Mahalnya harga daging sapi per kilogram hingga melewati normalnya Rp120 ribu semakin membuat pengonsumsinya harus mengeluarkan kocek lebih dalam.
Beragam respon berputar di media massa terkait kenaikan harga salah satu bahan pokok tersebut, tak terkecuali dari Menteri Pertanian RI Andi Amran Sulaeman tahun lalu.
Pria Makassar itu menyarankan masyarakat untuk mengonsumsi bekicot atau keong sawah sebagai asupan pengganti daging.
Patokannya kata dia yakni pada protein yang baik dan kandungan lemak jenuh yang rendah untuk pengganti daging sapi.
Tentu saja pernyataan orang pertanian nomor satu RI ini mendapat beragam respon di tengah masyarakat, namun tidak sedikit yang melontarkan nada negatif.
Terlebih pada Mei lalu di Bogor, Jawa Barat puluhan orang keracunan akibat mengonsumsi keong sawah atau tutut tersebut.
Sindiran dan cercaan yang diarahkan pada pernyataan Mentan tersebut semakin menjadi di media sosial dan massa.
Alih-alih meredam gejolak tersebut beberapa media massa dan ilmuan mengupas tuntas tutut atau bekicot sawah tersebut.
Keong sawah atau pila ampullacea bahasan latinnya merupakan salah satu hewan yang dapat memberikan asupan beragam nutrisi untuk tubuh.
Menurut penelitian Positive Devince Resource Centre dalam 100 gram keong sawah mengandung protein 12 persen, 127 miligram kalsium, rendah kolesterol, 81 gram air.
Termasuk ke dalamnya karbohidrat dan fosfor serta vitamin A dan E yang dominan dari mineral yang ada.
Protein dalam keong berkadar tinggi yang merupakan makronutrien bagi tubuh manusia sebagaimana daging sapi, kambing dan ayam.
Mungkin atas alasan ini Mentan dapat mengatakan tutut atau bekicot dapat menggantikan daging sapi sebagai sumber protein.
Namun bagaimana Mentan bisa menjelaskan keracunan yang terjadi terhadap warga di Bogor akibat mengonsumsinya.
Baru-baru ini seorang peneliti hewan bercangkang dari STKIP PGRI Sumatera Barat Armein Lusi Zeswita, M.Si membenarkan pernyataan Mentan sekaligus penelitian tentang alternatif bekicot sebagai pengganti daging sapi.
Menurutnya hewan bercangkang seperti keong sawah memiliki kandungan protein tinggi khususnya memiliki senyawa pembentuk protein tubuh yang utama.
Bukan hanya keong sawah, hewan bercangkang lain seperti kerang air tawar juga dapat dijadikan alternatif sebagai daging sapi.
Terkait keracunan keong sawah di Bogor menurut dosen di Program Studi Pendidikan Biologi tersebut lebih pada cara masak dan perlakuannya.
Dia menjelaskan terdapat dua komponen penting yang perlu diperhatikan saat akan memasak kerang air tawar atau bekicot, yakni insang dan daging.
Ada kemungkinan keracunan yang terjadi di Bogor karena kesalahan masak dengan mencampurkan insang dan daging sekaligus.
Sebab sifat kerang atau siput menyerap semua senyawa yang masuk di sekitar lingkungannya kemudian menyaring lewat insang.
Keracunan terjadi karena kemungkinan insang mengandung zat pestisida di sekitar ditangkapnya tutut tersebut di sawah.
Ditambah dengan masaknya yang kurang higienis serta tidak dibedakan antara daging dan insang akhirnya terjadi keracunan.
Menurutnya penelitian yang dilakukan ahli luar negeri telah memiliki prinsip dasar bahwa bekicot memiliki kandungan protein yang tinggi.
Kemudian secara harga dan perlakuan budidaya dinilai lebih efisien dan murah bergantung kreativitas dan kepiawaian pelakunya.
Dari sini sudah bisa dikatakan bekicot di masa depan mampu menggantikan bahan konsumsi daging bagi manusia dengan perlakuan yang tepat dan bermanfaat.
Walau demikian tetap saja, penelitian lebih lanjut perlu dilakukan sembari menunggu beragam inovasi yang arahnya pada efisiensi ekonomi. (*)
Beragam respon berputar di media massa terkait kenaikan harga salah satu bahan pokok tersebut, tak terkecuali dari Menteri Pertanian RI Andi Amran Sulaeman tahun lalu.
Pria Makassar itu menyarankan masyarakat untuk mengonsumsi bekicot atau keong sawah sebagai asupan pengganti daging.
Patokannya kata dia yakni pada protein yang baik dan kandungan lemak jenuh yang rendah untuk pengganti daging sapi.
Tentu saja pernyataan orang pertanian nomor satu RI ini mendapat beragam respon di tengah masyarakat, namun tidak sedikit yang melontarkan nada negatif.
Terlebih pada Mei lalu di Bogor, Jawa Barat puluhan orang keracunan akibat mengonsumsi keong sawah atau tutut tersebut.
Sindiran dan cercaan yang diarahkan pada pernyataan Mentan tersebut semakin menjadi di media sosial dan massa.
Alih-alih meredam gejolak tersebut beberapa media massa dan ilmuan mengupas tuntas tutut atau bekicot sawah tersebut.
Keong sawah atau pila ampullacea bahasan latinnya merupakan salah satu hewan yang dapat memberikan asupan beragam nutrisi untuk tubuh.
Menurut penelitian Positive Devince Resource Centre dalam 100 gram keong sawah mengandung protein 12 persen, 127 miligram kalsium, rendah kolesterol, 81 gram air.
Termasuk ke dalamnya karbohidrat dan fosfor serta vitamin A dan E yang dominan dari mineral yang ada.
Protein dalam keong berkadar tinggi yang merupakan makronutrien bagi tubuh manusia sebagaimana daging sapi, kambing dan ayam.
Mungkin atas alasan ini Mentan dapat mengatakan tutut atau bekicot dapat menggantikan daging sapi sebagai sumber protein.
Namun bagaimana Mentan bisa menjelaskan keracunan yang terjadi terhadap warga di Bogor akibat mengonsumsinya.
Baru-baru ini seorang peneliti hewan bercangkang dari STKIP PGRI Sumatera Barat Armein Lusi Zeswita, M.Si membenarkan pernyataan Mentan sekaligus penelitian tentang alternatif bekicot sebagai pengganti daging sapi.
Menurutnya hewan bercangkang seperti keong sawah memiliki kandungan protein tinggi khususnya memiliki senyawa pembentuk protein tubuh yang utama.
Bukan hanya keong sawah, hewan bercangkang lain seperti kerang air tawar juga dapat dijadikan alternatif sebagai daging sapi.
Terkait keracunan keong sawah di Bogor menurut dosen di Program Studi Pendidikan Biologi tersebut lebih pada cara masak dan perlakuannya.
Dia menjelaskan terdapat dua komponen penting yang perlu diperhatikan saat akan memasak kerang air tawar atau bekicot, yakni insang dan daging.
Ada kemungkinan keracunan yang terjadi di Bogor karena kesalahan masak dengan mencampurkan insang dan daging sekaligus.
Sebab sifat kerang atau siput menyerap semua senyawa yang masuk di sekitar lingkungannya kemudian menyaring lewat insang.
Keracunan terjadi karena kemungkinan insang mengandung zat pestisida di sekitar ditangkapnya tutut tersebut di sawah.
Ditambah dengan masaknya yang kurang higienis serta tidak dibedakan antara daging dan insang akhirnya terjadi keracunan.
Menurutnya penelitian yang dilakukan ahli luar negeri telah memiliki prinsip dasar bahwa bekicot memiliki kandungan protein yang tinggi.
Kemudian secara harga dan perlakuan budidaya dinilai lebih efisien dan murah bergantung kreativitas dan kepiawaian pelakunya.
Dari sini sudah bisa dikatakan bekicot di masa depan mampu menggantikan bahan konsumsi daging bagi manusia dengan perlakuan yang tepat dan bermanfaat.
Walau demikian tetap saja, penelitian lebih lanjut perlu dilakukan sembari menunggu beragam inovasi yang arahnya pada efisiensi ekonomi. (*)