari atau daerah pemerintahan setingkat desa yang biasa dikenal dengan sebutan Nagari Tuo.
Bukan tanpa alasan mengapa daerah itu disebut dengan nama Nagari Tuo, berdasarkan tambo yang berangkat dari tradisi lisan masyarakat Minangkabau, disebutkan bahwa Pariangan merupakan daerah pertama yang menjadi permukiman di masa dahulu.
'Dari mano asa titiak palito, di baliak telong nan batali, dari mano asa niniak moyang kito, Dari lereang Gunuang Marapi'. Sekilas, pantun tersebut menceritakan bahwa asal usul nenek moyang masyarakat adalah dari daerah lereng Gunung Marapi.
Selain itu, di dalam tambo atau cerita rakyat itu juga disebutkan bahwa nenek moyang masyarakat Minangkabau berasal dari keturunan Iskandar Zulkarnain.
Versi tambo menceritakan bahwa Sultan Iskandar Zulkarnain memiliki tiga orang anak, yaitu Sultan Suri Maharajo Dirajo, Sultan Maharajo Alif dan Sultan Maharajo Depang.
Dalam perjalanan, ketiganya berpisah dan Sultan Suri Maharajo Dirajo bersama pengikutnyalah yang akhirnya berlayar hingga tiba di daerah Gunung Marapi. Tempat mereka pertama kali bermukim itulah nantinya yang menjadi cikal bakal dari keberadaan Nagari Pariangan.
Sejarah Pariangan Dalam Perspektif Arkeologis
Lain dengan versi tambo, peninggalan arkeologis yang ada di Pariangan mengindikasikan bahwasanya di daerah tersebut sudah mulai eksis sejak zaman zaman sebelum Islam, terutama sejak zaman Hindu Budha.
Arkeolog dari Balai Arkeologi (Balar) Sumatera Utara, Taufiqurrahman Setiawan mengatakan daerah Pariangan cukup potensial dalam menyimpan peninggalan sejarah dari zaman praislam.
Salah satu tinggalan arkeologi di daerah itu yang masih dapat disaksikan adalah keberadaan Prasasti Pariangan yang berada di daerah Biaro, tidak jauh dari Masjid Ishlah.
Menurut dia, kedatangannya ke Pariangan bersama beberapa peneliti berangkat dari rekomendasi dan laporan yang sebelumnya disampaikan oleh pihak Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sumbar.
Pada rekomendasi itu disebutkan bahwa pada salah satu daerah di Pariangan, tepatnya daerah Biaro pernah ditemukan bata hasil pembakaran yang diduga merupakan bagian dari struktur bangunan sebagai tempat pemujaan.
Setelah melakukan ekskavasi atau penggalian selama beberapa hari pada kawasan yang diduga tempat keberadaan struktur tersebut, pihaknya baru menemukan beberapa pecahan bata dan gerabah.
Setidaknya terdapat dua kotak penggalian yang disiapkan untuk mengumpulkan temuan tersebut, akan tetapi berdasarkan temuan yang ada, menurutnya belum dapat menjadi titik awal untuk melakukan penggalian lebih lanjut.
Sekalipun demikian, setelah melakukan ekskavasi sejak tanggal 11 hingga 18 September itu, tidak tertutup kemungkinan di masa yang akan datang penelitian tersebut akan dilanjutkan dengan melakukan penggalian pada titik yang berbeda.
Dugaan Adanya Tempat Pemujaan
Berdasarkan kajian topinimi atau asal usul nama daerah, lokasi tempat penelitian tersebut bernama Biaro. Istilah biaro sendiri berasal dari kata biara atau vihara yang pada zaman praislam digunakan sebagai tempat pemujaan.
Menurut Taufiq, keberadaan Prasasti Pariangan yang ada di daerah tersebut diduga kuat juga memiliki hubungan dengan keberadaan bangunan sebagai tempat pemujaan ataupun bangunan penting lainnya.
"Biasanya prasasti itu menceritakan tentang sebuah peristiwa atau memuat tentang keberadaan sebuah bangunan penting, sebab Pariangan pada zaman dahulu dikenal sebagai daerah khusus," ujarnya.
Akan tetapi, kondisi dari Prasasti Pariangan saat ini tidaklah cukup baik untuk dapat dibaca, sebagian besar aksaranya berada dalam kondisi rusak sehingga susah untuk menggali lebih banyak informasi.
Pelestarian dan Kesadaran Masyarakat
Salah seorang peneliti dari BPCB Sumbar yang ikut dalam kegiatan ekskavasi tersebut, Dodi Chandra mengatakan, pihak BPCB sebelumnya sudah memulai aktifitas pendataan di kawasan Pariangan semenjak tahun 2016 lalu.
Dari pendataan yang dilakukan tersebut, salah satu objek yang direkomendasikan untuk diteliti lebih lanjut adalah dugaan adanya struktur bangunan yang ada di daerah Biaro.
Dodi menyebutkan, berdasarkan laporan masyarakat setempat, di kawasan tempat dilakukannya ekskavasi saat ini sebelumnya pernah ditemukan beberapa buah bata saat menggali tanah untuk membangun pondasi rumah.
Selain itu ketika menggali tanah guna pembuatan sumur untuk puskesmas pembantu dan pembangunan sekolah yang ada di dekatnya juga ditemukan beberapa bata. Bata-bata tersebut berbeda dengan bata yang ada saat ini, karena memiliki ukuran yang lebih besar dan tebal, seumpama bata pada struktur candi.
Pada saat bata itu ditemukan, menurutnya masyarakat belum begitu paham terkait arti penting dari temuan tersebut. Akan tetapi di kemudian hari, laporan tersebut menjadi salah satu alasan untuk dilakukannya penelitian saat ini.
Dugaan lain yang memperkuat alasan dilakukannya penelitian ini adalah pada situs yang ada di Ponggongan juga ditemukan hal serupa. Di daerah itu ditemukan struktur bangunan tidak jauh dari prasasti.
Ia menambahkan, selain kegiatan penelitian yang dilakukan dengan melibatkan banyak pihak ini, ke depannya perlu dilanjutkan dengan sosialisasi terkait cagar budaya kepada masyarakat.
"Ke depannya diharapkan masyarakat juga dapat ikut melestarikan tinggalan cagar budaya yang merupakan warisan leluhur untuk generasi yang akan datang," katanya.
Sementara itu salah seorang tokoh masyarakat yang juga pemilik lahan tempat dilakukannya ekskavasi, Datuak Gagah menyambut baik penelitian yang dilakukan tersebut.
Menurutnya, segala temuan dalam ekskavasi yang dilakukan di atas tanah kaum suku Dalimo Singkek tersebut silahkan diteliti guna pengembangan ilmu pengetahuan dan pengembangan sejarah Pariangan.
"Kami dari Kaum Datuak Gagah ke depannya akan terus membuka peluang bagi peneliti maupun akademisi yang ingin meneliti Biaro untuk kepentingan ilmu pengetahuan di masa yang akan datang," katanya. (*)